Konspirasi Politik Yasonna Laoly
A
A
A
Beruntun dalam rentang waktu sangat singkat, pemerintahan Presiden Joko Widodo dua kali dipermalukan.
Pasalnya, dua surat keputusan penyelesaian konflik internal dua partai politik yang diterbitkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Masalah kompetensi dan kapabilitas sang menteri? Atau, karena Yasonna berpolitik dengan mengelola konflik internal dua partai itu agar terus berlarut-larut?
Kalau Menteri Hukum saja tidak mengerti hukum dan tidak taat hukum, ya celakalah bangsa ini. Jujur, saya curiga Yasonna menjadi bagian dari gerakan kelompok tertentu yang tengah menjalankan skenario busuk menjatuhkan presiden di tengah jalan. Saya mengendus ada skenario besar yang terorganisasi menyerang Presiden Jokowi melalui orang-orang dekatnya dari dalam.
Serangan dilakukan serentak melalui empat penjuru angin. Pertama, dari sisi ekonomi. Yakni menciptakan instabilitas ekonomi melalui kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat seperti BBM, gas elpiji, listrik, beras, transportasi. Kedua, dari sisi hukum. Yakni gerakan sistematis pelemahan upaya pemberantasan korupsi, menciptakan ketidakpastian hukum, dan lain-lain.
Ketiga, dari sisi kehidupan sosial masyarakat. Yakni menciptakan rasa ketakutan dan ketidaknyamanan rakyat dengan meningkatnya tindakan kekerasan. Dari fenomena para begal motor, terorisme ISIS, hingga bentuk kriminal lainnya. Keempat, dari sisi politik.
Yakni menciptakan turbulensi politik di parlemen melalui pertikaian partai politik agar menimbulkan kegaduhan terus-menerus yang diharapkan melahirkan kebencian serta antipati partai politik kepada pemerintah, khususnya kepada Presiden Jokowi. Dan, Yasonna diduga menjadi bagian dari skenario itu yang bertugas menciptakan turbulensi politik untuk menggoyang Jokowi tersebut.
Jadi, wajar kalau Yasonna bersikap tidak menghormati keputusan hukum PTUN. Baik terhadap keputusan PTUN terhadap Golkar maupun keputusan PTUN terhadap PPP. Tujuannya sangat jelas. Ya itu tadi, agar instabilitas politik tetap terjaga, dan Jokowi tidak bisa bekerja.
Seperti diketahui, penetapan penundaan diputuskan oleh majelis hakim PTUN atas dasar permohonan dari kubu ARB sebagai penggugat sampai ada keputusan berkekuatan hukum tetap. Alasan utama dikabulkannya penetapan penundaan adalah keadaan mendesak yang jika tidak dikabulkan, akan merugikan kepentingan penggugat.
Atau akan menimbulkan suatu akibat yang tidak dapat dipulihkan kembali. Logikanya sederhana. Dengan ditunda keberlakuannya maka SK tersebut dengan sendirinya menjadi tidak berlaku secara efektif sejak SK tersebut diterbitkan (ex tunc). Maka keadaan kembali ke keadaan semula seperti pada saat sebelum SK tersebut diterbitkan.
Karena itu adalah putusan sela, tidak ada sesuatu apa pun yang harus dilakukan Menkumham. Pasalnya, putusan sela yang berisi penundaan berlakunya SK tersebut berlaku efektif dan mengikat secara hukum sejak putusan dibacakan majelis hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Pertanyaannya, apakah SK Menkumham tentang Kepengurusan Agung Laksono tadi sah? Jawabnya sah. Namun, SK tersebut belum berlaku sehingga tidak membawa akibat hukum apa pun.
Permalukan Presiden
Di luar dugaan terjadinya konspirasi Yasonna sebagaimana diuraikan di atas. Apa pun yang dituju atau ingin dicapai Yasonna, dua kali sudah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menampilkan wajah tidak kapabel, pun tidak kredibel.
Tak hanya dikecam, perilaku Menkumham Laoly bahkan jadi bahan olok-olok publik, khususnya para politisi, karena sang menteri menerbitkan dua surat keputusan (SK) yang ujung-ujungnya bermasalah.
Benar-benar merasa tak nyaman karena pemerintahannya dipermalukan seperti itu, Presiden Jokowi pun meminta hasil kajian Menteri Laoly terkait penyelesaian dualisme kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar. Kalau Presiden sampai harus meminta hal itu, pasti ada yang diragukan atau ingin dipertanyakan oleh Presiden.
Persoalan internal yang membelit Partai Golkar dan PPP tampaknya akan terus tereskalasi karena Menteri Laoly sedang menjalankan misi politik melanggengkan konflik internal yang sudah melanda dua partai ini. Karena misi politik itu harus dituntaskan dengan cara instan, sepak terjang Laoly pun tampak menjadi serba terburu- buru dan amatiran.
Tak peduli dengan fakta-fakta tentang keabsahan dan proses hukum yang sedang ditempuh ARB dkk maupun Djan Faridz- SDA, Laoly nekat mengeluarkan surat keputusan pengesahan untuk kepengurusan kubu Agung Laksono dkk dan kepengurusan Romy dkk.
Dan, karena baik kubu Agung Laksono di Golkar dan kubu Romy di PPP sudah mempertontonkan pilihan mereka untuk mendukung pemerintah, tidak salah juga kalau banyak kalangan menuduh Menteri Laoly berpihak alias tidak independen. Memahami posisi Menteri Laoly seperti itu, ARB dan Djan Faridz pun tidak tinggal diam. Keduanya menempuh cara-cara legal.
Laoly-Agung
Hasil perlawanan gigih ARB dkk serta Djan Faridz dkk akhirnya sudah mempermalukan pemerintah. Sebaliknya, PPP dan Golkar pun sesungguhnya tidak nyaman dengan situasi seperti itu. Elite kedua partai pada dasarnya tidak ingin persoalan internal itu menjadi berkepanjangan dan berlarut-larut.
Dampaknya bukan hanya pada dinamika politik dalam negeri yang kurang sehat, tetapi juga bisa mengganggu kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Baik soliditas Fraksi Partai Golkar (FPG) maupun Fraksi PPP di DPR pasti terganggu. Lebih dari itu, kedua partai jelas tidak diuntungkan.
Utamanya kalau dikaitkan dengan persiapan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada). Bukan tidak mungkin persiapan Golkar dan PPP tidak berjalan mulus akibat konflik internal yang berlarut-larut itu. Ada kemiripan perilaku terburu- buru antara Menteri Laoly dan Agung Laksono dkk.
Kalau Menteri Laoly nekat bertindak cepat mengesahkan kepengurusan DPP Golkar produk Munas Ancol dan DPP PPP produk Muktamar Surabaya, Agung Laksono dkk pun bertindak cepat ingin segera menguasai FPG. Padahal, dari aspek legal, tindakan terburu buru Agung Laksono dkk justru menjadi ilegal.
Masalahnya, belum ada ketetapan hukum mengikat yang melegalkan aksi Agung Laksono dkk menggeruduk ruang rapat FPG di lingkungan DPR, Senayan. Kalau aksi geruduk itu hanya berlandaskan SK Menkumham, jelas sangat lemah. Utamanya karena DPP Partai Golkar produk Munas Bali sedang melayangkan gugatan hukum atas SK Menkumham itu.
Perilaku terburu-buru itu pun masih coba dilanjutkan Agung Laksono dkk kendati PTUN memerintahkan penundaan pelaksanaan SK Menkumham itu. Agung Laksono dkk menerbitkan surat peringatan pertama untuk kader Golkar di DPR, meliputi Setya Novanto, Ade Komarudin, dan Bambang Soesatyo. Tindakan serba terburu-buru ini jelas memperlihatkan iktikad tidak baik.
Sama artinya Agung Laksono dkk tidak menghormati keputusan PTUN. Menteri Laoly pun sama dengan Agung dkk, yaitu tidak menghormati proses hukum. Menteri Laoly tetap nekat mengesahkan kepengurusan Agung dkk, meski kubu ARB sudah melayangkan gugatan ke pengadilan dan melaporkan kasus pemalsuan mandat DPD I-II Partai Golkar dalam Munas Ancol.
Bukan faktor kebetulan jika terjadi kemiripan perilaku Menteri Laoly serta Agung Laksono dkk. Kemiripan aksi ini pasti sudah dirancang untuk menciptakan dinamika politik tidak sehat. Kalau kemudian Agung dkk serta Menteri Laoly tampak begitu berani bermanuver, pasti karena ada dukungan sangat kuat dari unsur-unsur kekuasaan saat ini.
Namun, sesuatu yang busuk pada akhirnya akan tercium juga. Dalam kasus Partai Golkar, baik Agung dkk maupun Menteri Laoly ceroboh. Dari segi kelengkapan dokumen misalnya, Munas Ancol yang diselenggarakan Agung dkk itu jelas tidak legitimate. Akibatnya, pijakan hukum Menteri Laoly dalam menetapkan kepengurusan Agung dkk pun sangat lemah.
Itu sebabnya, PTUN menetapkan DPP Partai Golkar produk Munas Riau tahun 2009 sebagai kepengurusan Golkar yang sah, dengan ARB sebagai ketua umum. Karena kecerobohan Menteri Laoly, Presiden Jokowi harus menanggung malu.
Bambang Soesatyo
Sekretaris Fraksi Partai Golkar/ Anggota Komisi III DPR RI
Pasalnya, dua surat keputusan penyelesaian konflik internal dua partai politik yang diterbitkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Masalah kompetensi dan kapabilitas sang menteri? Atau, karena Yasonna berpolitik dengan mengelola konflik internal dua partai itu agar terus berlarut-larut?
Kalau Menteri Hukum saja tidak mengerti hukum dan tidak taat hukum, ya celakalah bangsa ini. Jujur, saya curiga Yasonna menjadi bagian dari gerakan kelompok tertentu yang tengah menjalankan skenario busuk menjatuhkan presiden di tengah jalan. Saya mengendus ada skenario besar yang terorganisasi menyerang Presiden Jokowi melalui orang-orang dekatnya dari dalam.
Serangan dilakukan serentak melalui empat penjuru angin. Pertama, dari sisi ekonomi. Yakni menciptakan instabilitas ekonomi melalui kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat seperti BBM, gas elpiji, listrik, beras, transportasi. Kedua, dari sisi hukum. Yakni gerakan sistematis pelemahan upaya pemberantasan korupsi, menciptakan ketidakpastian hukum, dan lain-lain.
Ketiga, dari sisi kehidupan sosial masyarakat. Yakni menciptakan rasa ketakutan dan ketidaknyamanan rakyat dengan meningkatnya tindakan kekerasan. Dari fenomena para begal motor, terorisme ISIS, hingga bentuk kriminal lainnya. Keempat, dari sisi politik.
Yakni menciptakan turbulensi politik di parlemen melalui pertikaian partai politik agar menimbulkan kegaduhan terus-menerus yang diharapkan melahirkan kebencian serta antipati partai politik kepada pemerintah, khususnya kepada Presiden Jokowi. Dan, Yasonna diduga menjadi bagian dari skenario itu yang bertugas menciptakan turbulensi politik untuk menggoyang Jokowi tersebut.
Jadi, wajar kalau Yasonna bersikap tidak menghormati keputusan hukum PTUN. Baik terhadap keputusan PTUN terhadap Golkar maupun keputusan PTUN terhadap PPP. Tujuannya sangat jelas. Ya itu tadi, agar instabilitas politik tetap terjaga, dan Jokowi tidak bisa bekerja.
Seperti diketahui, penetapan penundaan diputuskan oleh majelis hakim PTUN atas dasar permohonan dari kubu ARB sebagai penggugat sampai ada keputusan berkekuatan hukum tetap. Alasan utama dikabulkannya penetapan penundaan adalah keadaan mendesak yang jika tidak dikabulkan, akan merugikan kepentingan penggugat.
Atau akan menimbulkan suatu akibat yang tidak dapat dipulihkan kembali. Logikanya sederhana. Dengan ditunda keberlakuannya maka SK tersebut dengan sendirinya menjadi tidak berlaku secara efektif sejak SK tersebut diterbitkan (ex tunc). Maka keadaan kembali ke keadaan semula seperti pada saat sebelum SK tersebut diterbitkan.
Karena itu adalah putusan sela, tidak ada sesuatu apa pun yang harus dilakukan Menkumham. Pasalnya, putusan sela yang berisi penundaan berlakunya SK tersebut berlaku efektif dan mengikat secara hukum sejak putusan dibacakan majelis hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Pertanyaannya, apakah SK Menkumham tentang Kepengurusan Agung Laksono tadi sah? Jawabnya sah. Namun, SK tersebut belum berlaku sehingga tidak membawa akibat hukum apa pun.
Permalukan Presiden
Di luar dugaan terjadinya konspirasi Yasonna sebagaimana diuraikan di atas. Apa pun yang dituju atau ingin dicapai Yasonna, dua kali sudah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menampilkan wajah tidak kapabel, pun tidak kredibel.
Tak hanya dikecam, perilaku Menkumham Laoly bahkan jadi bahan olok-olok publik, khususnya para politisi, karena sang menteri menerbitkan dua surat keputusan (SK) yang ujung-ujungnya bermasalah.
Benar-benar merasa tak nyaman karena pemerintahannya dipermalukan seperti itu, Presiden Jokowi pun meminta hasil kajian Menteri Laoly terkait penyelesaian dualisme kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar. Kalau Presiden sampai harus meminta hal itu, pasti ada yang diragukan atau ingin dipertanyakan oleh Presiden.
Persoalan internal yang membelit Partai Golkar dan PPP tampaknya akan terus tereskalasi karena Menteri Laoly sedang menjalankan misi politik melanggengkan konflik internal yang sudah melanda dua partai ini. Karena misi politik itu harus dituntaskan dengan cara instan, sepak terjang Laoly pun tampak menjadi serba terburu- buru dan amatiran.
Tak peduli dengan fakta-fakta tentang keabsahan dan proses hukum yang sedang ditempuh ARB dkk maupun Djan Faridz- SDA, Laoly nekat mengeluarkan surat keputusan pengesahan untuk kepengurusan kubu Agung Laksono dkk dan kepengurusan Romy dkk.
Dan, karena baik kubu Agung Laksono di Golkar dan kubu Romy di PPP sudah mempertontonkan pilihan mereka untuk mendukung pemerintah, tidak salah juga kalau banyak kalangan menuduh Menteri Laoly berpihak alias tidak independen. Memahami posisi Menteri Laoly seperti itu, ARB dan Djan Faridz pun tidak tinggal diam. Keduanya menempuh cara-cara legal.
Laoly-Agung
Hasil perlawanan gigih ARB dkk serta Djan Faridz dkk akhirnya sudah mempermalukan pemerintah. Sebaliknya, PPP dan Golkar pun sesungguhnya tidak nyaman dengan situasi seperti itu. Elite kedua partai pada dasarnya tidak ingin persoalan internal itu menjadi berkepanjangan dan berlarut-larut.
Dampaknya bukan hanya pada dinamika politik dalam negeri yang kurang sehat, tetapi juga bisa mengganggu kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Baik soliditas Fraksi Partai Golkar (FPG) maupun Fraksi PPP di DPR pasti terganggu. Lebih dari itu, kedua partai jelas tidak diuntungkan.
Utamanya kalau dikaitkan dengan persiapan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada). Bukan tidak mungkin persiapan Golkar dan PPP tidak berjalan mulus akibat konflik internal yang berlarut-larut itu. Ada kemiripan perilaku terburu- buru antara Menteri Laoly dan Agung Laksono dkk.
Kalau Menteri Laoly nekat bertindak cepat mengesahkan kepengurusan DPP Golkar produk Munas Ancol dan DPP PPP produk Muktamar Surabaya, Agung Laksono dkk pun bertindak cepat ingin segera menguasai FPG. Padahal, dari aspek legal, tindakan terburu buru Agung Laksono dkk justru menjadi ilegal.
Masalahnya, belum ada ketetapan hukum mengikat yang melegalkan aksi Agung Laksono dkk menggeruduk ruang rapat FPG di lingkungan DPR, Senayan. Kalau aksi geruduk itu hanya berlandaskan SK Menkumham, jelas sangat lemah. Utamanya karena DPP Partai Golkar produk Munas Bali sedang melayangkan gugatan hukum atas SK Menkumham itu.
Perilaku terburu-buru itu pun masih coba dilanjutkan Agung Laksono dkk kendati PTUN memerintahkan penundaan pelaksanaan SK Menkumham itu. Agung Laksono dkk menerbitkan surat peringatan pertama untuk kader Golkar di DPR, meliputi Setya Novanto, Ade Komarudin, dan Bambang Soesatyo. Tindakan serba terburu-buru ini jelas memperlihatkan iktikad tidak baik.
Sama artinya Agung Laksono dkk tidak menghormati keputusan PTUN. Menteri Laoly pun sama dengan Agung dkk, yaitu tidak menghormati proses hukum. Menteri Laoly tetap nekat mengesahkan kepengurusan Agung dkk, meski kubu ARB sudah melayangkan gugatan ke pengadilan dan melaporkan kasus pemalsuan mandat DPD I-II Partai Golkar dalam Munas Ancol.
Bukan faktor kebetulan jika terjadi kemiripan perilaku Menteri Laoly serta Agung Laksono dkk. Kemiripan aksi ini pasti sudah dirancang untuk menciptakan dinamika politik tidak sehat. Kalau kemudian Agung dkk serta Menteri Laoly tampak begitu berani bermanuver, pasti karena ada dukungan sangat kuat dari unsur-unsur kekuasaan saat ini.
Namun, sesuatu yang busuk pada akhirnya akan tercium juga. Dalam kasus Partai Golkar, baik Agung dkk maupun Menteri Laoly ceroboh. Dari segi kelengkapan dokumen misalnya, Munas Ancol yang diselenggarakan Agung dkk itu jelas tidak legitimate. Akibatnya, pijakan hukum Menteri Laoly dalam menetapkan kepengurusan Agung dkk pun sangat lemah.
Itu sebabnya, PTUN menetapkan DPP Partai Golkar produk Munas Riau tahun 2009 sebagai kepengurusan Golkar yang sah, dengan ARB sebagai ketua umum. Karena kecerobohan Menteri Laoly, Presiden Jokowi harus menanggung malu.
Bambang Soesatyo
Sekretaris Fraksi Partai Golkar/ Anggota Komisi III DPR RI
(ftr)