Kebijakan Ekonomi Baru
A
A
A
Paket kebijakan ekonomi untuk stabilisasi nilai tukar rupiah dan menekan defisit transaksi berjalan (current account deficit) akhirnya diumumkan juga.
Paket kebijakan yang semula akan dipublikasikan akhir pekan lalu memang sudah dinantikan publik terutama dari kalangan pengusaha dan investor pasar modal. Namun karena sinkronisasi dengan berbagai peraturan terkait, baru bisa diumumkan awal pekanini.
Hanya, kebijakan tersebut baru efektif akhir April mendatang dengan alasan butuh proses administrasi, sementara gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin sulit dijinakkan. Sejak duet Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjalankan roda pemerintahan di negeri ini, memang berbagai kebijakan yang berkaitan pertumbuhan ekonomi sudah ditempuh.
Kali ini paket kebijakan yang dikeluarkan lebih beragam dan langsung berkaitan dengan kepentingan para pelakuusaha. Pertama, seputar insentif pajak. Pemerintah menjanjikan keringanan pajak penghasilan (PPh) bagi perusahaan yang menahan dividen dan melaksanakan reinvestasi.
Selain itu, industri galangan kapal mendapat insentif khusus pajak pertambahan nilai (PPN); tujuannya tidak lain untuk menekan biaya logistik. Kedua, aturan bea masuk terkait pengurangan impor dan perlindungan industri dalam negeri. Kebijakan tersebut meliputi bea masuk anti-dumping (BMAD) dan bea masuk tindak pengamanan sementara (BMPTS) yang ditujukan pada produk impor yang unfair trade .
Ketiga, terkait pembebasan visa bagi wisatawan asing dari 30 negara. Dengan demikian, Indonesia tercatat telah membebaskan visa bagi turis untuk 45 negara. Keempat, menyangkut bahan bakar nabati (BBN). Pemerintah mewajibkan pencampuran BBN sekitar 15% untuk solar.
Sasarannya jelas, yakni untuk mengurangi impor solar yang selama ini terhitung masih besar. Kelima, kewajiban menggunakan letter of credit (L/C) bagi produk sumber daya alam, meliputi batu bara, minyak dan gas (migas), dan minyak sawit mentah (CPO). Namun, kebijakan ini mengecualikan untuk perdagangan kontrak jangka panjang.
Keenam, pembentukan perusahaan reasuransi domestik. Sejauh mana pentingnya pembentukan perusahaan tersebut? Karena salah satu sasaran paket kebijakan adalah menekan defisit transaksi berjalan, sebagaimana ditegaskan Menteri Koordinator(Menko) Perekonomian Sofyan Djalil maka harus ada perusahaan reasuransi domestik.
Pasalnya, reasuransi salah satu momok yang menggelembungkan defisit transaksi berjalan. Sebelumnya, meski belum diumumkan secara resmi, Sofyan Djalil sudah membocorkan kepublik seputar paket kebijakan ekonomi pemerintah itu.
Mantan menteri BUMN era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu menegaskan bahwa kebijakan kali ini bukan sekadar wacana. Hal itu ditegaskan untuk menanggapi tudingan sejumlah pihak yang meragukan efektifnya regulasi tersebut.
Munculnya suara miring menanggapi setiap kebijakan pemerintah memang tidak bisa ditepis, sebab pengalaman menunjukkan sejumlah kebijakan serupa pada masa lalu hanya di tataran wacana alias indah di atas kertas. Harapannya, paket kebijakan ekonomi kali dapat berjalan dengan baik.
Bila mencermati satu persatu dari enam poin kebijakan tersebut, sungguh sangat bersahabat dengan dunia usaha yang diharapkan bisa menjadi motor pertumbuhan perekonomian nasional. Sekarang tantangannya, bagaimana mengimplementasikan kebijakan tersebut. Apakah nantinya kebijakan tersebut akan memberi efek positif sebagaimana diharapkan.
Harus diakui bahwa kelemahan terbesar yang masih sulit dihilangkan oleh pengambil kebijakan selama ini adalah hebat di perencanaan, tetapi lemah di pelaksanaan, apalagi terkait pengawasan kebijakan agar tetap terarah.
Satu hal yang sedikit membuat pemerintah bisa menghela napas yang sejalan dengan paket kebijakan ekonomi yang baru diumumkan awal pekan ini, adalah kinerja neraca perdagangan Februari lalu mencatat surplus sebesar USD738,3 juta yang terjadi pada neraca nonmigas dan migas. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), perolehan surplus untuk neraca nonmigas dan migas adalah untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir ini.
Namun, bagaimana dengan kegaduhan politik yang sepertinya masih sulit dijinakkan oleh Presiden Jokowi? Padahal, kegaduhan politik jelas bisa memandulkan paket kebijakan ekonomi baru itu.
Paket kebijakan yang semula akan dipublikasikan akhir pekan lalu memang sudah dinantikan publik terutama dari kalangan pengusaha dan investor pasar modal. Namun karena sinkronisasi dengan berbagai peraturan terkait, baru bisa diumumkan awal pekanini.
Hanya, kebijakan tersebut baru efektif akhir April mendatang dengan alasan butuh proses administrasi, sementara gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin sulit dijinakkan. Sejak duet Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjalankan roda pemerintahan di negeri ini, memang berbagai kebijakan yang berkaitan pertumbuhan ekonomi sudah ditempuh.
Kali ini paket kebijakan yang dikeluarkan lebih beragam dan langsung berkaitan dengan kepentingan para pelakuusaha. Pertama, seputar insentif pajak. Pemerintah menjanjikan keringanan pajak penghasilan (PPh) bagi perusahaan yang menahan dividen dan melaksanakan reinvestasi.
Selain itu, industri galangan kapal mendapat insentif khusus pajak pertambahan nilai (PPN); tujuannya tidak lain untuk menekan biaya logistik. Kedua, aturan bea masuk terkait pengurangan impor dan perlindungan industri dalam negeri. Kebijakan tersebut meliputi bea masuk anti-dumping (BMAD) dan bea masuk tindak pengamanan sementara (BMPTS) yang ditujukan pada produk impor yang unfair trade .
Ketiga, terkait pembebasan visa bagi wisatawan asing dari 30 negara. Dengan demikian, Indonesia tercatat telah membebaskan visa bagi turis untuk 45 negara. Keempat, menyangkut bahan bakar nabati (BBN). Pemerintah mewajibkan pencampuran BBN sekitar 15% untuk solar.
Sasarannya jelas, yakni untuk mengurangi impor solar yang selama ini terhitung masih besar. Kelima, kewajiban menggunakan letter of credit (L/C) bagi produk sumber daya alam, meliputi batu bara, minyak dan gas (migas), dan minyak sawit mentah (CPO). Namun, kebijakan ini mengecualikan untuk perdagangan kontrak jangka panjang.
Keenam, pembentukan perusahaan reasuransi domestik. Sejauh mana pentingnya pembentukan perusahaan tersebut? Karena salah satu sasaran paket kebijakan adalah menekan defisit transaksi berjalan, sebagaimana ditegaskan Menteri Koordinator(Menko) Perekonomian Sofyan Djalil maka harus ada perusahaan reasuransi domestik.
Pasalnya, reasuransi salah satu momok yang menggelembungkan defisit transaksi berjalan. Sebelumnya, meski belum diumumkan secara resmi, Sofyan Djalil sudah membocorkan kepublik seputar paket kebijakan ekonomi pemerintah itu.
Mantan menteri BUMN era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu menegaskan bahwa kebijakan kali ini bukan sekadar wacana. Hal itu ditegaskan untuk menanggapi tudingan sejumlah pihak yang meragukan efektifnya regulasi tersebut.
Munculnya suara miring menanggapi setiap kebijakan pemerintah memang tidak bisa ditepis, sebab pengalaman menunjukkan sejumlah kebijakan serupa pada masa lalu hanya di tataran wacana alias indah di atas kertas. Harapannya, paket kebijakan ekonomi kali dapat berjalan dengan baik.
Bila mencermati satu persatu dari enam poin kebijakan tersebut, sungguh sangat bersahabat dengan dunia usaha yang diharapkan bisa menjadi motor pertumbuhan perekonomian nasional. Sekarang tantangannya, bagaimana mengimplementasikan kebijakan tersebut. Apakah nantinya kebijakan tersebut akan memberi efek positif sebagaimana diharapkan.
Harus diakui bahwa kelemahan terbesar yang masih sulit dihilangkan oleh pengambil kebijakan selama ini adalah hebat di perencanaan, tetapi lemah di pelaksanaan, apalagi terkait pengawasan kebijakan agar tetap terarah.
Satu hal yang sedikit membuat pemerintah bisa menghela napas yang sejalan dengan paket kebijakan ekonomi yang baru diumumkan awal pekan ini, adalah kinerja neraca perdagangan Februari lalu mencatat surplus sebesar USD738,3 juta yang terjadi pada neraca nonmigas dan migas. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), perolehan surplus untuk neraca nonmigas dan migas adalah untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir ini.
Namun, bagaimana dengan kegaduhan politik yang sepertinya masih sulit dijinakkan oleh Presiden Jokowi? Padahal, kegaduhan politik jelas bisa memandulkan paket kebijakan ekonomi baru itu.
(ftr)