Tengok Sejarah untuk Solusi Pertanian
A
A
A
Jas merah. Jangan sekalikali melupakan sejarah. Sebuah istilah populis Bung Karno yang sama sekali bukan isapan jempol.
Masalah negeri dewasa ini agaknya bisa ditengok di masa lalu solusinya, termasuk masalah agraris kita yang cukup ironis. Pada tahun 2013, impor pertanian Indonesia menurut BPS mencapai angka sebesar USD14,9 miliar, meningkat empat kali lipat dibanding 2003 yakni USD3,34 miliar. Sungguh merupakan ironi tersendiri mengingat sudah sejak lama kita berpredikat negara agraris.
Negara dengan mayoritas penduduknya bermata pencarian cocok tanam. Padahal, kita bisa mencari solusi di masa lalu yang mungkin masih relevan hingga kini. Selain contoh pada masa swasembada beras Presiden Soeharto, ternyata kita mempunyai program pertanian yang cukup menarik. Pada tahun 1960-an, terdapat program yang bernama Nucleus Estate Small-holders (NES).
Dibentuknya semacam perkumpulan petani semacam koperasi (plasma ) yang ketika itu petani singkong untuk membentuk suatu usaha inti (nucleus) berupa pabrik tapioka. Dengan usaha tersebut, petani tidak hanya memperoleh nilai tambah primer seperti panen tanaman, tetapi juga memperoleh nilai sekunder seperti tepung yang keuntungannya berkali lipat.
Sayangnya ketika program tersebut berubah menjadi Perkebunan Inti Rakyat (PIR), pemilik usaha bukan lagi koperasi petani melainkan para pemodal, sehingga hanya menguntungkan segelintir orang. Atau bahkan yang lebih menginspirasi, 200 tahun yang lalu ketika nama Indonesia masih Hindia Belanda.
Van Den Bosch, gubernur jenderal VOC, memerintahkan sebuah titah legendaris yaitu cultuurstelsel atau tanam paksa. Begitu dicanangkan, VOC yang defisit kasnya hampir menyebabkan kebangkrutan malah berubah menjadi raksasa penyumbang devisa Kerajaan Belanda.
Indonesia yang setelah merdeka justru tertatih-tatih memenuhi kebutuhan pangan negaranya sendiri ternyata ketika dijajah merupakan juru selamat negara lain. Terlepas dari penderitaan dan kesengsaraan cultuurstelsel, kita dapat belajar dan mengambil kebaikan-kebaikan yang masih relevan. Seperti dalam hal efektivitas dan efisiensi birokrasi pelaksanaan kebijakan.
Menariknya, ketika cultuurstelsel orang-orang Belanda yang populasinya jauh lebih sedikit berhasil menggerakkan para bangsawan untuk menjadi ”pegawai” pemungut pajak yang outstanding. Padahal, kondisi finansial mereka sendiri sebenarnya masih krisis.
Sayangnya bukan kebaikan, tetapi sisi negatif dari cultuurstelsel berupa prinsip subordinasi-parokial dan korupsi yang sedihnya justru tetap lestari sampai saat ini. Sejarah memang dialami semua bangsa. Namun, hanya bangsa besarlah yang bisa mengambil pelajaran darinya.
Ghozali Imaduddin
Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Islam, Fakultas EkonomiUniversitas Indonesia
Masalah negeri dewasa ini agaknya bisa ditengok di masa lalu solusinya, termasuk masalah agraris kita yang cukup ironis. Pada tahun 2013, impor pertanian Indonesia menurut BPS mencapai angka sebesar USD14,9 miliar, meningkat empat kali lipat dibanding 2003 yakni USD3,34 miliar. Sungguh merupakan ironi tersendiri mengingat sudah sejak lama kita berpredikat negara agraris.
Negara dengan mayoritas penduduknya bermata pencarian cocok tanam. Padahal, kita bisa mencari solusi di masa lalu yang mungkin masih relevan hingga kini. Selain contoh pada masa swasembada beras Presiden Soeharto, ternyata kita mempunyai program pertanian yang cukup menarik. Pada tahun 1960-an, terdapat program yang bernama Nucleus Estate Small-holders (NES).
Dibentuknya semacam perkumpulan petani semacam koperasi (plasma ) yang ketika itu petani singkong untuk membentuk suatu usaha inti (nucleus) berupa pabrik tapioka. Dengan usaha tersebut, petani tidak hanya memperoleh nilai tambah primer seperti panen tanaman, tetapi juga memperoleh nilai sekunder seperti tepung yang keuntungannya berkali lipat.
Sayangnya ketika program tersebut berubah menjadi Perkebunan Inti Rakyat (PIR), pemilik usaha bukan lagi koperasi petani melainkan para pemodal, sehingga hanya menguntungkan segelintir orang. Atau bahkan yang lebih menginspirasi, 200 tahun yang lalu ketika nama Indonesia masih Hindia Belanda.
Van Den Bosch, gubernur jenderal VOC, memerintahkan sebuah titah legendaris yaitu cultuurstelsel atau tanam paksa. Begitu dicanangkan, VOC yang defisit kasnya hampir menyebabkan kebangkrutan malah berubah menjadi raksasa penyumbang devisa Kerajaan Belanda.
Indonesia yang setelah merdeka justru tertatih-tatih memenuhi kebutuhan pangan negaranya sendiri ternyata ketika dijajah merupakan juru selamat negara lain. Terlepas dari penderitaan dan kesengsaraan cultuurstelsel, kita dapat belajar dan mengambil kebaikan-kebaikan yang masih relevan. Seperti dalam hal efektivitas dan efisiensi birokrasi pelaksanaan kebijakan.
Menariknya, ketika cultuurstelsel orang-orang Belanda yang populasinya jauh lebih sedikit berhasil menggerakkan para bangsawan untuk menjadi ”pegawai” pemungut pajak yang outstanding. Padahal, kondisi finansial mereka sendiri sebenarnya masih krisis.
Sayangnya bukan kebaikan, tetapi sisi negatif dari cultuurstelsel berupa prinsip subordinasi-parokial dan korupsi yang sedihnya justru tetap lestari sampai saat ini. Sejarah memang dialami semua bangsa. Namun, hanya bangsa besarlah yang bisa mengambil pelajaran darinya.
Ghozali Imaduddin
Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Islam, Fakultas EkonomiUniversitas Indonesia
(ftr)