Petani Meringis di Negeri Agraris

Senin, 23 Maret 2015 - 09:46 WIB
Petani Meringis di Negeri...
Petani Meringis di Negeri Agraris
A A A
Madasaina Putri Aminati Samiiyaa
Mahasiswi Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia


Kesuburan tanah dan kekayaan alam Indonesia sudah terkenal sejak dahulu kala, sayang belum menjamin penduduk negeri ini bisa hidup sejahtera.

Mengacu pada hierarchy of need Abraham Maslow, jangankan mencapai kehidupan yang sejahtera, kebutuhan paling dasar yang menduduki level paling bawah saja belum bisa tercukupi bagi sebagian penduduk Indonesia. Kebutuhan paling dasar tersebut adalah kebutuhan fisiologis yang dalam hal ini adalah kebutuhan akan makan.

Food and Agriculture Organization (FAO) pernah menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat dikatakan sejahtera jika kebutuhan pangan penduduknya belum tercukupi. Sementara itu, data statistik mencatat bahwa 12% penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan. Julukan negeri agraris menandakan bahwa mayoritas penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian.

Ironisnya, para petani di negeri agraris ini justru kian terpuruk. Para petani lokal sangat dirugikan dengan surat persetujuan impor yang diterbitkan Menteri Perdagangan sepanjang tahun 2014 lalu. Keputusan tersebut menyebabkan angka impor beras Indonesia melonjak tajam. Data BPS dari Januari 2014 hingga Oktober 2014 mencatat bahwa Indonesia telah mengimpor 405.000 ton beras dari Thailand, India, Pakistan, Vietnam, dan Myanmar.

Hantaman arus impor tersebut menyudutkan para petani lokal. Memang benar bahwa 2015 ini masyarakat kita harus siap menghadapi ASEAN Economic Community (AEC). Namun pemerintah tidak seharusnya diam saja melihat fenomena ini.

Meskipun kita sudah memasuki era pasar bebas, pemerintah tetap harus turun tangan untuk melindungi hak-hak petani. Terlebih lagi produksi pangan dalam negeri mayoritas dihasilkan para petani kecil dengan luas lahan tidak lebih dari 0,5 ha/orang (Swastika, 2011). Besar harapan agar pasangan Jokowi-JK mampu melindungi petani kecil dengan cara memperbaiki regulasi pertanahan serta memperbaiki sistem distribusi hasil pangan dalam negeri.

Pemerintah harus menghentikan food estate, yaitu alih fungsi lahan pertanian ke lahan untuk komersial. Selain itu pemerintah perlu melakukan perbaikan agar distribusi produk lokal tidak kalah dengan distribusi produk impor.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8431 seconds (0.1#10.140)