Nyepi, Korupsi Kita, dan Zhu Rongji
A
A
A
Sejak Hari Raya Nyepi ditetapkan sebagai hari libur nasional pada 1984, saudara- saudari kita pemeluk Hindu di negeri ini bisa melaksanakan Catur Bratha Penyepian dengan lebih baik.
Catur bratha itu adalah amati geni, amati karya, amati lelungan, dan amati lelanguan. Amati geni bukan hanya secara nyata tidak menyalakan api (dan aliran listrik) serta segala turunannya seperti menghidupkan komputer, radio, tv, merokok, memasak, membakar sampah, dan sebagainya, tetapi bratha itu lebih luas maknanya.
Saat Nyepi akan kentara sekali tingkat mengendalikan diri seseorang. Yang biasanya baru sarapan pukul 10.00 pagi misalnya bagi yang tidak terlatih pada hari Nyepi demikian kelaparan sejak pukul 07.00 pagi, padahal hari itu seharusnya puasa makan dan puasa minum sehari penuh.
Ujian berupa meditasi dan introspeksi diri dalam rangka menyongsong Tahun Baru Saka 1937 tersebut berlangsung sehari penuh sejak pagi pukul 06.00 sampai esok harinya pada jam yang sama. Ibarat tutup buku organisasi (perusahaan), selama sehari penuh, umat Hindu tidak melakukan segala bentuk aktivitas sehari-hari (amati karya) dan tidak bepergian (amati lelungan), serta tidak bersenang- senang (amati lelanguan).
Pokoknya inti dari catur bratha adalah agar kita tidak mengumbar hawa nafsu. Pesan demikian juga menjadi pesan banyak agama-agama besar di dunia seperti Islam, Kristen, atau Buddha.
Salah satu hawa nafsu besar yang bersifat kolektif sekaligus destruktif adalah korupsi. Kita sudah tahu, korupsi memang menjadi masalah paling pelik dan paling besar di negeri yang sangat majemuk ini. Hampir semua orang sepakat bahwa salah satu kendala terbesar kita untuk jadi bangsa besar adalah masih merajalelanya korupsi.
Harapan publik untuk pemberantasan korupsi memang tertuju kepada orang nomor satu di negeri ini. Ketika terpilih, salah majalah TIME memberi judul “A New Hope“ (Harapan Baru), dengan gambar sosok presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2014-2019 (edisi 27/10/2014). Kini perlahan tapi pasti, harapan itu memudar. Presiden kita sungguh telah mengecewakan harapan sebagian orang.
Masa depan pemberantasan korupsi justru tengah berada pada titik paling krusial. Buktinya dalam kondisi tengah dihancurkan, Presiden dinilai tidak melakukan suatu tindakan signifikan guna melindungi Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK itu anak kandung reformasi yang tujuan pendiriannya untuk memerangi korupsi sebagai kejahatan luar biasa, mengingat Kejaksaan Agung atau Polri terlihat tidak mampu lagi menangani korupsi yang marak di seantero negeri.
Seperti diketahui, KPK berdiri pada 29 Desember 2003 pada era Presiden Megawati dengan tujuan melindungi kepentingan bangsa agar tidak terus digerogoti para koruptor. Sepanjang perjalanan KPK sejak 2003 sudah banyak uang negara yang diselamatkan. Tercatat sejak 2003 sampai April 2014 uang negara yang diselamatkan sebesar Rp153 triliun.
KPK juga sudah memenjarakan banyak koruptor yang semula berbaju menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan puluhan koruptor bergelar profesor dan doktor. Ironis, pada era Presiden yang didukung PDIP dengan Ketua Umum Megawati, KPK kini justru mati suri dan hendak dibinasakan.
Presiden dan wapres juga sudah mengagendakan Nawacita atau sembilan agenda prioritas pemerintahan. Dalam Nawacita, pada poin nomor keempat, jelas tertulis “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya.”
Tapi, hari-hari ini publik justru tengah ramai membicarakan. Kini para koruptor benarbenar diliputi euforia dan tengah berpesta pora, termasuk yang di daerah. Berbagai praktik korupsi di daerah yang sebenarnya mulai dibidik KPK, seperti terlihat dari kasus Fuad Amin, kini dijamin mandek lagi dan membuat para koruptornya bisa menikmati kesejahteraan setelah pensiun.
Di berbagai daerah, selama ini sudah cukup banyak kasus korupsi menguap dan dilupakan. Presiden boleh berkoar tetap optimistis dalam pemberantasan korupsi. Tapi, pernyataan Presiden tersebut hanya membuat geram rakyat, khususnya mereka yang “concern“ dengan masa depan pemberantasan korupsi.
Rakyat juga makin geram karena Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly akan melonggarkan ketentuan pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi dengan alasan pertimbangan HAM. Banyak pihak mencurigai, keinginannya mengubah, bahkan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/ 2012 mengenai Pengetatan Pemberian Remisi kepada Koruptor, Terpidana Kasus Narkoba, dan Terorisme tersebut menjadi alasan mengobral remisi untuk koruptor.
Seiring Nyepi, semoga Presiden mau menyepi sekaligus introspeksi. Dalam momentum Nyepi, mari kita belajar dari China bagaimana memberantas korupsi. Sejak berdiri pada 1 Oktober 1949, China pernah bermasalah dengan korupsi.
Namun, sejak 1978, ketika Deng Xiaoping mencanangkan reformasi ekonomi dan keterbukaan China (gaige kaifang), korupsi dinyatakan resmi sebagai musuh negara dan masyarakat. Komitmen pemberantasan korupsi di RRT kian terkenal di dunia pada era Perdana Menteri Zhu Rongji (1998-2002).
Ketika dilantik menjadi perdana menteri pada 1998, Zhu dengan lantang mengatakan, “Berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk koruptor, satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama”. Zhu tidak main-main. Cheng Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis Tiongkok, dihukum mati karena menerima suap USD5 juta.
Selama era Zhu, 4.000 orang dihukum mati, termasuk koruptor. Pada era Zhu, birokrasi yang gemuk dirampingkan. Kepastian hukum dijamin. Kebijakan ini mendorong iklim investasi yang mampu menghimpun dana asing senilai USD50 miliar setiap tahun.
Menurut guru besar Universitas Peking, Prof Kong Yuanzhi, kemajuan China tak bisa lepas dari kontribusi Zhu dalam memberantas korupsi. Perang terhadap korupsi pada era Zhu di ikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Uang negara, yang antara lain dihasilkan dari pajak dan semula dikorupsi, kini bisa dimaksimalkan untuk memberikan pendidikan bagi orang miskin.
Bayangkan, andai rekening gendut para koruptor kita dimanfaatkan untuk memberi beasiswa? Di negeri kita, APBD untuk pendidikan pun tega dikorupsi. Pada era Zhu, banyak sekali anak miskin yang diberi beasiswa untuk kuliah di berbagai negara. Selesai studi, mereka pulang membangun dan memajukan negaranya.
Pertumbuhan ekonomi negeri pun mencapai 8-9% per tahun, terbesar di antara negara-negara lain. Memang bukan berarti China sudah sangat bersih dari korupsi. Pemerintah China juga tidak berpuas diri. Buktinya, kampanye antikorupsi Partai Komunis China pun digencarkan lagi oleh Xi Jinping setelah ia menakhodai partai tersebut pada akhir 2012.
Mulai sekolah dasar sudahdigencarkan pendidikan anti korupsi. Anak-anak sudah diajar menyadari bahwa korupsi itu jahat dan koruptor adalah pengkhianat negara sekaligus rakyat. Jangan mimpi menjadi negara besar seperti China jika ternyata korupsi masih terus merajalela dan dijadikan kebiasaan.
Seiring Nyepi, tiap warga negara dari agama apa pun harus berani melancarkan otokritik sekaligus mematikan hawa nafsu untuk korupsi agar kesejahteraan rakyat dan kejayaan bangsa bisa kita raih. Selamat Tahun Baru Saka 1937.
Tom Saptaatmaja
Teolog
Catur bratha itu adalah amati geni, amati karya, amati lelungan, dan amati lelanguan. Amati geni bukan hanya secara nyata tidak menyalakan api (dan aliran listrik) serta segala turunannya seperti menghidupkan komputer, radio, tv, merokok, memasak, membakar sampah, dan sebagainya, tetapi bratha itu lebih luas maknanya.
Saat Nyepi akan kentara sekali tingkat mengendalikan diri seseorang. Yang biasanya baru sarapan pukul 10.00 pagi misalnya bagi yang tidak terlatih pada hari Nyepi demikian kelaparan sejak pukul 07.00 pagi, padahal hari itu seharusnya puasa makan dan puasa minum sehari penuh.
Ujian berupa meditasi dan introspeksi diri dalam rangka menyongsong Tahun Baru Saka 1937 tersebut berlangsung sehari penuh sejak pagi pukul 06.00 sampai esok harinya pada jam yang sama. Ibarat tutup buku organisasi (perusahaan), selama sehari penuh, umat Hindu tidak melakukan segala bentuk aktivitas sehari-hari (amati karya) dan tidak bepergian (amati lelungan), serta tidak bersenang- senang (amati lelanguan).
Pokoknya inti dari catur bratha adalah agar kita tidak mengumbar hawa nafsu. Pesan demikian juga menjadi pesan banyak agama-agama besar di dunia seperti Islam, Kristen, atau Buddha.
Salah satu hawa nafsu besar yang bersifat kolektif sekaligus destruktif adalah korupsi. Kita sudah tahu, korupsi memang menjadi masalah paling pelik dan paling besar di negeri yang sangat majemuk ini. Hampir semua orang sepakat bahwa salah satu kendala terbesar kita untuk jadi bangsa besar adalah masih merajalelanya korupsi.
Harapan publik untuk pemberantasan korupsi memang tertuju kepada orang nomor satu di negeri ini. Ketika terpilih, salah majalah TIME memberi judul “A New Hope“ (Harapan Baru), dengan gambar sosok presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2014-2019 (edisi 27/10/2014). Kini perlahan tapi pasti, harapan itu memudar. Presiden kita sungguh telah mengecewakan harapan sebagian orang.
Masa depan pemberantasan korupsi justru tengah berada pada titik paling krusial. Buktinya dalam kondisi tengah dihancurkan, Presiden dinilai tidak melakukan suatu tindakan signifikan guna melindungi Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK itu anak kandung reformasi yang tujuan pendiriannya untuk memerangi korupsi sebagai kejahatan luar biasa, mengingat Kejaksaan Agung atau Polri terlihat tidak mampu lagi menangani korupsi yang marak di seantero negeri.
Seperti diketahui, KPK berdiri pada 29 Desember 2003 pada era Presiden Megawati dengan tujuan melindungi kepentingan bangsa agar tidak terus digerogoti para koruptor. Sepanjang perjalanan KPK sejak 2003 sudah banyak uang negara yang diselamatkan. Tercatat sejak 2003 sampai April 2014 uang negara yang diselamatkan sebesar Rp153 triliun.
KPK juga sudah memenjarakan banyak koruptor yang semula berbaju menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan puluhan koruptor bergelar profesor dan doktor. Ironis, pada era Presiden yang didukung PDIP dengan Ketua Umum Megawati, KPK kini justru mati suri dan hendak dibinasakan.
Presiden dan wapres juga sudah mengagendakan Nawacita atau sembilan agenda prioritas pemerintahan. Dalam Nawacita, pada poin nomor keempat, jelas tertulis “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya.”
Tapi, hari-hari ini publik justru tengah ramai membicarakan. Kini para koruptor benarbenar diliputi euforia dan tengah berpesta pora, termasuk yang di daerah. Berbagai praktik korupsi di daerah yang sebenarnya mulai dibidik KPK, seperti terlihat dari kasus Fuad Amin, kini dijamin mandek lagi dan membuat para koruptornya bisa menikmati kesejahteraan setelah pensiun.
Di berbagai daerah, selama ini sudah cukup banyak kasus korupsi menguap dan dilupakan. Presiden boleh berkoar tetap optimistis dalam pemberantasan korupsi. Tapi, pernyataan Presiden tersebut hanya membuat geram rakyat, khususnya mereka yang “concern“ dengan masa depan pemberantasan korupsi.
Rakyat juga makin geram karena Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly akan melonggarkan ketentuan pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi dengan alasan pertimbangan HAM. Banyak pihak mencurigai, keinginannya mengubah, bahkan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/ 2012 mengenai Pengetatan Pemberian Remisi kepada Koruptor, Terpidana Kasus Narkoba, dan Terorisme tersebut menjadi alasan mengobral remisi untuk koruptor.
Seiring Nyepi, semoga Presiden mau menyepi sekaligus introspeksi. Dalam momentum Nyepi, mari kita belajar dari China bagaimana memberantas korupsi. Sejak berdiri pada 1 Oktober 1949, China pernah bermasalah dengan korupsi.
Namun, sejak 1978, ketika Deng Xiaoping mencanangkan reformasi ekonomi dan keterbukaan China (gaige kaifang), korupsi dinyatakan resmi sebagai musuh negara dan masyarakat. Komitmen pemberantasan korupsi di RRT kian terkenal di dunia pada era Perdana Menteri Zhu Rongji (1998-2002).
Ketika dilantik menjadi perdana menteri pada 1998, Zhu dengan lantang mengatakan, “Berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk koruptor, satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama”. Zhu tidak main-main. Cheng Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis Tiongkok, dihukum mati karena menerima suap USD5 juta.
Selama era Zhu, 4.000 orang dihukum mati, termasuk koruptor. Pada era Zhu, birokrasi yang gemuk dirampingkan. Kepastian hukum dijamin. Kebijakan ini mendorong iklim investasi yang mampu menghimpun dana asing senilai USD50 miliar setiap tahun.
Menurut guru besar Universitas Peking, Prof Kong Yuanzhi, kemajuan China tak bisa lepas dari kontribusi Zhu dalam memberantas korupsi. Perang terhadap korupsi pada era Zhu di ikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Uang negara, yang antara lain dihasilkan dari pajak dan semula dikorupsi, kini bisa dimaksimalkan untuk memberikan pendidikan bagi orang miskin.
Bayangkan, andai rekening gendut para koruptor kita dimanfaatkan untuk memberi beasiswa? Di negeri kita, APBD untuk pendidikan pun tega dikorupsi. Pada era Zhu, banyak sekali anak miskin yang diberi beasiswa untuk kuliah di berbagai negara. Selesai studi, mereka pulang membangun dan memajukan negaranya.
Pertumbuhan ekonomi negeri pun mencapai 8-9% per tahun, terbesar di antara negara-negara lain. Memang bukan berarti China sudah sangat bersih dari korupsi. Pemerintah China juga tidak berpuas diri. Buktinya, kampanye antikorupsi Partai Komunis China pun digencarkan lagi oleh Xi Jinping setelah ia menakhodai partai tersebut pada akhir 2012.
Mulai sekolah dasar sudahdigencarkan pendidikan anti korupsi. Anak-anak sudah diajar menyadari bahwa korupsi itu jahat dan koruptor adalah pengkhianat negara sekaligus rakyat. Jangan mimpi menjadi negara besar seperti China jika ternyata korupsi masih terus merajalela dan dijadikan kebiasaan.
Seiring Nyepi, tiap warga negara dari agama apa pun harus berani melancarkan otokritik sekaligus mematikan hawa nafsu untuk korupsi agar kesejahteraan rakyat dan kejayaan bangsa bisa kita raih. Selamat Tahun Baru Saka 1937.
Tom Saptaatmaja
Teolog
(ftr)