Turbulensi Politik Partai Golkar
A
A
A
FIRDAUS MUHAMMAD
Dosen Komunikasi Politik UIN Alauddin Makassar;
Direktur Eksekutif The Political Society
Polemik panjang kisruh internal Partai Golongan Karya (Golkar) berakhir. Keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly memenangkan kubu Agung Laksono versi Munas Ancol sebagai ketua umum DPP Golkar.
Pemerintah menganulir kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB) versi Munas Bali. Keputusan pemerintah tersebut sejak awal dibaca kecenderungannya berpihak ke kubu Agung yang propemerintah. Penetapan Agung Laksono sebagai pimpinan yang sah dalam menakhodai Golkar, sejatinya bukan titik akhir penyelesaian konflik partai beringin, melainkan menjadi indikasi prahara yang melahirkan turbulensi politik di internal Golkar.
Sebelumnya, Mahkamah Partai Golkar (MPG) tertanggal 3 Maret 2015 telah memenangkan kubu Agung Laksono. Keputusan MPG menjadi rujukan Kemenkumham dalam menetapkan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol secara selektif di bawah kepemimpinan Agung Laksono. Dalam hal ini, surat Kemenkumham diterbitkan berdasarkan Pasal 32 ayat 5 UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, dinyatakan bahwa keputusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara internal dalam perselisihan kepengurusan.
Kemudian, pemerintah meminta DPP di bawah kepemimpinan Agung Laksono untuk segera membentuk kepengurusan partai secara selektif dengan kewajiban mengakomodasi kader-kader Golkar yang memenuhi kriteria, prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela. Keputusan pemerintah tersebut berpotensi tafsirkan sebagai intervensi terhadap Golkar.
Hal itu sulit dielakkan dengan menilik latar belakang kepentingan politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung pemerintahan Jokowi-JK dan Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai kelompok oposisi. Secara politik, pemerintahan Jokowi berkepentingan terhadap dukungan Partai Golkar sebagai salah satu kekuatan penentu di KMP.
Artinya, kemenangan kubu Agung Laksono yang propemerintah berpotensi menjadikan soliditas KMP makin rapuh. Intervensi pemerintah lebih awal terendus dari manuver Agung cs sebelum Munas Bali digelar, ditandai intensitasnya melakukan komunikasi politik dengan Jusuf Kalla (JK) selaku wapres yang juga tokoh senior Golkar yang masih berpengaruh.
Klimaksnya, setelah kubu ARB berhasil menggelar Munas Bali, menyusul Munas Ancol yang ditengarai berada bayangbayang kuasa JK. Hasilnya, Golkar terbelah hingga MPG harus turun tangan yang melapangkan jalan Agung cs menyusul pemerintah memberikan ketetapan hukum. Dengan demikian, aura intervensi pemerintah berjalan sistematis meski hal itu ditampik Kemenkumham.
Turbulensi Golkar
Dalam konstelasi politik ini, Golkar kini terjebak dalam fragmentasi yang akut ditandai perpecahan para elitenya. Sulit diingkari, politik Golkar mengalami turbulen hingga terdisorientasi arah politiknya menyongsong pemilu mendatang. Kekuatan kader potensial yang tergabung dalam kubu ARB kini dieliminasi.
Akibatnya, Golkar berpotensi lumpuh termasuk dalam kemampuan koordinasi ke daerah yang kini justru fokus menghadapi pilkada di sejumlah daerah di Tanah Air. Setidaknya, Golkar butuh waktu untuk memulihkan situasi politik internal yang kini terbelah. Kekuatan Golkar secara politik melemah setelah tumbangnya rezim ARB yang selama ini mengendalikan partai.
Fragmentasi internal Golkar tidak terlepas dari kisruh para elitenya saat Pilpres 2014 lalu, hingga berujung pada Munas Bali dan Ancol yang menjadi ”tradisi baru” konflik Golkar. Dualisme kepemimpinan Golkar versi kedua munas tersebut menguras energi Golkar hingga butuh waktu untuk memulihkannya. Kini Golkar mengalami stagnasi bahkan kemunduran berpolitik, jika menilik tradisi politiknya pasca-Orde Baru.
Fragmentasi politik Golkar senantiasa mewarnai dinamika politik partai yang lahir dari rahim Orde Baru tersebut. Sepanjang reformasi, Golkar acap dilanda polemik yang mengilhami lahirnya partai baru yang lahir dari ”rahim politik Golkar”. Sejumlah partai yang lahir dari konflik internal Golkar yang mengharuskan kader terbaiknya hengkang dan memilih membuat rumah politik baru,
di antaranya Wiranto mendirikan Partai Hanura, Edi Sudrajat mendirikan PKPI, Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, dan Surya Paloh mendirikan Partai Nasdem. Bukan mustahil, kubu ARB jika tidak ada ruang rekonsiliasi politik, juga berpotensi mendirikan partai baru.
Tradisi Kekuasaan
Turbulensi politik akibat fragmentasi para elite Golkar diakibatkan lemahnya ideologi partai sebagai visi para kader menentukan arah politik Golkar, namun lebih bersifat pra-gmatis. Potensi konflik yang selalu mewarnai dinamika politik Golkar adalah penegas meredupnya militansi kader dalam mengawal Partai Golkar.
Orientasi kekuasaan Golkar juga condong lebih pragmatis, misalnya kubu Agung memilih merapat pada kekuasaan yang berhasil menelikung ARB cs yang menandai petaka politik Golkar akibat syahwat politik yang tak terkendali. Pemerintahan dan kekuasaan menjadi identik dengan tradisi politik Golkar. Posisi oposisi bagi Golkar menjadi pilihan sulit, betapa tradisi Golkar selama ini merupakan partai yang tidak lepas dari kekuasaan hingga kini.
Keberadaan JK dalam pemerintahan Jokowi menjadi indikatornya. Tetapi di parlemen, Golkar berusaha berseberangan dengan pemerintah, namun mungkin akhirnya merapat pascakemenangan kubu Agung yang propemerintah. Golkar sebagai salah satu penyangga KMP seharusnya mengambil posisi berlawanan dengan pemerintah.
Golkar harusnya mampu membangun karakter diri sebagai oposisi di parlemen. Oposisi tersebut bukan dalam kalkulasi politis pragmatis belaka, tetapi menjadi oposisi yang konsisten mengawal kemungkinan terjadinya penyimpangan pemerintahan Jokowi-JK. Elite Golkar harus sadar bahwa fragmentasi elite merugikan masa depan partai.
Harus lahir kesadaran bersama untuk menyelamatkan Golkar menjadi partai mandiri dengan jati dirinya sendiri, tanpa intervensi pihak luar. Dengan pilihan itu, beringin akan kembali rindang memberikan warna dominan dalam konstelasi politik nasional tanpa jebakan fragmentasi elite. Mungkinkah?
Dosen Komunikasi Politik UIN Alauddin Makassar;
Direktur Eksekutif The Political Society
Polemik panjang kisruh internal Partai Golongan Karya (Golkar) berakhir. Keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly memenangkan kubu Agung Laksono versi Munas Ancol sebagai ketua umum DPP Golkar.
Pemerintah menganulir kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB) versi Munas Bali. Keputusan pemerintah tersebut sejak awal dibaca kecenderungannya berpihak ke kubu Agung yang propemerintah. Penetapan Agung Laksono sebagai pimpinan yang sah dalam menakhodai Golkar, sejatinya bukan titik akhir penyelesaian konflik partai beringin, melainkan menjadi indikasi prahara yang melahirkan turbulensi politik di internal Golkar.
Sebelumnya, Mahkamah Partai Golkar (MPG) tertanggal 3 Maret 2015 telah memenangkan kubu Agung Laksono. Keputusan MPG menjadi rujukan Kemenkumham dalam menetapkan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol secara selektif di bawah kepemimpinan Agung Laksono. Dalam hal ini, surat Kemenkumham diterbitkan berdasarkan Pasal 32 ayat 5 UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, dinyatakan bahwa keputusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara internal dalam perselisihan kepengurusan.
Kemudian, pemerintah meminta DPP di bawah kepemimpinan Agung Laksono untuk segera membentuk kepengurusan partai secara selektif dengan kewajiban mengakomodasi kader-kader Golkar yang memenuhi kriteria, prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela. Keputusan pemerintah tersebut berpotensi tafsirkan sebagai intervensi terhadap Golkar.
Hal itu sulit dielakkan dengan menilik latar belakang kepentingan politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung pemerintahan Jokowi-JK dan Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai kelompok oposisi. Secara politik, pemerintahan Jokowi berkepentingan terhadap dukungan Partai Golkar sebagai salah satu kekuatan penentu di KMP.
Artinya, kemenangan kubu Agung Laksono yang propemerintah berpotensi menjadikan soliditas KMP makin rapuh. Intervensi pemerintah lebih awal terendus dari manuver Agung cs sebelum Munas Bali digelar, ditandai intensitasnya melakukan komunikasi politik dengan Jusuf Kalla (JK) selaku wapres yang juga tokoh senior Golkar yang masih berpengaruh.
Klimaksnya, setelah kubu ARB berhasil menggelar Munas Bali, menyusul Munas Ancol yang ditengarai berada bayangbayang kuasa JK. Hasilnya, Golkar terbelah hingga MPG harus turun tangan yang melapangkan jalan Agung cs menyusul pemerintah memberikan ketetapan hukum. Dengan demikian, aura intervensi pemerintah berjalan sistematis meski hal itu ditampik Kemenkumham.
Turbulensi Golkar
Dalam konstelasi politik ini, Golkar kini terjebak dalam fragmentasi yang akut ditandai perpecahan para elitenya. Sulit diingkari, politik Golkar mengalami turbulen hingga terdisorientasi arah politiknya menyongsong pemilu mendatang. Kekuatan kader potensial yang tergabung dalam kubu ARB kini dieliminasi.
Akibatnya, Golkar berpotensi lumpuh termasuk dalam kemampuan koordinasi ke daerah yang kini justru fokus menghadapi pilkada di sejumlah daerah di Tanah Air. Setidaknya, Golkar butuh waktu untuk memulihkan situasi politik internal yang kini terbelah. Kekuatan Golkar secara politik melemah setelah tumbangnya rezim ARB yang selama ini mengendalikan partai.
Fragmentasi internal Golkar tidak terlepas dari kisruh para elitenya saat Pilpres 2014 lalu, hingga berujung pada Munas Bali dan Ancol yang menjadi ”tradisi baru” konflik Golkar. Dualisme kepemimpinan Golkar versi kedua munas tersebut menguras energi Golkar hingga butuh waktu untuk memulihkannya. Kini Golkar mengalami stagnasi bahkan kemunduran berpolitik, jika menilik tradisi politiknya pasca-Orde Baru.
Fragmentasi politik Golkar senantiasa mewarnai dinamika politik partai yang lahir dari rahim Orde Baru tersebut. Sepanjang reformasi, Golkar acap dilanda polemik yang mengilhami lahirnya partai baru yang lahir dari ”rahim politik Golkar”. Sejumlah partai yang lahir dari konflik internal Golkar yang mengharuskan kader terbaiknya hengkang dan memilih membuat rumah politik baru,
di antaranya Wiranto mendirikan Partai Hanura, Edi Sudrajat mendirikan PKPI, Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, dan Surya Paloh mendirikan Partai Nasdem. Bukan mustahil, kubu ARB jika tidak ada ruang rekonsiliasi politik, juga berpotensi mendirikan partai baru.
Tradisi Kekuasaan
Turbulensi politik akibat fragmentasi para elite Golkar diakibatkan lemahnya ideologi partai sebagai visi para kader menentukan arah politik Golkar, namun lebih bersifat pra-gmatis. Potensi konflik yang selalu mewarnai dinamika politik Golkar adalah penegas meredupnya militansi kader dalam mengawal Partai Golkar.
Orientasi kekuasaan Golkar juga condong lebih pragmatis, misalnya kubu Agung memilih merapat pada kekuasaan yang berhasil menelikung ARB cs yang menandai petaka politik Golkar akibat syahwat politik yang tak terkendali. Pemerintahan dan kekuasaan menjadi identik dengan tradisi politik Golkar. Posisi oposisi bagi Golkar menjadi pilihan sulit, betapa tradisi Golkar selama ini merupakan partai yang tidak lepas dari kekuasaan hingga kini.
Keberadaan JK dalam pemerintahan Jokowi menjadi indikatornya. Tetapi di parlemen, Golkar berusaha berseberangan dengan pemerintah, namun mungkin akhirnya merapat pascakemenangan kubu Agung yang propemerintah. Golkar sebagai salah satu penyangga KMP seharusnya mengambil posisi berlawanan dengan pemerintah.
Golkar harusnya mampu membangun karakter diri sebagai oposisi di parlemen. Oposisi tersebut bukan dalam kalkulasi politis pragmatis belaka, tetapi menjadi oposisi yang konsisten mengawal kemungkinan terjadinya penyimpangan pemerintahan Jokowi-JK. Elite Golkar harus sadar bahwa fragmentasi elite merugikan masa depan partai.
Harus lahir kesadaran bersama untuk menyelamatkan Golkar menjadi partai mandiri dengan jati dirinya sendiri, tanpa intervensi pihak luar. Dengan pilihan itu, beringin akan kembali rindang memberikan warna dominan dalam konstelasi politik nasional tanpa jebakan fragmentasi elite. Mungkinkah?
(bbg)