Kesadaran Mengenai Waktu
A
A
A
Mudji Sutrisno SJ
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
Dalam pandangan Hindu- Buddha, yang ikut masuk ke salah satu pandangan Nusantara dalam paham Jawa mengenai waktu, dibagikanlah empat periode.
Simbolismenya adalah yang berharga dalam peradaban saat ini yaitu emas, perak, perunggu, dan besi. Zaman sejahtera atau emas dinamai zaman kritea, secara batin penghayatan darma itu utuh dan kesadaran menghayatinya untuk hidup 100% ke bakti atau darma. Inilah zaman emas.
Zaman tritea adalah saat waktu adalah periode perak di mana masih dua pertiga atau 70% orang-orang berkesadaran menghayati waktu sebagai darma bakti, baik untuk dunia maupun sesama. Ketika kesadaran darma pecah mendua dan 50% ke arah positif serta 50% ke negatif zaman ini disebut dwaparwa atau dua kecondongan ke kehidupan yang berdarma atau sebaliknya.
Oleh karena itu, daya energi yang dalam bahasa modern disebut prokehidupan tepat selalu berada dalam lawan energi yang anti kehidupan atau anti memberikan darma. Inilah periode bersimbol perunggu. Zaman berikutnya ada masa waktu kacau atau chaos yaitu kaliyuga. Pada masa ini hanya tinggal sepertiga kesadaran menghayati hidup berdasar darmanya.
Cirinya: orientasi ke darma atau menghayati hidup untuk memperindahnya, pemuliaan sudah dikalahkan oleh hasrat penghancurannya. memayu hayuning bawana hanya slogan kosong tanpa laku tindakan. Kaliyuga sebagai periode disorientasi darma disimbolkan besi yang tidak berharga. Yang terus diambil oleh pujanggapujangga Jawa sebagai peringatan untuk waspada dalam hal ini seperti Ronggowarsito yang terkenal dengan tafsir kaliyuga sebagai masa yang tidak ikut-ikutan edan ora komanan (baca: yang tidak ikut gila tidak akan kebagian).
Orang-orang kacau arah hidupnya dengan mengejar pemenuhan hasrathasratnya untuk berkuasa, untuk serakah. Dalam situasi seperti ini, masih berbahagialah orang yang tetap sadar dan waspada untuk tidak hanyut dalam gelombang gila ini.
*** Paham periodisasi waktu di atas menarik untuk dibandingkan sebagai cermin dengan kesadaran waktu di pandanganpandangan dunia lain. Ketika seorang Chairil Anwar penyair Indonesia awal pascaperiode pra-Indonesia berteriak untuk zamannya dengan ”kalau sampai waktuku, kumau tak seorang pun kan merayu, tidak juga kau” (sajak senja di pelabuhan itu), maka sang waktu bagi Chairil dipahami sebagai perjalanan aktif manusia subyek untuk menentukan ziarah hidupnya di dunia ini.
Apalagi sajak terkenalnya sebagai ”aku binatang jalang dari kumpulan terbuang”, para penafsir sastra meletakkan Chairil Anwar sebagai eksistensialis, pelaku yang tidak menyerah pada siklus waktu namun menentukan langkahnya dalam waktu. Apakah empat periodisasi Nusantara khususnya Jawa di depan merupakan penghayatan waktu sebagai roda berputar di mana lingkaran hidup dihayati sebagai siklus dari masa emas sampai masa besi kacau dan berputar lagi ke silih berganti asalkan manusia menyadari siklus itu dengan waspada sadar?
Sebenarnya sistematisasi ilmu kebudayaan dan filsafatnya yang berdasar lapangan induktif pengalaman menghayati waktu lalu mengabstraksikannya dan membuatnya kategori- kategori secara deduksi dengan akal budi rasional, pandangan waktu yang satu siklus sedang yang kedua linier. Yang siklus, orang mengikuti jalan putar waktu, menghadapinya dengan penyesuaian batin, sedang yang linier, manusia menaruh diri sebagai subjek sadar yang menentukan detik, menit, tahun untuk menentukan langkah hidupnya.
Ketika ilmu sebagai sistematisasi logis, rasional dengan menegaskan pentingnya kombinasi antara mendekati realitas waktu dari lapangan nyata dalam fenomena-fenomenanya baik siklis maupun linier dan merangkumkannya sebagai paradigma teoritik abstrak, maka antara praksis di lapangan dan teori harus simbiosis, saling memberi daya dorong pengolahan fenomena-fenomena lapangan menjadi pandangan hidup lalu diterapkan ke lapangan dan diuji baru untuk paradigma- paradigma baru.
*** Mengapa kesadaran mengenai waktu di antara kita perlu ditajamkan dan dijadikan titik tolak menguji banyak perilaku aneh kita? Pertama, menyadari sang waktu sebagai berharga itu banyak tafsir maknanya. Ada yang menafsir dan menghayati dari dalam, intrinsik dari batin waspada sadarnya untuk selalu sadar waktu jangan tergesa-gesa tanpa renungan alias mendahului saat suci seperti petuah ojo ngece mongso.
Namun, pribadipribadi yang transisional belum mengolah kesadaran waktunya lalu jalan pintas meloncat ikutikut ke tafsir time is money atau waktu adalah uang tanpa olahan, akan menerobos tanpa waspada budi untuk melintasi paksa palang- palang keselamatan pintupintu lintasan kereta api. Aneh sekali, demi nyawanya sendiri, ia tidak bisa sabar hening menunggu 10-20 menit. Nekat menerobos untuk apa?
Mengejar waktu adalah uang? Terburu-buru? Padahal setelah menerobos terjadilah kecelakaan. Padahal yang berhasil nekat lalu setelahnya mengobrol dan bergosip ria alias membuang waktu kualitatif tetapi menghayati tanpa nilai waktu kuantitatif. Kedua, kitainisebagaibagian sejarah Nusantara yang menjadi Indonesia hampir 70 tahun, sehingga osmosis kesadaran waktu dalam kearifan-kearifan lokal kemajemukan tentang waktu harus didialogkan terus-menerus dengan apresiasi waktu zaman linier, kalender-kalender baru yang tidak siklis.
Artinya, yang berharga dari misalnya kesadaran manusia Bali dengan pandangan dunianya yang mengenal kearifan trimatra desa: ruang ; kala: waktu ; dan rasa intuisi taksu sebagai patra harus bertemu menjadi proses sintesis kalau itu ada tesis lalu antitesis atau osmosis mengambil yang baik lalu dikawinkan dengan yang baru.
Dengan kata lain, proses diri sebagai bagian dari semesta dalam kesadaran waktu siklis memang harus diterima sebagai bagianpelakuyangsamaketikamasuk ke kesadaran waktu linier di mana subjek itu penentu waktu. Apakah strukturalis harus terus menerus dialog dengan subjeksubjek mentalis yang sadar diri? Jawabnya: pasti.
Karena itu, usaha- usaha proses menyadari Nusantara menjadi Indonesia dalam renung kesadaran mengenai waktu sama dengan perjalanan locus genius dengan pengendapan kearifan-kearifan lokal dan maju dalam peradaban pencerahan budi dan jernih nurani untukmerajutkebijaksanaanhidup universal secara harkat manusia dan global (dalam makna terbatas rasional ekonomis).
Ketiga, berdasarkan tiga katakata kunci peradaban yang mencatat kesadaran waktu manusia dalam kata kunci kyrios yang merupakan makna suci untuk kronos (saat) sebagai puncak waktu peradaban. Lalu kata momentum (istilah latin untuk menunjuk saat ini nunc= sekarang) dan dikombinasikan dengan tempat yang di sinilah (=hic), manusia yang sadar waktu dan sadar ruang dalam mewujudkan keputusannya untuk menandai sejarah dengan karyanya.
Dan yang ketiga, kalimat kata-kata bijak yang disucikan dengan tes uji pengalaman yang berbunyi: ada waktuuntukmenanam, adawaktu untuk menuai panen. Ada waktu untuk lahir dan ada waktu untuk berpulang. Semuanya ada waktunya. Dan semua dibuat indah pada waktunya. Kesalahan kita semua adalah karena kita menafsirnya sebagai hanya waktu kita, waktu dunia, waktu kuantitatif angkaangka tanpa diproses hening dengan sang pemilik waktu yaitu waktu-Nya.
Oleh karena itu, tidak cukup kepintaran dan kepandaian akal budi untuk menggolong-golongkan apa itu waktu. Bahkan tidak cukup sistematisasi logis mengenai waktu linier. Mengapa? Karena kedua- duanya hanyalah ungkapan kesadaran waktu kuantitatif. Yang kita butuhkan adalah kesadaran waktu kuantitatif yang mendialogkan terus-menerus kerja-kerja teknologi dan langkah-langkah material pembangunan dengan transformasi transformasi kualitatif dalam gelombang kesadaran waktu kultural spiritual hingga semuanya ada waktunya dan waktu- Nya.
Ingin contoh buat bangsa ini? Bacalah dan renungkanlah saat bangsa menemukan momentum sejarah merdekanya sebagai berdaulat Negara Republik Indonesia dalam kalimat pernyataan merdekanya: ”Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ini kamim enyatakan kemerdekaan ... ”. Kesadaran akan berkah dari Yang Ilahi untuk momentum sejarah bangsa ini semestinya menjadi oase kerja- kerja pembangunan dan transformasi kita!.
Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
Dalam pandangan Hindu- Buddha, yang ikut masuk ke salah satu pandangan Nusantara dalam paham Jawa mengenai waktu, dibagikanlah empat periode.
Simbolismenya adalah yang berharga dalam peradaban saat ini yaitu emas, perak, perunggu, dan besi. Zaman sejahtera atau emas dinamai zaman kritea, secara batin penghayatan darma itu utuh dan kesadaran menghayatinya untuk hidup 100% ke bakti atau darma. Inilah zaman emas.
Zaman tritea adalah saat waktu adalah periode perak di mana masih dua pertiga atau 70% orang-orang berkesadaran menghayati waktu sebagai darma bakti, baik untuk dunia maupun sesama. Ketika kesadaran darma pecah mendua dan 50% ke arah positif serta 50% ke negatif zaman ini disebut dwaparwa atau dua kecondongan ke kehidupan yang berdarma atau sebaliknya.
Oleh karena itu, daya energi yang dalam bahasa modern disebut prokehidupan tepat selalu berada dalam lawan energi yang anti kehidupan atau anti memberikan darma. Inilah periode bersimbol perunggu. Zaman berikutnya ada masa waktu kacau atau chaos yaitu kaliyuga. Pada masa ini hanya tinggal sepertiga kesadaran menghayati hidup berdasar darmanya.
Cirinya: orientasi ke darma atau menghayati hidup untuk memperindahnya, pemuliaan sudah dikalahkan oleh hasrat penghancurannya. memayu hayuning bawana hanya slogan kosong tanpa laku tindakan. Kaliyuga sebagai periode disorientasi darma disimbolkan besi yang tidak berharga. Yang terus diambil oleh pujanggapujangga Jawa sebagai peringatan untuk waspada dalam hal ini seperti Ronggowarsito yang terkenal dengan tafsir kaliyuga sebagai masa yang tidak ikut-ikutan edan ora komanan (baca: yang tidak ikut gila tidak akan kebagian).
Orang-orang kacau arah hidupnya dengan mengejar pemenuhan hasrathasratnya untuk berkuasa, untuk serakah. Dalam situasi seperti ini, masih berbahagialah orang yang tetap sadar dan waspada untuk tidak hanyut dalam gelombang gila ini.
*** Paham periodisasi waktu di atas menarik untuk dibandingkan sebagai cermin dengan kesadaran waktu di pandanganpandangan dunia lain. Ketika seorang Chairil Anwar penyair Indonesia awal pascaperiode pra-Indonesia berteriak untuk zamannya dengan ”kalau sampai waktuku, kumau tak seorang pun kan merayu, tidak juga kau” (sajak senja di pelabuhan itu), maka sang waktu bagi Chairil dipahami sebagai perjalanan aktif manusia subyek untuk menentukan ziarah hidupnya di dunia ini.
Apalagi sajak terkenalnya sebagai ”aku binatang jalang dari kumpulan terbuang”, para penafsir sastra meletakkan Chairil Anwar sebagai eksistensialis, pelaku yang tidak menyerah pada siklus waktu namun menentukan langkahnya dalam waktu. Apakah empat periodisasi Nusantara khususnya Jawa di depan merupakan penghayatan waktu sebagai roda berputar di mana lingkaran hidup dihayati sebagai siklus dari masa emas sampai masa besi kacau dan berputar lagi ke silih berganti asalkan manusia menyadari siklus itu dengan waspada sadar?
Sebenarnya sistematisasi ilmu kebudayaan dan filsafatnya yang berdasar lapangan induktif pengalaman menghayati waktu lalu mengabstraksikannya dan membuatnya kategori- kategori secara deduksi dengan akal budi rasional, pandangan waktu yang satu siklus sedang yang kedua linier. Yang siklus, orang mengikuti jalan putar waktu, menghadapinya dengan penyesuaian batin, sedang yang linier, manusia menaruh diri sebagai subjek sadar yang menentukan detik, menit, tahun untuk menentukan langkah hidupnya.
Ketika ilmu sebagai sistematisasi logis, rasional dengan menegaskan pentingnya kombinasi antara mendekati realitas waktu dari lapangan nyata dalam fenomena-fenomenanya baik siklis maupun linier dan merangkumkannya sebagai paradigma teoritik abstrak, maka antara praksis di lapangan dan teori harus simbiosis, saling memberi daya dorong pengolahan fenomena-fenomena lapangan menjadi pandangan hidup lalu diterapkan ke lapangan dan diuji baru untuk paradigma- paradigma baru.
*** Mengapa kesadaran mengenai waktu di antara kita perlu ditajamkan dan dijadikan titik tolak menguji banyak perilaku aneh kita? Pertama, menyadari sang waktu sebagai berharga itu banyak tafsir maknanya. Ada yang menafsir dan menghayati dari dalam, intrinsik dari batin waspada sadarnya untuk selalu sadar waktu jangan tergesa-gesa tanpa renungan alias mendahului saat suci seperti petuah ojo ngece mongso.
Namun, pribadipribadi yang transisional belum mengolah kesadaran waktunya lalu jalan pintas meloncat ikutikut ke tafsir time is money atau waktu adalah uang tanpa olahan, akan menerobos tanpa waspada budi untuk melintasi paksa palang- palang keselamatan pintupintu lintasan kereta api. Aneh sekali, demi nyawanya sendiri, ia tidak bisa sabar hening menunggu 10-20 menit. Nekat menerobos untuk apa?
Mengejar waktu adalah uang? Terburu-buru? Padahal setelah menerobos terjadilah kecelakaan. Padahal yang berhasil nekat lalu setelahnya mengobrol dan bergosip ria alias membuang waktu kualitatif tetapi menghayati tanpa nilai waktu kuantitatif. Kedua, kitainisebagaibagian sejarah Nusantara yang menjadi Indonesia hampir 70 tahun, sehingga osmosis kesadaran waktu dalam kearifan-kearifan lokal kemajemukan tentang waktu harus didialogkan terus-menerus dengan apresiasi waktu zaman linier, kalender-kalender baru yang tidak siklis.
Artinya, yang berharga dari misalnya kesadaran manusia Bali dengan pandangan dunianya yang mengenal kearifan trimatra desa: ruang ; kala: waktu ; dan rasa intuisi taksu sebagai patra harus bertemu menjadi proses sintesis kalau itu ada tesis lalu antitesis atau osmosis mengambil yang baik lalu dikawinkan dengan yang baru.
Dengan kata lain, proses diri sebagai bagian dari semesta dalam kesadaran waktu siklis memang harus diterima sebagai bagianpelakuyangsamaketikamasuk ke kesadaran waktu linier di mana subjek itu penentu waktu. Apakah strukturalis harus terus menerus dialog dengan subjeksubjek mentalis yang sadar diri? Jawabnya: pasti.
Karena itu, usaha- usaha proses menyadari Nusantara menjadi Indonesia dalam renung kesadaran mengenai waktu sama dengan perjalanan locus genius dengan pengendapan kearifan-kearifan lokal dan maju dalam peradaban pencerahan budi dan jernih nurani untukmerajutkebijaksanaanhidup universal secara harkat manusia dan global (dalam makna terbatas rasional ekonomis).
Ketiga, berdasarkan tiga katakata kunci peradaban yang mencatat kesadaran waktu manusia dalam kata kunci kyrios yang merupakan makna suci untuk kronos (saat) sebagai puncak waktu peradaban. Lalu kata momentum (istilah latin untuk menunjuk saat ini nunc= sekarang) dan dikombinasikan dengan tempat yang di sinilah (=hic), manusia yang sadar waktu dan sadar ruang dalam mewujudkan keputusannya untuk menandai sejarah dengan karyanya.
Dan yang ketiga, kalimat kata-kata bijak yang disucikan dengan tes uji pengalaman yang berbunyi: ada waktuuntukmenanam, adawaktu untuk menuai panen. Ada waktu untuk lahir dan ada waktu untuk berpulang. Semuanya ada waktunya. Dan semua dibuat indah pada waktunya. Kesalahan kita semua adalah karena kita menafsirnya sebagai hanya waktu kita, waktu dunia, waktu kuantitatif angkaangka tanpa diproses hening dengan sang pemilik waktu yaitu waktu-Nya.
Oleh karena itu, tidak cukup kepintaran dan kepandaian akal budi untuk menggolong-golongkan apa itu waktu. Bahkan tidak cukup sistematisasi logis mengenai waktu linier. Mengapa? Karena kedua- duanya hanyalah ungkapan kesadaran waktu kuantitatif. Yang kita butuhkan adalah kesadaran waktu kuantitatif yang mendialogkan terus-menerus kerja-kerja teknologi dan langkah-langkah material pembangunan dengan transformasi transformasi kualitatif dalam gelombang kesadaran waktu kultural spiritual hingga semuanya ada waktunya dan waktu- Nya.
Ingin contoh buat bangsa ini? Bacalah dan renungkanlah saat bangsa menemukan momentum sejarah merdekanya sebagai berdaulat Negara Republik Indonesia dalam kalimat pernyataan merdekanya: ”Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ini kamim enyatakan kemerdekaan ... ”. Kesadaran akan berkah dari Yang Ilahi untuk momentum sejarah bangsa ini semestinya menjadi oase kerja- kerja pembangunan dan transformasi kita!.
(ars)