Kontroversi Cilamaya
A
A
A
Kontroversi proyek Pelabuhan Cilamaya di Karawang, Jawa Barat semoga segera berakhir. Pemerintah memastikan bahwa pembangunan pelabuhan tersebut segera direalisasikan.
Hanya, terjadi pergeseran lokasi sekitar 2,9 kilometer (km) dari lokasi awal ke arah wilayah Bekasi. Pergeseran tersebut salah satu jalan keluar untuk menghindari persinggungan fasilitas minyak dan gas (migas) PT Pertamina, yang menjadi kendala utama untuk mewujudkan pembangunan pelabuhan yang pembiayaan sepenuhnya akan ditawarkan kepada pihak swasta itu.
Proyek Pelabuhan Cilamaya digagas sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai salah satu program prioritas Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Jadi, sejatinya bukan proyek yang dicetuskan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) di bawah kepemimpinan Ignasius Jonan.
Namun, diyakini bahwa proyek tersebut sejalan dengan program penurunan biaya logistik nasional dalam jangka panjang yang sudah menjadi komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam perkembangannya, proyek Pelabuhan Cilamaya terkatung- katung karena berbenturan fasilitas migas Pertamina yang sudah beroperasi sekitar 45 tahun di kawasan yang akan dijadikan pelabuhan.
Buntutnya, proyek infrastruktur melahirkan perdebatan panjang, padahal dokumen studi teknis dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sudah diselesaikan konsultan internasional yang juga melibatkan Pertamina dan SKK Migas. Karena mengalami pergeseran lokasi pelabuhan, Kemenhub terpaksa harus membuat studi teknis dan amdal lagi.
Mengapa Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan begitu bersemangat mewujudkan Pelabuhan Cilamaya meski mengundang kontroversi? Mantan direktur utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) itu menilai kehadiran Pelabuhan Cilamaya akan memudahkan pengiriman barang ke kawasan industri yang sebagian besar berada di daerah tersebut.
Apabila proyek Pelabuhan Cilamaya yang berjarak sekitar 70 km di timur Jakarta berfungsi kelak, pengiriman produk industri yang ada di kawasan Karawang tidak perlu masuk Jakarta menuju Pelabuhan Tanjung Priok yang juga sudah padat. Selain itu, Kemenhub juga meyakini keberadaan pelabuhan tersebut bisa menekan biaya logistic tinggi yang selama ini selalu dikeluhkan kalangan dunia usaha.
Saat ini biaya logistik di Indonesia masih sangat tinggi sekitar 20%, bandingkan dengan biaya logistik sejumlah negara yangpertumbuhanekonominya cukup pesat hanya tercatat sekitar 8% hingga 9%. Namun, di sisi lain, Jonan yang sukses membenahi perkeretaapian di negeri ini juga harus berhadapan dengan Pertamina yang menolak keras keberadaan proyek Pelabuhan Cilamaya.
Penolakan manajemen perusahaan pelat merah itu punya argumentasi yang kuat. Di kawasan pantai yang akan menjadi area pelabuhan, Pertamina memiliki jaringan pipa dan sumur migas bawah laut Blok Offshore North West Java (ONWJ). Infrastruktur migas tersebut dipastikan terancam bila pelabuhan sudah beroperasi.
Apabila Blok ONWJ yang memproduksi minyak 40.000 barel per hari dan gas 200.000 mmscfd bermasalah, negara kehilangan potensi penerimaan yang cukup besar. Masih menurut versi Pertamina, cadangan migas di wilayah tersebut sekitar 750 juta barel. Selain itu, bila infrastruktur migas tersebut tidak berfungsi, akan mengganggu suplai gas untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTGU) Muara Karang dan PLTGU Tanjung Priok yang memasok kebutuhan listrik sepertiga wilayah DKI Jakarta.
Tidak hanya itu, aktivitas di kilang Balongan terhenti yang mengancam ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) dan gas elpiji untuk masyarakat. Pabrik pupuk Kujang pun bakal terimbas karena suplai gas dari ONWJ tidak ada. Alasan itulah yang membuat Pertamina tak ingin ”dikorbankan” untuk proyek Pelabuhan Cilamaya. Melihat alasan kedua pihak baik Kemenhub maupun Pertamina pada intinya sama yakni atas nama kepentingan nasional.
Jadi seharusnya tidak perlu muncul kontroversi yang berlarut-larut tanpa solusi. Di balik kontroversi tersebut pasti ada jalan tengah, setidaknya pergeseran lokasi proyek pelabuhan yang telah diumumkan Kemenhub. Ingat, masyarakat sudah capek dengan kontroversi atas nama kepentingan nasional.
Hanya, terjadi pergeseran lokasi sekitar 2,9 kilometer (km) dari lokasi awal ke arah wilayah Bekasi. Pergeseran tersebut salah satu jalan keluar untuk menghindari persinggungan fasilitas minyak dan gas (migas) PT Pertamina, yang menjadi kendala utama untuk mewujudkan pembangunan pelabuhan yang pembiayaan sepenuhnya akan ditawarkan kepada pihak swasta itu.
Proyek Pelabuhan Cilamaya digagas sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai salah satu program prioritas Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Jadi, sejatinya bukan proyek yang dicetuskan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) di bawah kepemimpinan Ignasius Jonan.
Namun, diyakini bahwa proyek tersebut sejalan dengan program penurunan biaya logistik nasional dalam jangka panjang yang sudah menjadi komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam perkembangannya, proyek Pelabuhan Cilamaya terkatung- katung karena berbenturan fasilitas migas Pertamina yang sudah beroperasi sekitar 45 tahun di kawasan yang akan dijadikan pelabuhan.
Buntutnya, proyek infrastruktur melahirkan perdebatan panjang, padahal dokumen studi teknis dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sudah diselesaikan konsultan internasional yang juga melibatkan Pertamina dan SKK Migas. Karena mengalami pergeseran lokasi pelabuhan, Kemenhub terpaksa harus membuat studi teknis dan amdal lagi.
Mengapa Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan begitu bersemangat mewujudkan Pelabuhan Cilamaya meski mengundang kontroversi? Mantan direktur utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) itu menilai kehadiran Pelabuhan Cilamaya akan memudahkan pengiriman barang ke kawasan industri yang sebagian besar berada di daerah tersebut.
Apabila proyek Pelabuhan Cilamaya yang berjarak sekitar 70 km di timur Jakarta berfungsi kelak, pengiriman produk industri yang ada di kawasan Karawang tidak perlu masuk Jakarta menuju Pelabuhan Tanjung Priok yang juga sudah padat. Selain itu, Kemenhub juga meyakini keberadaan pelabuhan tersebut bisa menekan biaya logistic tinggi yang selama ini selalu dikeluhkan kalangan dunia usaha.
Saat ini biaya logistik di Indonesia masih sangat tinggi sekitar 20%, bandingkan dengan biaya logistik sejumlah negara yangpertumbuhanekonominya cukup pesat hanya tercatat sekitar 8% hingga 9%. Namun, di sisi lain, Jonan yang sukses membenahi perkeretaapian di negeri ini juga harus berhadapan dengan Pertamina yang menolak keras keberadaan proyek Pelabuhan Cilamaya.
Penolakan manajemen perusahaan pelat merah itu punya argumentasi yang kuat. Di kawasan pantai yang akan menjadi area pelabuhan, Pertamina memiliki jaringan pipa dan sumur migas bawah laut Blok Offshore North West Java (ONWJ). Infrastruktur migas tersebut dipastikan terancam bila pelabuhan sudah beroperasi.
Apabila Blok ONWJ yang memproduksi minyak 40.000 barel per hari dan gas 200.000 mmscfd bermasalah, negara kehilangan potensi penerimaan yang cukup besar. Masih menurut versi Pertamina, cadangan migas di wilayah tersebut sekitar 750 juta barel. Selain itu, bila infrastruktur migas tersebut tidak berfungsi, akan mengganggu suplai gas untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTGU) Muara Karang dan PLTGU Tanjung Priok yang memasok kebutuhan listrik sepertiga wilayah DKI Jakarta.
Tidak hanya itu, aktivitas di kilang Balongan terhenti yang mengancam ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) dan gas elpiji untuk masyarakat. Pabrik pupuk Kujang pun bakal terimbas karena suplai gas dari ONWJ tidak ada. Alasan itulah yang membuat Pertamina tak ingin ”dikorbankan” untuk proyek Pelabuhan Cilamaya. Melihat alasan kedua pihak baik Kemenhub maupun Pertamina pada intinya sama yakni atas nama kepentingan nasional.
Jadi seharusnya tidak perlu muncul kontroversi yang berlarut-larut tanpa solusi. Di balik kontroversi tersebut pasti ada jalan tengah, setidaknya pergeseran lokasi proyek pelabuhan yang telah diumumkan Kemenhub. Ingat, masyarakat sudah capek dengan kontroversi atas nama kepentingan nasional.
(bbg)