Mengenang sang Wali

Senin, 23 Maret 2015 - 09:58 WIB
Mengenang sang Wali
Mengenang sang Wali
A A A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]


Menghidupkan kembali kenangan tentang Gus Dur, sang wali, dengan rasa hormat, tapi sesedikit mungkin keterlibatan emosi yang menggusur makna sejarah pribadinya menjadi mitologi, merupakan sebuah tantangan.

Diskusi tentang Gus Dur, tiap saat, tergelincir ke dalam pemitosan, dan kultus yang “menyenangkan”, tapi mungkin sebetulnya merugikan yang dikenang maupun yang mengenangnya. Orang-orang yang dekat Gus Dur, pribadi maupun kelompok, termasuk para pemuja di kalangan etnis China, komunitas yang disebut Gus Durian, maupun kelompok-kelompok kaum nahdliyin sendiri, yang selalu punya waktu dan hati buat Gus Dur, sering merasa seolah tak cukup memandang Gus Dur sekadar sebagai tokoh sejarah.

Bahkan mungkin mereka diam-diam melupakannya untuk lebih menempatkan Gus Dur sebagai tokoh mitologis, yang penuh makna, sarat dengan pujaan dan kultus. Kita tahu, posisi kewaliannya sudah dikenal luas sejak masa hidupnya, dan menjadi semakin kukuh sesudah, atau ketika, jutaan umat mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhirnya, yang penuh kedamaian, di makam keluarga, di dalam lingkungan pekarangan Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.

Di sana, dalam ketiadaannya, Gus Dur terasa makin “ada”, dan makin begitu dekat di hati umat. Tangis “rohaniah” yang tak kunjung reda, dan keterlibatan makna “ngalap berkah”, disertai tindakan pemujaan dalam bentuk memungut segenggam tanah segar yang masih merah di gundukan pusaranya, untuk dibawa pulang, apakah ini namanya bila bukan pemujaan yang terlewat hangat? Boleh jadi, Gus Dur sendiri tak menyukainya karena dia paham sepaham-pahamnya bahwa tindakan itu secara keagamaan, kebudayaan, maupun politik merugikan.

Tapi, demi “ngemong” citarasa keagamaan umatnya, sikapnya yang longgar dan akomodatif, niscaya tak bakal tega dia melarang mereka memunguti segenggam demi segenggam tanah kuburannya. Dengan sikapnya yang serba- “semeleh", kira-kira Gus Dur akan bergumam, seolah buat dirinya sendiri: ‘Lha wong cuma ngambil tanah saja kok ndak boleh.

Memangnya mereka harus ngambil apa lagi, selain tanah?’ Jika ada yang mengingatkannya bahwa tindakan itu termasuk wujud kemusyrikan, Gus Dur pasti dengan santai menjawab:“ Ya tergantung niatnya. Kalau niatnya menganggap segenggam tanah kuburan saya itu sebagai sekadar suvenir, ya ndak apa-apa.”

Jika ada argumen yang menyatakan bahwa di balik tindakan itu ada semangat kultus atau pemujaan yang terlalu jauh dan tak dibenarkan agama, Gus Dur pasti punya jawaban lain: “Kalau mereka hanya menyatakan cinta, dan penghormatan biasa pada saya, seperti layaknya mereka menaruh rasa hormat dengan simbol berupa ‘mencium tangan kiai’, ya insya Allah ndak apaapa.

Tuhan tahu, dan tak mudah terkecoh seperti kita.” Betapa enak Gus Dur memahami berbagai kesalahpahaman yang menegangkan. Baginya, apa yang bersifat salah paham, tak usah ditanggapi secara serius. Di dalam hidup ini ada bertumpuk-tumpuk pemahaman yang benar, yang minta diberi saluran komunikasi yang sehat, dan akomodatif, untuk membangun suatu tingkat pemahaman yang lebih tinggi, agar kita tak terpancing terusmenerus oleh kesalahpamahan yang tak kita perlukan.

Syukur bila tingkat pemahaman yang lebih tinggi itu tak dibiarkan sekadar sebagai bentuk kemajuan di dalam dunia gagasan dan pemikiran, melainkan diberi ruang di wilayah kebijakan, untuk diwujudkan menjadi sebuah “amal ilmiah” dan “ilmu yang amaliah”. Melalui tindakan-tindakan seperti itu, perlahan-lahan kita memberi makna lebih kontekstual, lebih membumi, apa yang kita sadari bahwa Islam membawa rahmat bagi semesta alam.

Kenangan ini dikembangkan lebih lanjut dari kesadaran filosofis Gus Dur atas suatu teori. Sering Gus Dur bilang, suatu teori, betapapun baiknya, jika tak bisa dipraktikkan, teori yang baik tadi boleh jadi tak ada gunanya. Di sini tampak, Gus Dur menghormati setinggitingginya teori, tapi juga menuntut kemudahannya untuk diterapkan dalam hidup. Ini memiliki banyak implikasi di dalam cara dan sikapnya memandang hidup. Gus Dur tak pernah bersikap hitam-putih.

Dunianya bertakiktakik, kompleks, dan memiliki banyak ruang tak terduga dan tak terselami oleh kita seperti sebuah gua yang besar, banyak ruang-ruang gelap di dalamnya, dan juga banyak keteduhan yang bisa dinikmati oleh para pencari kebenaran, dan para “salik”, yang sudah berjalandijalan-Nya, tapi selalu bertanya lebih dalam: aku bukan mencari jalan, melainkan mencari Tuhan.

Para pencari “hakikat” Tuhan, yang selalu haus, yang “rindu rasa”, “rindu rupa”, seperti Amir Hamzah, tak mungkin bisa dipuaskan sekadar oleh ditemukannya jalan. Bagi mereka—termasuk pula bagi penyair Sutardji Calsoum Bahri—yang “emoh” menerima jalan karena jalan bukan Tuhan.

Urusan halal-haram itu dihormati sepenuh hati dan menjadi bagian dari orientasi nilai utama dalam hidup. Tapi, Gus Dur jarang menghukum orang dengan haram, sesat, musyrik, dan sejenisnya. Pun tidak mengumbar pujaan bahwa seseorang telah “lurus”, “benar”, tanpa unsur “sesat”, dan sejenisnya. Kesadaran teologis dan makna kebenaran pada umat berbeda antara satu bagian dengan bagian yang lain, antara yang terpelajar dan kaum awam. Baginya, kedua-duanya bagian dari keumatan yang dihimpun baikbaik, dan dicintai, seperti dia mencintai keluarganya sendiri.

Pada tahap ini kenangan kita tentang sang wali, mengarahkan kesadaran kita bahwa Gus Dur bukan sekadar milik keluarga. Gus Dur sudah menjadi dunia nilai, tapi Gus Dur pun ibaratnya sudah menjadi representasi suatu institusi. Maka sekali lagi, dia bukan hanya milik keluarga, melainkan milik umum, milik dunia nilai, milik kesadaran yang lebih luas. Keluarga Gus Dur itu umat manusia, dan segenap nilai kemanusiaan, yang diperjuangkannya selama masa hidupnya, yang begitu produktif, berani, berisiko, tapi tak pernah dirisaukannya.

Dia tahu tiap perjuangan mengandung risiko. Tidur-tiduran, bermalasmalasan tanpa mengerjakan sesuatu pun ada risikonya. Apalagi berjuang, dengan semangat melawan arus deras kehidupan yang tak pernah terlalu ramah. Gus Dur memang sudah tak ada lagi di tengah kita. Tapi, dalam kesadaran banyak pihak, ketiadaannya itu sebetulnya ada.

Dia ada, dan selalu akan ada, tiap saat kita mengalami masalahmasalah yang dulu diurus dengan berani oleh Gus Dur, tapi sekarang tak diurus oleh siapa pun. Di sini kenangan kita menjadisebuahkerinduan. Kitarindu seorang wali, yang mewakili dunia nilai dan moralitas, yang sekarang sudah, maaf, mampus.

Kita pun rindu seorang pemimpin, yang berani bertindak demi kebenaran, dan tak takut. Sekali lagi, Gus Dur sudah tak ada, tapi sebetulnya dia ada. Dia tetap hidup dalam kenangan umat, yang bukan hanya umat NU, bukan hanya umat Islam, tapi jauh di luar batasbatas itu.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0897 seconds (0.1#10.140)