Diplomasi Pertahanan sebagai Alat Kebijakan Luar Negeri
A
A
A
RODON PEDRASON
Pengajar di Universitas Pertahanan Indonesia,
Sedang Menyelesaikan Program PhD di Ruprecht-Karls-Universität,
Heidelberg, Jerman, Penerima Beasiswa Unggulan BPKLN Kemdikbud RI
Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia menjadi topik hangat di dunia internasional belakangan ini. Banyak negara yang memprotes dan melabeli Pemerintah Indonesia sangat tidak manusiawi.
Salah satu negara yang paling keras mengecam hukuman mati di Indonesia adalah Australia, sebagai akibat dari dua warganya yang berada pada top list akan di eksekusi segera karena dakwaan sebagai pemimpin jaringan penyelundup narkoba ”Bali Nine”. Dua warga negara Australia terpidana Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, mendorong Perdana Menteri Tony Abbott mengeluarkan berbagai jurus diplomatiknya yang terkesan sangat agresif dan cenderung arogan, agar pemerintahan Presiden Jokowi membatalkan eksekusi.
Namun, Pemerintah Indonesia bergeming dan rencana pelaksanaan hukuman mati tetap berjalan. Bulan lalu Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menyatakan, Australia akan melakukan boikot pariwisata Bali. Pernyataan Bishop tersebut diperparah dengan ucapan Abbot yang mengatakan, bangsa Indonesia jangan lupa kebaikan Australia yang telah mengucurkan dana miliaran dolar untuk membantu para korban Tsunami di Aceh tahun 2004.
Sontak pernyataan kedua petinggi Negeri Kanguru tersebut mengejutkan dunia dan membuat rakyat Indonesia meradang dan tersinggung karena telah merendahkan harga diri bangsa Indonesia. Pernyataan politik Abbott dan Bishop sebenarnya sesuatu hal yang wajar, tetapi dalam pergaulan tingkat tinggi, protes seorang kepala pemerintahan yang mengaitkan dengan bantuan kemanusiaan, sungguh sangat tidak elok, tidak elegan, sangat menyinggung dan menyakiti bangsa Indonesia.
Dari keteguhan pemerintahan Indonesia untuk mengampuni kedua narapidana Bali Nine, berkembang menjadi sikap antipati masyarakat Indonesia kepada Australia. Jika dicermati lebih jauh pernyataan-pernyataan Abbott dan Bishop, yang mengancam pemboikotan pariwisata ke Pulau Dewata, kiranya Pemerintah Australia perlu berhitung dengan cermat dengan segala rencana boikot-boikot mereka terhadap Indonesia.
Sebab jika boikot dilakukan, maka Indonesia dapat saja menjalankan diplomasi pertahanan terhadap Australia, dengan memblokade jalur pelayaran kapal-kapal dagang negara tersebut, yang akan berakibat kerugian lebih besar di pihak Australia. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa Bali selama ini merupakan tujuan wisata utama warga Australia.
Meskipun demikian, secara persentase, Australia masih menduduki peringkat ketiga setelah dua negara ASEAN, Singapura dan Malaysia, dari sisi jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali sepanjang tahun lalu. Artinya, turis yang berasal dari intern ASEAN masih lebih banyak daripada Australia dari total 9,3 juta wisatawan ke Bali.
Demikian juga halnya dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dimiliki Indonesia. Dari tiga ALKI milik Indonesia, jalur laut melalui Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, Selat Lombok atau ALKI-II, merupakan jalur laut utama yang sering dilayari kapal-kapal dagang Australia.
Sekitar 80% komoditas Negeri Kanguru yang diangkut ke China melalui ALKI-II yang terletak di antara Pulau Lombok dan Bali. Masih segar dalam ingatan kita pada tahun 2006 yang lalu ratusan warga Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), menyampaikan aspirasi mereka kepada Pemerintah NTB, agar pemerintah menutup Selat Lombok sebagai jalur utama perdagangan kapal-kapal Australia.
Tuntutan warga NTB tersebut dipicu oleh campur tangan Australia terhadap masalah dalam negeri Indonesia. Kebijakan Pemerintah Australia memberikan visa kepada sejumlah warga Papua merupakan bentuk intervensi masalah dalam negeri Indonesia, yang tidak berhak dicampuri oleh Australia.
Jika Selat Lombok terlarang bagi kapal-kapal dagang Australia, maka dipastikan perdagangan negara tersebut akan terganggu. Pada pertengahan 2011 sebuah peternakan sapi kenamaan Australia, Bullo River Stasion, dengan sangat terpaksa dijual oleh pemiliknya.
Ketiadaan pembeli dan kehilangan pasar untuk menyalurkan produksi daging peternakan seluas 160.000 hektare itu menjadi penyebabnya. Kebijakan larangan ekspor sapi ke Indonesia oleh Pemerintah Australia pada waktu sangat memukul para peternak di Australia dan menimbulkan kesulitan ekonomi yang masif.
Australia merupakan negara pengekspor hewan ternak terbesar di dunia, dan Indonesia merupakan pasar terbesar bagi para peternak Australia yang mampu menghasilkan potensi devisa sebesar 461 juta dolar Australia. Dapat dibayangkan, betapa besar kerugian yang akan dialami Australia jika jalur dagang negara tersebut ditutup.
Menurut data yang ada, Indonesia mampu menyerap 60% total produksi hewan ternak Australia. Indonesia dengan potensi pasar sebesar 245 juta penduduk memang merupakan ”ladang harta karun” yang dapat memakmurkan bangsa Australia. Jika jalur dagang tertutup, maka akan memunculkan gelombang protes baru terhadap pemerintahan Abbott yang dapat menjadi faktor kehancuran pemerintahan Perdana Menteri yang berasal dari Partai Liberal Australia tersebut.
Mencermati situasi politik nasional yang berkembang saat ini, selayaknya Indonesia meningkatkan peran diplomasi pertahanan, terutama dalam konteks hubungan bilateral dengan Australia. Konsep diplomasi pertahanan sejatinya adalah sebagai alat penting bagi kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri sebuah negara.
Bagi negara-negara ASEAN, diplomasi pertahanan merefleksikan kewaspadaan nasional untuk mengatasi berbagai masalah nasional dalam lingkup regional. Dalam prosesnya, diplomasi pertahanan melibatkan segenap komponen negara, baik politisi, pihak militer, pejabat pemerintahan, para pakar, bahkan LSM.
Dalam menghadapi isu boikot yang dicanangkan Australia ini, TNI dapat memainkan peran diplomasi pertahanan tersebut. Seperti kejadian tahun 2014, akibat isu penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Presiden SBY. Merespons pelecehan tersebut, Pemerintah Indonesia menugaskan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk memperketat wilayah perbatasan dengan menggelar latihan besar-besaran di sekitar Selat Lombok.
Kehadiran TNI dengan kekuatan besar dan persenjataan mutakhir membuat parlemen Australia khawatir. Karena dari wilayah sekitar Lombok dan Makassar, Australia bisa dijangkau dengan mudah. Kebijakan aktivasi diplomasi pertahanan merupakan langkah yang imperatif atau sangat penting diterapkan Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat yang memiliki kebijakan dalam negeri independen dan bebas dari intervensi negara mana pun.
Serangkaian kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia kiranya tidak hanya cukup ditunjukkan dengan keteguhan terhadap pelaksanaan hukuman mati, tetapi perlu dan penting didukung dengan kebijakan pertahanan yang sinkron dengan keputusan politik.
Adalah sama pentingnya keteguhan terhadap sebuah keputusan yang telah dibuat, disertai dengan unjuk kesiapan menghadapi ancaman boikot dari negara lain. Banyak yang mungkin berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu gelar kekuatan bersenjata, seakan akan siap perang dengan Australia.
Memang diplomasi pertahanan tidaklah ditujukan untuk kesiapan berperang karena hakikatnya diplomasi pertahanan merupakan jalan damai yang diinginkan sebuah negara untuk melindungi kepentingan nasional negara tersebut. Ada dua keuntungan yang bisa didapat Indonesia dengan menggelar kekuatan bersenjata di sekitar Selat Lombok.
Pertama, secara diplomatik Indonesia dapat menunjukkan keunggulan diplomasi dan memberikan keuntungan ekonomi. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan pernyataan blokade jalur pelayaran di Selat Lombok, tetapi secara halus Indonesia dapat memberitahukan kepada setiap negara pengguna ALKI-II untuk sementara waktu menghentikan kegiatan dagang mereka me-lalui jalur tersebut karena sedang dipergunakan untuk latihan militer,
sebagai latihan rutin kesiapan militer Indonesia dalam menjaga teritori Indonesia. Jika jalur dagang di ALKI-II tidak dapat dilalui, maka Australia akan mengalami kerugian besar, bahkan Indonesia dapat memainkan harga ternak yang ingin dijual Australia, jika Negeri Kanguru ini tetap ingin mengekspor komoditi mereka melalui ALKI-II.
Kedua, pemerintahan Presiden Jokowi dapat meraih kepercayaan dan sekaligus dukungan rakyat, bahwa pemerintah bersungguh- sungguh mengembangkan kekuatan dan meningkatkan kemampuan militer Indonesia yang dapat menjaga integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta martabat bangsa.
Pernyataan yang dikeluarkan Abbott dan Bishop terhadap kebijakan dalam negeri Indonesia merupakan sebuah refleksi sikap arogansi sebuah negara lain yang memandang rendah bangsa Indonesia. Pernyataan yang dikeluarkan Abbott tidak lagi merupakan sebuah ucapan santun dan diplomatis, tetapi lebih merupakan sebuah bentuk ucapan yang kasar dan tidak mencerminkan ucapan seorang pemimpin yang menghargai bangsa lain.
Seyogianya Pemerintah Indonesia menyikapi intervensi tersebut dengan diplomatis, elegan dan taktis tanpa perlu terjebak dengan manuver-manuver Abbott yang memiliki agenda menghindarkan diri dari cercaan bangsanya sendiri.
Pengajar di Universitas Pertahanan Indonesia,
Sedang Menyelesaikan Program PhD di Ruprecht-Karls-Universität,
Heidelberg, Jerman, Penerima Beasiswa Unggulan BPKLN Kemdikbud RI
Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia menjadi topik hangat di dunia internasional belakangan ini. Banyak negara yang memprotes dan melabeli Pemerintah Indonesia sangat tidak manusiawi.
Salah satu negara yang paling keras mengecam hukuman mati di Indonesia adalah Australia, sebagai akibat dari dua warganya yang berada pada top list akan di eksekusi segera karena dakwaan sebagai pemimpin jaringan penyelundup narkoba ”Bali Nine”. Dua warga negara Australia terpidana Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, mendorong Perdana Menteri Tony Abbott mengeluarkan berbagai jurus diplomatiknya yang terkesan sangat agresif dan cenderung arogan, agar pemerintahan Presiden Jokowi membatalkan eksekusi.
Namun, Pemerintah Indonesia bergeming dan rencana pelaksanaan hukuman mati tetap berjalan. Bulan lalu Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menyatakan, Australia akan melakukan boikot pariwisata Bali. Pernyataan Bishop tersebut diperparah dengan ucapan Abbot yang mengatakan, bangsa Indonesia jangan lupa kebaikan Australia yang telah mengucurkan dana miliaran dolar untuk membantu para korban Tsunami di Aceh tahun 2004.
Sontak pernyataan kedua petinggi Negeri Kanguru tersebut mengejutkan dunia dan membuat rakyat Indonesia meradang dan tersinggung karena telah merendahkan harga diri bangsa Indonesia. Pernyataan politik Abbott dan Bishop sebenarnya sesuatu hal yang wajar, tetapi dalam pergaulan tingkat tinggi, protes seorang kepala pemerintahan yang mengaitkan dengan bantuan kemanusiaan, sungguh sangat tidak elok, tidak elegan, sangat menyinggung dan menyakiti bangsa Indonesia.
Dari keteguhan pemerintahan Indonesia untuk mengampuni kedua narapidana Bali Nine, berkembang menjadi sikap antipati masyarakat Indonesia kepada Australia. Jika dicermati lebih jauh pernyataan-pernyataan Abbott dan Bishop, yang mengancam pemboikotan pariwisata ke Pulau Dewata, kiranya Pemerintah Australia perlu berhitung dengan cermat dengan segala rencana boikot-boikot mereka terhadap Indonesia.
Sebab jika boikot dilakukan, maka Indonesia dapat saja menjalankan diplomasi pertahanan terhadap Australia, dengan memblokade jalur pelayaran kapal-kapal dagang negara tersebut, yang akan berakibat kerugian lebih besar di pihak Australia. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa Bali selama ini merupakan tujuan wisata utama warga Australia.
Meskipun demikian, secara persentase, Australia masih menduduki peringkat ketiga setelah dua negara ASEAN, Singapura dan Malaysia, dari sisi jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali sepanjang tahun lalu. Artinya, turis yang berasal dari intern ASEAN masih lebih banyak daripada Australia dari total 9,3 juta wisatawan ke Bali.
Demikian juga halnya dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dimiliki Indonesia. Dari tiga ALKI milik Indonesia, jalur laut melalui Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, Selat Lombok atau ALKI-II, merupakan jalur laut utama yang sering dilayari kapal-kapal dagang Australia.
Sekitar 80% komoditas Negeri Kanguru yang diangkut ke China melalui ALKI-II yang terletak di antara Pulau Lombok dan Bali. Masih segar dalam ingatan kita pada tahun 2006 yang lalu ratusan warga Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), menyampaikan aspirasi mereka kepada Pemerintah NTB, agar pemerintah menutup Selat Lombok sebagai jalur utama perdagangan kapal-kapal Australia.
Tuntutan warga NTB tersebut dipicu oleh campur tangan Australia terhadap masalah dalam negeri Indonesia. Kebijakan Pemerintah Australia memberikan visa kepada sejumlah warga Papua merupakan bentuk intervensi masalah dalam negeri Indonesia, yang tidak berhak dicampuri oleh Australia.
Jika Selat Lombok terlarang bagi kapal-kapal dagang Australia, maka dipastikan perdagangan negara tersebut akan terganggu. Pada pertengahan 2011 sebuah peternakan sapi kenamaan Australia, Bullo River Stasion, dengan sangat terpaksa dijual oleh pemiliknya.
Ketiadaan pembeli dan kehilangan pasar untuk menyalurkan produksi daging peternakan seluas 160.000 hektare itu menjadi penyebabnya. Kebijakan larangan ekspor sapi ke Indonesia oleh Pemerintah Australia pada waktu sangat memukul para peternak di Australia dan menimbulkan kesulitan ekonomi yang masif.
Australia merupakan negara pengekspor hewan ternak terbesar di dunia, dan Indonesia merupakan pasar terbesar bagi para peternak Australia yang mampu menghasilkan potensi devisa sebesar 461 juta dolar Australia. Dapat dibayangkan, betapa besar kerugian yang akan dialami Australia jika jalur dagang negara tersebut ditutup.
Menurut data yang ada, Indonesia mampu menyerap 60% total produksi hewan ternak Australia. Indonesia dengan potensi pasar sebesar 245 juta penduduk memang merupakan ”ladang harta karun” yang dapat memakmurkan bangsa Australia. Jika jalur dagang tertutup, maka akan memunculkan gelombang protes baru terhadap pemerintahan Abbott yang dapat menjadi faktor kehancuran pemerintahan Perdana Menteri yang berasal dari Partai Liberal Australia tersebut.
Mencermati situasi politik nasional yang berkembang saat ini, selayaknya Indonesia meningkatkan peran diplomasi pertahanan, terutama dalam konteks hubungan bilateral dengan Australia. Konsep diplomasi pertahanan sejatinya adalah sebagai alat penting bagi kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri sebuah negara.
Bagi negara-negara ASEAN, diplomasi pertahanan merefleksikan kewaspadaan nasional untuk mengatasi berbagai masalah nasional dalam lingkup regional. Dalam prosesnya, diplomasi pertahanan melibatkan segenap komponen negara, baik politisi, pihak militer, pejabat pemerintahan, para pakar, bahkan LSM.
Dalam menghadapi isu boikot yang dicanangkan Australia ini, TNI dapat memainkan peran diplomasi pertahanan tersebut. Seperti kejadian tahun 2014, akibat isu penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Presiden SBY. Merespons pelecehan tersebut, Pemerintah Indonesia menugaskan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk memperketat wilayah perbatasan dengan menggelar latihan besar-besaran di sekitar Selat Lombok.
Kehadiran TNI dengan kekuatan besar dan persenjataan mutakhir membuat parlemen Australia khawatir. Karena dari wilayah sekitar Lombok dan Makassar, Australia bisa dijangkau dengan mudah. Kebijakan aktivasi diplomasi pertahanan merupakan langkah yang imperatif atau sangat penting diterapkan Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat yang memiliki kebijakan dalam negeri independen dan bebas dari intervensi negara mana pun.
Serangkaian kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia kiranya tidak hanya cukup ditunjukkan dengan keteguhan terhadap pelaksanaan hukuman mati, tetapi perlu dan penting didukung dengan kebijakan pertahanan yang sinkron dengan keputusan politik.
Adalah sama pentingnya keteguhan terhadap sebuah keputusan yang telah dibuat, disertai dengan unjuk kesiapan menghadapi ancaman boikot dari negara lain. Banyak yang mungkin berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu gelar kekuatan bersenjata, seakan akan siap perang dengan Australia.
Memang diplomasi pertahanan tidaklah ditujukan untuk kesiapan berperang karena hakikatnya diplomasi pertahanan merupakan jalan damai yang diinginkan sebuah negara untuk melindungi kepentingan nasional negara tersebut. Ada dua keuntungan yang bisa didapat Indonesia dengan menggelar kekuatan bersenjata di sekitar Selat Lombok.
Pertama, secara diplomatik Indonesia dapat menunjukkan keunggulan diplomasi dan memberikan keuntungan ekonomi. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan pernyataan blokade jalur pelayaran di Selat Lombok, tetapi secara halus Indonesia dapat memberitahukan kepada setiap negara pengguna ALKI-II untuk sementara waktu menghentikan kegiatan dagang mereka me-lalui jalur tersebut karena sedang dipergunakan untuk latihan militer,
sebagai latihan rutin kesiapan militer Indonesia dalam menjaga teritori Indonesia. Jika jalur dagang di ALKI-II tidak dapat dilalui, maka Australia akan mengalami kerugian besar, bahkan Indonesia dapat memainkan harga ternak yang ingin dijual Australia, jika Negeri Kanguru ini tetap ingin mengekspor komoditi mereka melalui ALKI-II.
Kedua, pemerintahan Presiden Jokowi dapat meraih kepercayaan dan sekaligus dukungan rakyat, bahwa pemerintah bersungguh- sungguh mengembangkan kekuatan dan meningkatkan kemampuan militer Indonesia yang dapat menjaga integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta martabat bangsa.
Pernyataan yang dikeluarkan Abbott dan Bishop terhadap kebijakan dalam negeri Indonesia merupakan sebuah refleksi sikap arogansi sebuah negara lain yang memandang rendah bangsa Indonesia. Pernyataan yang dikeluarkan Abbott tidak lagi merupakan sebuah ucapan santun dan diplomatis, tetapi lebih merupakan sebuah bentuk ucapan yang kasar dan tidak mencerminkan ucapan seorang pemimpin yang menghargai bangsa lain.
Seyogianya Pemerintah Indonesia menyikapi intervensi tersebut dengan diplomatis, elegan dan taktis tanpa perlu terjebak dengan manuver-manuver Abbott yang memiliki agenda menghindarkan diri dari cercaan bangsanya sendiri.
(bbg)