Diskrepansi Pelembagaan Parpol
A
A
A
GUN GUN HERYANTO
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
Hal memprihatinkan dalam realitas politik kita saat ini adalah menguatnya diskrepansi atau ketidakcocokan antara harapan dan realitas dalam pelembagaan partai politik sebagai entitas modern.
Beberapa partai seperti PPP dan Partai Golkar didera konflik berkepanjangan. Kedua partai berpengalaman yang sama-sama lahirdari rahim Orde Baru initak mampu mengelola dan menyelesaikan konflik melalui mekanisme internal mereka. Hal lain yang memprihatinkan adalah tren aklamasi dalam mekanisme pemilihan ketua maupun calon ketua umum partai.
Contoh terdekat, PDIP belum menggelar kongres, tetapi berdasarkan keputusan hasil rapat kerja nasional (rakernas) di Semarang pada September 2014 Megawati hampir dipastikan kembali menjadi ketua umum PDIP 2015-2020 dan pemilihannya didorong ke aklamasi. Pemilihan Aburizal Bakrie (ARB) dalam Munas IX di Bali, juga melalui aklamasi yang berujung pada terbelahnya Golkar.
Munas II Partai Hanura pada 13-15 Februari 2015 hanya menjadi ajang pengukuhan secara aklamasi Wiranto sebagai ketua umum. Hal yang sama berpotensi terjadi di Gerindra dan Demokrat jika Prabowo dan SBY “turun gunung” menjadi calon ketua umum.
Penstrukturan Adaptif
Kualitas partai-partai yang ada saat ini memang sungguh memprihatinkan. Di tengah dinamika politik nasional yang terus bergerak dan membutuhkan kiprah optimal partai sebagai entitas penting dalam demokrasi, banyak dari mereka yang justru berkutat dalam konflik internal. Masalah mendasar dalam pengelolaan partai di Indonesia ialah lemahnya basis ideologi, etos demokratik, dan ketidakjelasan skema regenerasi berkelanjutan.
Basis ideologi telah lama diabaikan, bahkan dianggap utopia karena banyak politisi yang memandang ideologi bias, tak bermakna, dan tak lagi kontekstual. Etos demokratik berkaitan dengan formasi nilai-nilai demokrasi dalam berpartai. Roh partai sebagai entitas publik, yang semestinya membuat warga partai dan basis konstituen lebih berdaya, kerap tunduk pada ego dan kepentingan segelintir elite yang memegang kuasa partai.
Hal itu diperparah dengan adanya sumbatan proses kaderisasi. Tahap alamiah kaderisasi yakni proses rekrutmen, penguatan, dan pemberdayaan loyalis organisasi, serta distribusi dan alokasi kader ke sejumlah jabatan di internal maupun di tengah publik tereduksi, bahkan dibusukkan oleh oligarki, politik dinasti, dan laku politik transaksional. Banyak partai yang mengalami kegamangan dalam melakukan penstrukturan adaptif di tubuh organisasi.
Dalam terminologi Anthony Giddens, sebagaimana dikutip oleh West dan Turner dalam Introducing Communication Theory (2008) penstrukturan adaptif ialah bagaimana institusi sosial seperti organisasi diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan aturanaturan yang akan berfungsi sebagai perilaku para anggotanya. Dengan demikian, struktur diciptakan dan dipertahankan sekaligus juga dapat diubah dengan mengadaptasi atau menciptakan aturan baru.
Artinya, partai politik harusnya memperkuat sistem organisasi yang ditaati semua warga partai, bukan sebaliknya menyuburkan feodalisasi, politik patron-client yang menyebabkan organisasi di bawah subordinasi satu atau beberapa orang saja. PPP terbelah menjadi dua, kubu Djan Faridz dan Kubu Romahurmuziy.
Sama-sama menyandarkan diri pada aturan organisasi dengan tafsir sendiri-sendiri akibat konteks kepentingan politik pragmatis yang berbeda. Pun demikian kubu Agung Laksono (Munas Ancol) versus kubu Aburizal Bakrie (Munas Bali) yang seolah berada di labirin kekuasaan dan tak kunjung menemukan jalan keluar.
Padahal, kedua partai ini surplus para politisi senior yang banyak makan asam garam manajemen konflik. Dengan demikian, persoalannya bukan pada “jam terbang”, melainkan pada ego pribadi dan faksi. Padahal, sejarah menunjukkan jika mekanisme penyelesaian konflik lewat pengadilan, salah satu pihak biasanya membuat tandingan atau keluar dan mendirikan partai baru.
Fenomena Aklamasi
Fenomena aklamasi dalam pemilihan ketua umum di PDIP, Hanura, juga kemungkinan terjadi di Gerindra dan Demokrat, menjadi penanda nyata menguatnya gejala groupthink! Gejala ini oleh Irving Janis dalam karyanya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decesions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi dan sering gagal mengembangkan alternatif- alternative tindakan yang mereka ambil.
Para kader ratarata berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan sehingga sangat sedikit kemungkinan munculnya ide-ide yang tidak populer atau tidak serupa dengan anggota kader lain terlebih dengan elite utamanya. Saat pengurus dan kader partai tak lagi berani bicara atau mengeluarkan alternatif nama, meski sekadar dilevel wacana, sudah bisa dipastikan begitu kuatnya batasan afiliatif (affiliative constraints ) di tubuh organisasi tersebut.
Batasan afiliatif berarti anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak atau disebut sebagai penyimpang dan pengkhianat. Salah satu dampak signifikandari buruknya kualitas sirkulasi elite seperti ini adalah minimnya para pemimpin imparsial. Sosok-sosok seperti Megawati, Wiranto, Prabowo, SBY dengan sendirinya akan selalu berada di puncak hierarki otoritas partai.
Suatu saat, jika terjadi transisikepemimpinandari figur utama ini ke yang lain, barulah faksi-faksi di internal yang tadinya laten mengemuka ke ruang publik. Sesungguhnya tak salah jika partai memiliki figur kuat, hanya saja sumber daya politik figur harus bertransformasi menjadi kekuatan sistem.
Ketidak mampuan partai mengelola konflik internal sama buruknya dengan ketidak berdayaan partai keluar dari subordinasi figur. Kelembagaan parpol akan sangat rapuh dan tak akan pernah mampu berdiri kokoh sebagai entitas publik yang demokratis. Partai yang berkonflik, terancam lemah dan “tergopohgopoh” mengejar agenda politik yang membutuhkan fokus perhatian, misalnya pilkada serentak di tahun ini.
Adapun partai yang tersubordinasi segelintir elite oligarkis hanya akan mendapatkan kenyamanan dan kemapanan palsu! Saatnya partai memikirkan proses transformasi lebih sistemik. Menguatkan pola kaderisasi dan memperkuat kapasitas kelembagaan. Pengelolaan partai yang berkutatdi lingkaran oligarki elite akan menyebabkan gagalnya partai menuju partai modern.
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
Hal memprihatinkan dalam realitas politik kita saat ini adalah menguatnya diskrepansi atau ketidakcocokan antara harapan dan realitas dalam pelembagaan partai politik sebagai entitas modern.
Beberapa partai seperti PPP dan Partai Golkar didera konflik berkepanjangan. Kedua partai berpengalaman yang sama-sama lahirdari rahim Orde Baru initak mampu mengelola dan menyelesaikan konflik melalui mekanisme internal mereka. Hal lain yang memprihatinkan adalah tren aklamasi dalam mekanisme pemilihan ketua maupun calon ketua umum partai.
Contoh terdekat, PDIP belum menggelar kongres, tetapi berdasarkan keputusan hasil rapat kerja nasional (rakernas) di Semarang pada September 2014 Megawati hampir dipastikan kembali menjadi ketua umum PDIP 2015-2020 dan pemilihannya didorong ke aklamasi. Pemilihan Aburizal Bakrie (ARB) dalam Munas IX di Bali, juga melalui aklamasi yang berujung pada terbelahnya Golkar.
Munas II Partai Hanura pada 13-15 Februari 2015 hanya menjadi ajang pengukuhan secara aklamasi Wiranto sebagai ketua umum. Hal yang sama berpotensi terjadi di Gerindra dan Demokrat jika Prabowo dan SBY “turun gunung” menjadi calon ketua umum.
Penstrukturan Adaptif
Kualitas partai-partai yang ada saat ini memang sungguh memprihatinkan. Di tengah dinamika politik nasional yang terus bergerak dan membutuhkan kiprah optimal partai sebagai entitas penting dalam demokrasi, banyak dari mereka yang justru berkutat dalam konflik internal. Masalah mendasar dalam pengelolaan partai di Indonesia ialah lemahnya basis ideologi, etos demokratik, dan ketidakjelasan skema regenerasi berkelanjutan.
Basis ideologi telah lama diabaikan, bahkan dianggap utopia karena banyak politisi yang memandang ideologi bias, tak bermakna, dan tak lagi kontekstual. Etos demokratik berkaitan dengan formasi nilai-nilai demokrasi dalam berpartai. Roh partai sebagai entitas publik, yang semestinya membuat warga partai dan basis konstituen lebih berdaya, kerap tunduk pada ego dan kepentingan segelintir elite yang memegang kuasa partai.
Hal itu diperparah dengan adanya sumbatan proses kaderisasi. Tahap alamiah kaderisasi yakni proses rekrutmen, penguatan, dan pemberdayaan loyalis organisasi, serta distribusi dan alokasi kader ke sejumlah jabatan di internal maupun di tengah publik tereduksi, bahkan dibusukkan oleh oligarki, politik dinasti, dan laku politik transaksional. Banyak partai yang mengalami kegamangan dalam melakukan penstrukturan adaptif di tubuh organisasi.
Dalam terminologi Anthony Giddens, sebagaimana dikutip oleh West dan Turner dalam Introducing Communication Theory (2008) penstrukturan adaptif ialah bagaimana institusi sosial seperti organisasi diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan aturanaturan yang akan berfungsi sebagai perilaku para anggotanya. Dengan demikian, struktur diciptakan dan dipertahankan sekaligus juga dapat diubah dengan mengadaptasi atau menciptakan aturan baru.
Artinya, partai politik harusnya memperkuat sistem organisasi yang ditaati semua warga partai, bukan sebaliknya menyuburkan feodalisasi, politik patron-client yang menyebabkan organisasi di bawah subordinasi satu atau beberapa orang saja. PPP terbelah menjadi dua, kubu Djan Faridz dan Kubu Romahurmuziy.
Sama-sama menyandarkan diri pada aturan organisasi dengan tafsir sendiri-sendiri akibat konteks kepentingan politik pragmatis yang berbeda. Pun demikian kubu Agung Laksono (Munas Ancol) versus kubu Aburizal Bakrie (Munas Bali) yang seolah berada di labirin kekuasaan dan tak kunjung menemukan jalan keluar.
Padahal, kedua partai ini surplus para politisi senior yang banyak makan asam garam manajemen konflik. Dengan demikian, persoalannya bukan pada “jam terbang”, melainkan pada ego pribadi dan faksi. Padahal, sejarah menunjukkan jika mekanisme penyelesaian konflik lewat pengadilan, salah satu pihak biasanya membuat tandingan atau keluar dan mendirikan partai baru.
Fenomena Aklamasi
Fenomena aklamasi dalam pemilihan ketua umum di PDIP, Hanura, juga kemungkinan terjadi di Gerindra dan Demokrat, menjadi penanda nyata menguatnya gejala groupthink! Gejala ini oleh Irving Janis dalam karyanya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decesions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi dan sering gagal mengembangkan alternatif- alternative tindakan yang mereka ambil.
Para kader ratarata berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan sehingga sangat sedikit kemungkinan munculnya ide-ide yang tidak populer atau tidak serupa dengan anggota kader lain terlebih dengan elite utamanya. Saat pengurus dan kader partai tak lagi berani bicara atau mengeluarkan alternatif nama, meski sekadar dilevel wacana, sudah bisa dipastikan begitu kuatnya batasan afiliatif (affiliative constraints ) di tubuh organisasi tersebut.
Batasan afiliatif berarti anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak atau disebut sebagai penyimpang dan pengkhianat. Salah satu dampak signifikandari buruknya kualitas sirkulasi elite seperti ini adalah minimnya para pemimpin imparsial. Sosok-sosok seperti Megawati, Wiranto, Prabowo, SBY dengan sendirinya akan selalu berada di puncak hierarki otoritas partai.
Suatu saat, jika terjadi transisikepemimpinandari figur utama ini ke yang lain, barulah faksi-faksi di internal yang tadinya laten mengemuka ke ruang publik. Sesungguhnya tak salah jika partai memiliki figur kuat, hanya saja sumber daya politik figur harus bertransformasi menjadi kekuatan sistem.
Ketidak mampuan partai mengelola konflik internal sama buruknya dengan ketidak berdayaan partai keluar dari subordinasi figur. Kelembagaan parpol akan sangat rapuh dan tak akan pernah mampu berdiri kokoh sebagai entitas publik yang demokratis. Partai yang berkonflik, terancam lemah dan “tergopohgopoh” mengejar agenda politik yang membutuhkan fokus perhatian, misalnya pilkada serentak di tahun ini.
Adapun partai yang tersubordinasi segelintir elite oligarkis hanya akan mendapatkan kenyamanan dan kemapanan palsu! Saatnya partai memikirkan proses transformasi lebih sistemik. Menguatkan pola kaderisasi dan memperkuat kapasitas kelembagaan. Pengelolaan partai yang berkutatdi lingkaran oligarki elite akan menyebabkan gagalnya partai menuju partai modern.
(bbg)