Perlukah Reshuffle?
A
A
A
Lembaga survei Indo Barometer memberikan rapor merah terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK).
Menurut survei Indo Baromater yang dilakukan pada 15- 25 Maret 2015 tersebut tingkat kepuasan publik kepada kinerja Jokowi hanya 57,5%, sedangkan Jusuf Kalla hanya 53,3%. Adapun terhadap kinerja para menteri secara keseluruhan hanya 46,8%. Angka ini dinilai di bawah nilai standar yaitu 75%.
Survei yang dilaksanakan di 34 provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah responden 1.200 orang (margin of error +3,0% pada tingkat kepercayaan 95%) ini juga mencari gambaran tentang persoalan yang dianggap penting. Persoalan yang dianggap penting di mata masyarakat adalah ekonomi, mahalnya harga kebutuhan pokok, sulitnya mencari pekerjaan, meningkatnya angka kemiskinan, dan masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Empat persoalan ini yang berhasil ditangkap Indo Barometer dan menganjurkan Jokowi harus cepat-cepat melakukan perbaikan. Sedangkan beberapa pihak mengusulkan untuk melakukan perombakan kabinet atau reshuffle agar kinerja pemerintahan Jokowi-JK menjadi lebih baik dan mampu meningkatkan kepuasan publik.
Isu perombakan kabinet memang tengah mencuat beberapa hari ini. Beberapa pihak mengusulkan Jokowi melakukan perombakan kabinet dengan harapan kinerja pemerintahan menjadi lebih baik. Pendapat publik melalui survei Indo Barometer memang menyiratkan ada perombakan meski tidak terlalu gamblang meminta ada perombakan. Sedangkan suara para sebagian politisi justru lebih nyata menginginkan ada perombakan kabinet.
Menariknya, partai politik (parpol) yang paling jelas menginginkan perombakan kabinet justru datang dari pendukung pemerintahan Jokowi-JK yaitu PDI Perjuangan. Alasan PDIP dengan mengusulkan perombakan karena kinerja pemerintahan Jokowi-JK tidak optimal seperti keinginan partai.
Dengan jelas beberapa politisi PDIP bahkan menyinggung tentang tiga orang dekat Jokowi. Sebagian parpol pendukung juga tampak hati-hati dan pasrah jika memang ada perombakan kabinet kerja. Beberapa partai yang mempunyai kader di kabinet pun mulai ancang-ancang membentengi kadernya agar tidak terdepak.
Caranya dengan membangun opini bahwa kadernya sudah berkinerja bagus di Kabinet Kerja. Tentu dengan harapan kadernya tidak terdepak jika ada perombakan kabinet. Toh , misalnya harus terdepak, mungkin ada kader lain yang akan mendapat jatah di posisi lain. Ada dua arus suara yang menginginkan Jokowi melakukan perombakan kabinet.
Pertama dari publik (setidaknya tergambar dari survei Indo Barometer) dan arus partai yang digawangi PDIP. Suara mana yang harus didengar Jokowi? Tentu suara dua arus tersebut harus benar-benar dipertimbangkan oleh Jokowi. Dua arus tersebut yang juga menentukan baik dan tidak kinerja kabinet.
Lalu, pertanyaan berikutnya, perlukah Jokowi melakukan perombakan kabinet kerja? Untuk pertanyaan ini, selain mempertimbangkan suara dua arus di atas, Jokowi juga harus lebih mengedepankan kinerja para pembantunya.
Kenapa lebih mengedepankan kinerja, bukan dua arus suara tersebut, karena opini publik melalui survei yang lebih banyak dipengaruhi oleh paparan media, sedangkan suara parpol lebih mencerminkan kepentingan politik saja. Yang mengetahui kinerja adalah Jokowi karena dia yang lebih tahu rencana jangka pendek, sedang, dan panjang tentang visi kerja yang ingin dia capai.
Perombakan berbasis kinerja akan lebih objektif tentu dengan acuan target jangka pendek yang telah dicapai. Beberapa pembantu Presiden yang sekadar membuat kegaduhan atau mengeluarkan kebijakan kontroversi sehingga menimbulkan gejolak di publik harus menjadi fokus Jokowi jika ingin melakukan perombakan.
Enam bulan tampaknya sudah cukup bagi Jokowi untuk melihat mana pembantu presiden yang benar-benar kerja atau sekadar pencitraan, membuat instabilitas, dan sekadar membuat gaduh atau bahkan mungkin punya agenda lain di luar misi pemerintahan. Ini hanya Jokowi yang tahu.
Selain itu, perombakan kabinet adalah prerogatif Presiden. Perlu atau tidak perombakan semua berharap lebih diutamakan karena kinerja bukan tekanan.
Menurut survei Indo Baromater yang dilakukan pada 15- 25 Maret 2015 tersebut tingkat kepuasan publik kepada kinerja Jokowi hanya 57,5%, sedangkan Jusuf Kalla hanya 53,3%. Adapun terhadap kinerja para menteri secara keseluruhan hanya 46,8%. Angka ini dinilai di bawah nilai standar yaitu 75%.
Survei yang dilaksanakan di 34 provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah responden 1.200 orang (margin of error +3,0% pada tingkat kepercayaan 95%) ini juga mencari gambaran tentang persoalan yang dianggap penting. Persoalan yang dianggap penting di mata masyarakat adalah ekonomi, mahalnya harga kebutuhan pokok, sulitnya mencari pekerjaan, meningkatnya angka kemiskinan, dan masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Empat persoalan ini yang berhasil ditangkap Indo Barometer dan menganjurkan Jokowi harus cepat-cepat melakukan perbaikan. Sedangkan beberapa pihak mengusulkan untuk melakukan perombakan kabinet atau reshuffle agar kinerja pemerintahan Jokowi-JK menjadi lebih baik dan mampu meningkatkan kepuasan publik.
Isu perombakan kabinet memang tengah mencuat beberapa hari ini. Beberapa pihak mengusulkan Jokowi melakukan perombakan kabinet dengan harapan kinerja pemerintahan menjadi lebih baik. Pendapat publik melalui survei Indo Barometer memang menyiratkan ada perombakan meski tidak terlalu gamblang meminta ada perombakan. Sedangkan suara para sebagian politisi justru lebih nyata menginginkan ada perombakan kabinet.
Menariknya, partai politik (parpol) yang paling jelas menginginkan perombakan kabinet justru datang dari pendukung pemerintahan Jokowi-JK yaitu PDI Perjuangan. Alasan PDIP dengan mengusulkan perombakan karena kinerja pemerintahan Jokowi-JK tidak optimal seperti keinginan partai.
Dengan jelas beberapa politisi PDIP bahkan menyinggung tentang tiga orang dekat Jokowi. Sebagian parpol pendukung juga tampak hati-hati dan pasrah jika memang ada perombakan kabinet kerja. Beberapa partai yang mempunyai kader di kabinet pun mulai ancang-ancang membentengi kadernya agar tidak terdepak.
Caranya dengan membangun opini bahwa kadernya sudah berkinerja bagus di Kabinet Kerja. Tentu dengan harapan kadernya tidak terdepak jika ada perombakan kabinet. Toh , misalnya harus terdepak, mungkin ada kader lain yang akan mendapat jatah di posisi lain. Ada dua arus suara yang menginginkan Jokowi melakukan perombakan kabinet.
Pertama dari publik (setidaknya tergambar dari survei Indo Barometer) dan arus partai yang digawangi PDIP. Suara mana yang harus didengar Jokowi? Tentu suara dua arus tersebut harus benar-benar dipertimbangkan oleh Jokowi. Dua arus tersebut yang juga menentukan baik dan tidak kinerja kabinet.
Lalu, pertanyaan berikutnya, perlukah Jokowi melakukan perombakan kabinet kerja? Untuk pertanyaan ini, selain mempertimbangkan suara dua arus di atas, Jokowi juga harus lebih mengedepankan kinerja para pembantunya.
Kenapa lebih mengedepankan kinerja, bukan dua arus suara tersebut, karena opini publik melalui survei yang lebih banyak dipengaruhi oleh paparan media, sedangkan suara parpol lebih mencerminkan kepentingan politik saja. Yang mengetahui kinerja adalah Jokowi karena dia yang lebih tahu rencana jangka pendek, sedang, dan panjang tentang visi kerja yang ingin dia capai.
Perombakan berbasis kinerja akan lebih objektif tentu dengan acuan target jangka pendek yang telah dicapai. Beberapa pembantu Presiden yang sekadar membuat kegaduhan atau mengeluarkan kebijakan kontroversi sehingga menimbulkan gejolak di publik harus menjadi fokus Jokowi jika ingin melakukan perombakan.
Enam bulan tampaknya sudah cukup bagi Jokowi untuk melihat mana pembantu presiden yang benar-benar kerja atau sekadar pencitraan, membuat instabilitas, dan sekadar membuat gaduh atau bahkan mungkin punya agenda lain di luar misi pemerintahan. Ini hanya Jokowi yang tahu.
Selain itu, perombakan kabinet adalah prerogatif Presiden. Perlu atau tidak perombakan semua berharap lebih diutamakan karena kinerja bukan tekanan.
(ftr)