Ancaman Ekstremisme di Institusi Pendidikan

Rabu, 01 April 2015 - 09:45 WIB
Ancaman Ekstremisme di Institusi Pendidikan
Ancaman Ekstremisme di Institusi Pendidikan
A A A
FAJAR RIZA UL HAQ
Direktur Eksekutif MAARIF Institute

Radikalisme-ekstremisme harus serius kita antisipasi, kerjakan dengan langkah yang konkret sebelum jadi ancaman besar bagi negara. Pernyataan Presiden Jokowi ini dilatarbelakangi salah satunya oleh agresivitas Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara, utamanya Indonesia.

Pada saat bersamaan, kabar mengejutkan datang dari Jombang, Jawa Timur. Pemicunya adalah Buku Lembar Kerja Siswa SMA Kelas XIuntuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam memuat beberapamateri kontroversial. Salah satu poinnya adalah kebolehan membunuh orang lain yang menyembah Tuhan yang berbeda dari keyakinannya; ”Yangbolehdanharusdisembahhanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain Allah SWT telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh”.

Hukum ini berlaku bagi orang Islam sendiri yang meminta pertolongan kepada selain Allah. Pada bagian lain disebutkan adalah sebuah kekufuran (mengingkari Islam) bila seorang muslim memperoleh pengetahuan selain dari sumber kitab suci (Alquran dan Hadist) dan qiyas (analogiterhadapteks kitabsuci).

Dewan Pendidikan Kabupaten Jombang telah memastikan buku lembar kerja itu disusun oleh tim penulis dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Jombang. Namun, ternyata mereka mengacu pada Buku Teks Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK/MA Kelas XIyang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2014) berdasarkan Kurikulum 2013.

Lolosnya muatan ajaran yang menyosialisasikan intoleransi dan ekstremisme dalam buku teks tersebut harus menjadi bahan evaluasi, bahkan koreksi pihak Kementerian Pendidikan. Kondisinya, penyusunan buku di bawah tanggung jawab dan koordinasi kementerian dengan melibatkan pelbagai pihak. Menteri Pendidikan Anies Baswedan sudah memerintahkan agar buku ditarik dari peredaran.

Sedangkan Dinas Pendidikan Jombang keberatan karena menganggap apa yang disampaikan sudah sesuai sejarah dan pemikiran tokoh Islam Muhammad Bin Abdul Wahab. Letak masalahnya pada pendekatan penulisan buku-buku teks keagamaan. Tidak ada kesadaran kritik sejarah dalam proses penulisan buku-buku teks pendidikan agama sangat rentan mengundang kesalahpahaman karena bias sejarah, bahkan keterputusan konteks.

Ini yang diingatkan Foucalt, pengetahuan adalah produk relasi kuasa pada zamannya. Keberadaan buku pelajaran yang menyebarkan paham kebencian, kekerasan, dan antipengetahuan merupakan bentuk teror yang sistemik terhadap akal sehat dan eksistensi rumah bersama Indonesia atas dasar prinsip kekitaan. Penetrasi ancamannya akan lebih mengerikan dari teror bom buku yang mencuat pada 2011.

Salah satu temuan penelitian MAARIF Institute pada 2011 mengenai pemetaan gejala radikalisme di 50 SMAN di beberapa kota memperlihatkan guru pengampu Pendidikan Agama Islam berkontribusi terhadap tumbuhnya eksklusifisme orientasi keberagamaan para siswa. Adapun penelitian Balitkom PGI di lingkungan sekolah-sekolah Kristen mengungkap peran keluarga sebagai faktor utama yang memengaruhi pola pikir anak.

Infiltrasi paham ekstrem juga datang dari aktor-aktor eksternal sekolah melalui aktivitas ekstrakurikuler seperti dikonfirmasi Ketua PGRI Sulistyo (Kompas .com, 19/3). Yang mencengangkan, segregasi sosial atas dasar agama dan pandangan keagamaan telah membelah pola interaksi siswa di sekolah-sekolah negeri favorit di beberapa kota besar.

Potret buram ini berkorelasi dengan tidak ada kebijakan sekolah yang mengarah pada pelembagaan nilai-nilai kewargaan dalam budaya sekolah. Faktanya, muatan Pendidikan Kewarganegaraan lebih menekankan aspek kognitif ketimbang psikomotorik dan afektif. Dalam perspektif Bloom, siswa tidak punya cukup ruang untuk melatih kecakapan sosial dan empatinya.

Pembinaan Guru

Lolosnya muatan yang mempromosikan pandangan kekerasan dalam buku ajar tidak bisa dilihat sebagai bukti sudah merasuknya pengaruh NIIS ke dalam institusi pendidikan kita. Namun, kasus ini seharusnya menyadarkan para pemangku kebijakan pendidikan. Peran pencerahan yang melekat pada institusi pendidikan telah redup.

Ketika lembaga sekolah berubah menjadi agen antipengetahuan dan melegalkan perilaku barbarik, akan selalu mudah bersenyawa dengan ideologi-ideologi teror seperti yang dianut NIIS, Boko Haram, dan Talibanisme. Persenyawaan ideologis inilah yang mempercepat mutasi dan reproduksi ideologi garis keras, terlebih menunggangi revolusi teknologi informasi.

Komitmen Presiden Jokowi untuk menghalau ekstremisme menuntut langkah-langkah strategis, kerja-kerja sinergis lintas institusi, dan partisipasi masyarakat. Dalam diskusi Kelompok Kerja Nasional Revolusi Mental yang diprakarsai Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dipaparkan tiga masalah pokok yang menghantui bangsa yaitu merosotnya wibawa negara, lemahnya sendi perekonomian bangsa, serta intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.

Kepergian ratusan warga negara Indonesia untuk bergabung dengan NIIS karena motif ekonomi dan berjihad merupakan empedu dari akumulasi tiga persoalan di atas. Tren kekerasan dan bom bunuh diri di tingkat global yang dipicu ekspansi pengaruh NIIS serta menguatnya kesadaran masyarakat Indonesia mendefinisikan NIIS sebagaimusuhbersama merupakan momentum pemerintah memulai revolusi mental pada wilayah pengembangan sumber daya manusia, khususnya sektor pendidikan.

Hal mendesak yang perlu dilakukan adalah menjalankan reformasi birokrasi secara serius, perubahan mentalitas aparatur negara ke arah lebih terbuka, dan pengutamaan nilai-nilai kewargaan di lingkunganpemangkukebijakan di tingkat pusat dan daerah sehinggaterbangunkesamaanperspektif dalam persoalan kebangsaan yang mendasar.

Salah satu tantangan lembaga penulis dalam memfasilitasi program pendidikan kewargaan dan kebinekaan di institusi pendidikan negeri dan swasta sejak 2007 adalah ada perbedaan perspektif dan kesenjangan pemahaman antara pemangku kebijakan di pusat dan aktor-aktor di tingkat daerah. Pada beberapa kasus, pemangku kebijakan di level sekolah kalah pengaruh oleh eksistensi guru senior yang seringkali berpola pikir eksklusif.

Banyak guru berkiblat pada fatwa lembaga keagamaan meski isunya di ranah kewarganegaraan. Paling tidak, Kementerian Pendidikan harus memberikan perhatian besar sekaligus melakukan pengawasan pada tiga hal. Pertama, menginternalisasikan perspektif kewargaan di kalangan guru terutama yang terlibat dalam penyusunan instrumen pembelajaran.

Penting ada perubahan paradigma dalam menulis buku teks. Pendekatan kritik sejarah menjadi amat penting. Kedua, mengawasi kebijakan-kebijakan sekolah agar lebih berorientasi pada pelembagaan budaya kewargaan. Minimnya pengawasan sekolah terhadap kegiatan ekstrakulikuler seperti Rohis menjadi pintu masuk infiltrasi ideologi yang tidak sejalan dengan Pancasila.

Ketiga, meningkatkan pembinaan kesiswaan yang bersifat lintas kelompok dan golongan dengan menggandeng pelbagai komunitas masyarakat berpaham kebangsaan. Dengan langkah strategis ini, Kementerian Pendidikan akan meminimalisasi celah bagi masuknya ideologi ekstrem ke lingkungan sekolah.

Kebijakan ini juga akan memperkuat daya tahan sekolah menghadapi penyusupan dan mutasi ideologi garis keras. Sekolah adalah habitus pencerahan generasi muda agar berwatak welas asih. Bagaimanapun, wajah sekolah kita hari ini akan menentukan wajah Indonesia esok.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6601 seconds (0.1#10.140)