Persatuan yang Belum Terwujud
A
A
A
Tak diragukan bahwa zaman berpengaruh pada manusia. Tiap zaman bahkan memiliki ”semangat”, dan ”logika” , yang bukan hanya berpengaruh, melainkan juga ”membentuk” wawasan, sikap, dan tingkah laku para warga masyarakat yang hidup di zaman itu.
Pada zaman Orde Lama dulu, kita berbicara mengenai revolusi yang belum selesai. Bung Karno sering menyebut ”revolusi multikompleks”, atau ”pancamuka” untuk menggambarkan kompleksitas dan kedalaman revolusi yang sedang kita tempuh. Pada zaman itu hidup tanpa revolusi bukan hidup. Bagi kita, hidup itu revolusi. Bung Karno juga bicara tentang ”merombak” dan ”menjebol”.
Itu inti sebuah revolusi. Jauh sebelum maupun lama sesudah merdeka, kita tetap berevolusi. Ini agenda seluruh bangsa. Karena itu, persatuan bangsa diprioritaskan. Revolusi tidak akan terwujud kalau bangsa kita tercerai berai, tidak utuh, tidak menyatu. Tekat dan semangat untuk bersatu harus bulat. Makna persatuan itu sendiri— yaitu persatuan bangsa—juga sebuah agenda kerja yang belum selesai.
Bung Karno bekerja keras, lahir batin, untuk persatuan bangsa. Beliau disebut pemersatu bangsa. Persatuan itu sudah terbentuk. Kesadaran kita, semua warga negara, bahwa kita bangsa Indonesia, membahagiakan. Tapi wujud kesadaran itu masih bisa digoyahkan. Dalam arti tertentu, seperti revolusi yang belum selesai tadi, persatuan bangsa pun bisa disebut belum selesai. Persatuan kita belum teruji dengan sebaikbaiknya di dalam sejarah kita sendiri.
Pada zaman Orde Baru, dua agenda besar yang belum selesai itu diabaikan secara mutlak karena alasan politik yang tak pernah dikemukakan secara jelas. Diam-diam Pak Harto berniat ”menghabisi” Bung Karno. Pengaruh besar politiknya yang luas dan mendasar dihabisi. Idiom-idiom politik Bung Karno dihabisi.
Gaya pemerintahan populis Bung Karno dihapus bersih. Kalau pengaruh Bung Karno masih terasa, Pak Harto tak akan bisa berbuat apa pun. Beliau akan ”hilang” ditelan kewibawaan Bung Karno. Tapi, Pak Harto bukan tokoh biasa.
Dilenyapkannya pengaruh politik Bung Karno membuat Pak Harto mampu membangun suatu logika politik tersendiri. Beliau berbicara mengenai pembangunan. Pidato pagi pembangun. Pidato siang pembangunan. Pada malam hari masih bicara pembangunan.
Sepanjang zaman pemerintahannya hanya ada pembangunan dan pembangunan semata. Saat itu terasa betul bahwa kata pembangunan memang memiliki kekuatan sihir dan daya pesona yang besar. Pak Harto menjadi pusat segalanya. Loyalitas kepada beliau menjadi ukuran loyalitas pada negara.
Beliau galak pada siapa pun yang memiliki pemikiran lain. Itu tanda tidak loyal. Tapi, kepada para penjilat, dan siapa saja yang bersedia menjadi ”bayangannya”, Pak Harto murah hati. Ibaratnya, orang minta sebuah gunung dipindahkan untuk kesenangan pribadinya, Pak Harto siap memenuhinya dengan sikap welas asih seorang raja kepada hamba sahayanya yang setia.
Pelan-pelan, setelah apa yang merupakan keagungan pribadi ini terpenuhi, Pak Harto bicara pula tentang persatuan dan kesatuan. Saat itu tiap makhluk yang bisa berbicara, dalam kesempatan apa pun, pasti bicara pula persatuan dan kesatuan tadi. ABRI paling fasih mengucapkan kata itu.
Pada masa-masa sesudah reformasi—di zaman kita ”merdeka”, masa keterbukaan yang seterbuka terbukanya— kalangan elite di berbagai daerah, sebentar-sebentar meneriakkan ancaman untuk memisahkan diri, agar daerahnya bisa berdiri sebagai negara sendiri. Di sana kelihatan dua jenis sikap politik yang menandakan watak antidemokrasi.
Pertama, ada sikap ”tengil ” yang begitu arogan, dan merasa pada tempatnya menggunakan bahasa ancaman di dalam dialog kebangsaan untuk menata kehidupan lebih adil. Kedua , sikap kekanak-kanakan yang mudah merajuk, mudah ”menarik diri”, tapi sebetulnya agresif, yang bertentangan dengan jiwa demokrasi.
Bagi kita, esensinya jelas: ”tengil ” atau tidak, antidemokrasi atau tidak, semua gejala tingkah laku politik tadi menunjukkan bahwa agenda nasional kita mengenai persatuan dan kesatuan bangsa itu sebetulnya belum ”solid”, belum kukuh, dan masih mudah dimainkan untuk digoyang-goyang.
Dengan kata lain, ini juga agenda yang belum selesai. Jika pemerintah tidak sensitif, dan kurang memberi perhatian serius terhadap kelompok-kelompok rentan di dalam masyarakat, risikonya akan terasa besar. Mungkin bisa menimbulkan rasa penyesalan kemudian, yang tak lagi berguna.
Sampai hari ini, kita memiliki cukup alasan, yang agak melimpah, untuk cemas memikirkan nasib persatuan bangsa yang bisa dianggap belum menentu itu. Sikap dan tingkah laku para politisi yang main ”geng-gengan”, klikklikan, dan segenap tingkah laku yang menunjukkan gejala mau menang sendiri, mau benar sendiri dan mau enak sendiri, jelas meresahkan.
Andaikata mereka tak memiliki agenda merusak persatuan bangsa, setidaknya jelas bahwa tingkah laku politik mereka itu tidak mendukung sama sekali agenda persatuan itu. Ini juga tanda kekanak-kanakan yang sudah bukan masanya. Mereka mengabaikan tanggung jawab politik.
Panggung politik nasional, yang bergengsi dan memiliki wibawa besar itu, dijadikan tempat ”mainmain” sesuka hati mereka. Belum lagi semangat korup, yang selama ini terbukti dilakukan partai besar yang berkuasa. Kabinet yang bertekat memberantas korupsi malah menyegarkan iklim korupsi. Di dalam kabinet itu hampir semua tokoh pentingnya terlibat korupsi. Betapa mengerikannya.
Kecenderungan politik di kalangan politisi untuk membangun hubungan berdasarkan perkawinan di antara anakanak mereka dan mereka sendiri bangga dengan hubungan ”besan dengan besanan” di dalam suatu partai politik, atau antar partai, bagi kita hanya kesan negatif yang terasa.
Orang tua dan menantu, besan dengan besan, bisa menggunakan posisi politik partai mereka untuk bekerja sama dan saling melindungi di dalam kejahatan politik. Juga di dalam korupsi. Besan, menantu, anak, istri, keponakan, dan anggota keluarga terdekat lainnya, yang korup, akan dilindungi oleh pihak keluarga yang masih berkuasa.
Siapa pun yang korup bakal dilindungi dengan sepenuh hati oleh anggota keluarga lain yang merasa masih jaya. Apa ini semua hubungannya dengan negara, dengan politik dan persatuan bangsa? Strategi politik untuk besanan antarsesama pejabat tinggi atau antarkader dan elite partai ternyata mengandung polusi politik yang kotor sekali. Ini juga unsur yang merusak cita-cita persatuan bangsa.
Kita belum pernah melihat suatu aliansi politik yang sungguhsungguh dibangun untuk suatu persatuan yang kukuh dan sejati. Mungkinkah itu tidak akan pernah ada? Persatuan bangsa yang hakiki belum terbentuk.
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
Pada zaman Orde Lama dulu, kita berbicara mengenai revolusi yang belum selesai. Bung Karno sering menyebut ”revolusi multikompleks”, atau ”pancamuka” untuk menggambarkan kompleksitas dan kedalaman revolusi yang sedang kita tempuh. Pada zaman itu hidup tanpa revolusi bukan hidup. Bagi kita, hidup itu revolusi. Bung Karno juga bicara tentang ”merombak” dan ”menjebol”.
Itu inti sebuah revolusi. Jauh sebelum maupun lama sesudah merdeka, kita tetap berevolusi. Ini agenda seluruh bangsa. Karena itu, persatuan bangsa diprioritaskan. Revolusi tidak akan terwujud kalau bangsa kita tercerai berai, tidak utuh, tidak menyatu. Tekat dan semangat untuk bersatu harus bulat. Makna persatuan itu sendiri— yaitu persatuan bangsa—juga sebuah agenda kerja yang belum selesai.
Bung Karno bekerja keras, lahir batin, untuk persatuan bangsa. Beliau disebut pemersatu bangsa. Persatuan itu sudah terbentuk. Kesadaran kita, semua warga negara, bahwa kita bangsa Indonesia, membahagiakan. Tapi wujud kesadaran itu masih bisa digoyahkan. Dalam arti tertentu, seperti revolusi yang belum selesai tadi, persatuan bangsa pun bisa disebut belum selesai. Persatuan kita belum teruji dengan sebaikbaiknya di dalam sejarah kita sendiri.
Pada zaman Orde Baru, dua agenda besar yang belum selesai itu diabaikan secara mutlak karena alasan politik yang tak pernah dikemukakan secara jelas. Diam-diam Pak Harto berniat ”menghabisi” Bung Karno. Pengaruh besar politiknya yang luas dan mendasar dihabisi. Idiom-idiom politik Bung Karno dihabisi.
Gaya pemerintahan populis Bung Karno dihapus bersih. Kalau pengaruh Bung Karno masih terasa, Pak Harto tak akan bisa berbuat apa pun. Beliau akan ”hilang” ditelan kewibawaan Bung Karno. Tapi, Pak Harto bukan tokoh biasa.
Dilenyapkannya pengaruh politik Bung Karno membuat Pak Harto mampu membangun suatu logika politik tersendiri. Beliau berbicara mengenai pembangunan. Pidato pagi pembangun. Pidato siang pembangunan. Pada malam hari masih bicara pembangunan.
Sepanjang zaman pemerintahannya hanya ada pembangunan dan pembangunan semata. Saat itu terasa betul bahwa kata pembangunan memang memiliki kekuatan sihir dan daya pesona yang besar. Pak Harto menjadi pusat segalanya. Loyalitas kepada beliau menjadi ukuran loyalitas pada negara.
Beliau galak pada siapa pun yang memiliki pemikiran lain. Itu tanda tidak loyal. Tapi, kepada para penjilat, dan siapa saja yang bersedia menjadi ”bayangannya”, Pak Harto murah hati. Ibaratnya, orang minta sebuah gunung dipindahkan untuk kesenangan pribadinya, Pak Harto siap memenuhinya dengan sikap welas asih seorang raja kepada hamba sahayanya yang setia.
Pelan-pelan, setelah apa yang merupakan keagungan pribadi ini terpenuhi, Pak Harto bicara pula tentang persatuan dan kesatuan. Saat itu tiap makhluk yang bisa berbicara, dalam kesempatan apa pun, pasti bicara pula persatuan dan kesatuan tadi. ABRI paling fasih mengucapkan kata itu.
Pada masa-masa sesudah reformasi—di zaman kita ”merdeka”, masa keterbukaan yang seterbuka terbukanya— kalangan elite di berbagai daerah, sebentar-sebentar meneriakkan ancaman untuk memisahkan diri, agar daerahnya bisa berdiri sebagai negara sendiri. Di sana kelihatan dua jenis sikap politik yang menandakan watak antidemokrasi.
Pertama, ada sikap ”tengil ” yang begitu arogan, dan merasa pada tempatnya menggunakan bahasa ancaman di dalam dialog kebangsaan untuk menata kehidupan lebih adil. Kedua , sikap kekanak-kanakan yang mudah merajuk, mudah ”menarik diri”, tapi sebetulnya agresif, yang bertentangan dengan jiwa demokrasi.
Bagi kita, esensinya jelas: ”tengil ” atau tidak, antidemokrasi atau tidak, semua gejala tingkah laku politik tadi menunjukkan bahwa agenda nasional kita mengenai persatuan dan kesatuan bangsa itu sebetulnya belum ”solid”, belum kukuh, dan masih mudah dimainkan untuk digoyang-goyang.
Dengan kata lain, ini juga agenda yang belum selesai. Jika pemerintah tidak sensitif, dan kurang memberi perhatian serius terhadap kelompok-kelompok rentan di dalam masyarakat, risikonya akan terasa besar. Mungkin bisa menimbulkan rasa penyesalan kemudian, yang tak lagi berguna.
Sampai hari ini, kita memiliki cukup alasan, yang agak melimpah, untuk cemas memikirkan nasib persatuan bangsa yang bisa dianggap belum menentu itu. Sikap dan tingkah laku para politisi yang main ”geng-gengan”, klikklikan, dan segenap tingkah laku yang menunjukkan gejala mau menang sendiri, mau benar sendiri dan mau enak sendiri, jelas meresahkan.
Andaikata mereka tak memiliki agenda merusak persatuan bangsa, setidaknya jelas bahwa tingkah laku politik mereka itu tidak mendukung sama sekali agenda persatuan itu. Ini juga tanda kekanak-kanakan yang sudah bukan masanya. Mereka mengabaikan tanggung jawab politik.
Panggung politik nasional, yang bergengsi dan memiliki wibawa besar itu, dijadikan tempat ”mainmain” sesuka hati mereka. Belum lagi semangat korup, yang selama ini terbukti dilakukan partai besar yang berkuasa. Kabinet yang bertekat memberantas korupsi malah menyegarkan iklim korupsi. Di dalam kabinet itu hampir semua tokoh pentingnya terlibat korupsi. Betapa mengerikannya.
Kecenderungan politik di kalangan politisi untuk membangun hubungan berdasarkan perkawinan di antara anakanak mereka dan mereka sendiri bangga dengan hubungan ”besan dengan besanan” di dalam suatu partai politik, atau antar partai, bagi kita hanya kesan negatif yang terasa.
Orang tua dan menantu, besan dengan besan, bisa menggunakan posisi politik partai mereka untuk bekerja sama dan saling melindungi di dalam kejahatan politik. Juga di dalam korupsi. Besan, menantu, anak, istri, keponakan, dan anggota keluarga terdekat lainnya, yang korup, akan dilindungi oleh pihak keluarga yang masih berkuasa.
Siapa pun yang korup bakal dilindungi dengan sepenuh hati oleh anggota keluarga lain yang merasa masih jaya. Apa ini semua hubungannya dengan negara, dengan politik dan persatuan bangsa? Strategi politik untuk besanan antarsesama pejabat tinggi atau antarkader dan elite partai ternyata mengandung polusi politik yang kotor sekali. Ini juga unsur yang merusak cita-cita persatuan bangsa.
Kita belum pernah melihat suatu aliansi politik yang sungguhsungguh dibangun untuk suatu persatuan yang kukuh dan sejati. Mungkinkah itu tidak akan pernah ada? Persatuan bangsa yang hakiki belum terbentuk.
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
(ftr)