Dosen Hukum Jadi Malu
A
A
A
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Akhir pekan lalu, saat menunggu penerbangan ke Yogya, saya bertemu dengan Wakil Rektor V yang juga mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Paripurna Sugarda.
Pertemuan di Bandara Soekarno-Hatta Cengkarengitumemberikamikesempatan untuk bertukar pikiran tentang keadaan hukum di Indonesia. Kami sama-sama galau melihat perkembangan hukum yang dalam praktik seringdijadikansemacampencaksilat untuk mencari kemenangan, bukan alat untuk menegakkan yang benar.
Sebagai pengajar bidang hukum Pak Paripurna mengaku malu melihat perkembangan hukum di Indonesia dewasa ini. Bagaimana tidak? Hukum tidak mampu menunjukkan fungsi dan perannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Indonesia diserang wabah korupsi; pemberantasan korupsi bukannya menguat, tetapi justru semakin melemah.
Para lulusan fakultas hukum yang bersebaran di berbagai lembaga penegak hukum bukan hanya tidak mampu menjadikan hukum sebagai panglima dalam perang melawan korupsi, melainkan banyak di antara mereka yang selain terlibat korupsi juga memperkuat budaya korupsi. Lihat saja, betapa banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan sarjana hukum yang dijebloskan ke penjara karena korupsi.
Pertengkaran terbuka antara sesama ahli dan penegak hukum karena yang satu membela koruptor, sedangkan yang lain memperjuangkan penghukuman terhadap koruptor sering kali menghina akal sehat publik. Anehnya, dalam kasus korupsi yang lain mereka bisa bertukar posisi, yang semula berdiri sebagai pembela perjuangan antikorupsi, dalam kasus yang berbeda bisa menjadi pembela koruptor dengan dalil yang tadinya dipakai lawan. Yang semula membela koruptor kini tampil gagah membela lawan koruptor.
Logika bisa ditukar-tukar, tergantung pada order. Dalil bisa dipilih sesuai dengan posisinya. Hati nurani dan akal sehat publik menjadi tak penting karena yang penting menang atau bisa manggung. ”Saya malu, Pak, melihat keadaan ini. Saking gundahnya, kalau membimbing mahasiswa, saya sering tidak terlalu masuk pada substansi tesis atau disertasi. Saya sering lebih banyak mengetuk hati dan meminta janji agar setelah lulus dari fakultas hukum nanti tidak ikut-ikutan korupsi,” kata Pak Paripurna.
”Saya bukan hanya malu, tetapi juga takut. Saya takut untuk memberi pendapat hukum dalam kasus-kasus konkret karena pendapat yang rasanya benar nanti di pengadilan bisa dibalik begitu saja oleh hakim, jaksa, atau pengacara sehingga kebenaran itu menjadi tak bernilai bahkan sering dijadikan bahan untuk mengejek kita,” jawab saya.
Saya sendiri memang selalu menolak untuk tampil di pengadilan, misalnya menjadi saksi atau ahli karena kesaksian dan keahlian sering ditekuk begitu saja di pengadilan. Kalau ada orang mau berkonsultasi atau mau meminta nasihat hukum tentang kasus konkret yang dihadapi saya sering menolak karena khawatir pendapat saya bisa berbalikan dengan pendapat pengadilan dan dia jadi kecewa.
”Jangan saya, Anda cari pengacara profesional saja,” demikian saya sering menjawab. Saya bukannya bermaksud mengatakan bahwa perbedaan pendapat antarpihak itu salah. Justru perbedaan antara jaksa, pengacara, dan ahli itu sangat penting dibeber secara terbuka karena dari sanalah pencarian kebenaran bisa digali secara komprehensif. Masalahnya, banyak yang bukan mencari benar, tetapi mencari menang dengan berbagai cara.
Nurani penegakan hukum sering dibuang begitu saja dari logika hukum yang memang bisa dibangun dengan mencaricari dalil yang logis. Dalam kasus korupsi, misalnya, filsafat, asas, dan norma hukum sering kali dijungkirbalikkan untuk membela koruptor dan menguatkan serangan terhadap lembaga-lembaga pemberantas korupsi. Sebagai orang yang lama belajar hukum dan pernah duduk di lembaga penegak hukum, saya tahu pasal-pasal hukum itu bisa saja dicari untuk membenarkan atau menyalahkan satu pihak, tergantung pada apa yang diinginkan hakim.
Seorang hakim, misalnya, kalau ingin memenangkan seseorang bisa memakai pasal ini undangundang nomor sekian, tapi kalau mau mengalahkan atau menghukumnya bisa memakai pasal dan undang-undang bernomor lain lagi. Pokoknya, semua ada pasalnya. Oleh karena semua alternatif, mau menghukum atau membebaskan itu, selalu bisa dicarikan dan selalu ada dalilnya, dalam memutus perkara ”keyakinan hakim” menjadi penentu utama.
Di antara banyak dalil yang bisa digunakan untuk membebaskan atau menghukum seseorang itu seorang hakim harus bertumpu pada keyakinan dan bertanya kepada hati nuraninya. Hakim harus bertanya pada hati nuraninya, mana yang paling tepat atau paling mendekati kebenaran di antara berbagai alternatif yang dapat dijadikan vonis atas perkara yang sedang ditanganinya.
Tapi, celakanya, kerap kali muncul putusan hakim yang dibuat bukan karena bisikan hati nurani, melainkan karena kolusi. Putusan yang lahir dari kolusi itu kemudian dibungkus dengan dalih ”itulah keyakinan hakim dan hakim tak boleh diintervensi”. Buktinya, banyak hakim yang dihukum karena vonisnya yang korup. Banyak juga yang tidak bisa dijerat hukum karena lihainya membungkus dengan pasal-pasal penguat yang dipilihnya secara sepihak, tetapi putusannya sangat menusuk rasa keadilan.
Tidak jarang juga hakim membuat vonis-vonis jahat seperti itu karena berkolusi atau bermafiaria dengan penegak hukum yang lain. Maka itu, bukan hanya Pak Paripurna, melainkan semua dosen fakultas hukum harus merasa malu atas perkembangan dunia hukum di negara kita sekarang ini.
Guru Besar Hukum Konstitusi
Akhir pekan lalu, saat menunggu penerbangan ke Yogya, saya bertemu dengan Wakil Rektor V yang juga mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Paripurna Sugarda.
Pertemuan di Bandara Soekarno-Hatta Cengkarengitumemberikamikesempatan untuk bertukar pikiran tentang keadaan hukum di Indonesia. Kami sama-sama galau melihat perkembangan hukum yang dalam praktik seringdijadikansemacampencaksilat untuk mencari kemenangan, bukan alat untuk menegakkan yang benar.
Sebagai pengajar bidang hukum Pak Paripurna mengaku malu melihat perkembangan hukum di Indonesia dewasa ini. Bagaimana tidak? Hukum tidak mampu menunjukkan fungsi dan perannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Indonesia diserang wabah korupsi; pemberantasan korupsi bukannya menguat, tetapi justru semakin melemah.
Para lulusan fakultas hukum yang bersebaran di berbagai lembaga penegak hukum bukan hanya tidak mampu menjadikan hukum sebagai panglima dalam perang melawan korupsi, melainkan banyak di antara mereka yang selain terlibat korupsi juga memperkuat budaya korupsi. Lihat saja, betapa banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan sarjana hukum yang dijebloskan ke penjara karena korupsi.
Pertengkaran terbuka antara sesama ahli dan penegak hukum karena yang satu membela koruptor, sedangkan yang lain memperjuangkan penghukuman terhadap koruptor sering kali menghina akal sehat publik. Anehnya, dalam kasus korupsi yang lain mereka bisa bertukar posisi, yang semula berdiri sebagai pembela perjuangan antikorupsi, dalam kasus yang berbeda bisa menjadi pembela koruptor dengan dalil yang tadinya dipakai lawan. Yang semula membela koruptor kini tampil gagah membela lawan koruptor.
Logika bisa ditukar-tukar, tergantung pada order. Dalil bisa dipilih sesuai dengan posisinya. Hati nurani dan akal sehat publik menjadi tak penting karena yang penting menang atau bisa manggung. ”Saya malu, Pak, melihat keadaan ini. Saking gundahnya, kalau membimbing mahasiswa, saya sering tidak terlalu masuk pada substansi tesis atau disertasi. Saya sering lebih banyak mengetuk hati dan meminta janji agar setelah lulus dari fakultas hukum nanti tidak ikut-ikutan korupsi,” kata Pak Paripurna.
”Saya bukan hanya malu, tetapi juga takut. Saya takut untuk memberi pendapat hukum dalam kasus-kasus konkret karena pendapat yang rasanya benar nanti di pengadilan bisa dibalik begitu saja oleh hakim, jaksa, atau pengacara sehingga kebenaran itu menjadi tak bernilai bahkan sering dijadikan bahan untuk mengejek kita,” jawab saya.
Saya sendiri memang selalu menolak untuk tampil di pengadilan, misalnya menjadi saksi atau ahli karena kesaksian dan keahlian sering ditekuk begitu saja di pengadilan. Kalau ada orang mau berkonsultasi atau mau meminta nasihat hukum tentang kasus konkret yang dihadapi saya sering menolak karena khawatir pendapat saya bisa berbalikan dengan pendapat pengadilan dan dia jadi kecewa.
”Jangan saya, Anda cari pengacara profesional saja,” demikian saya sering menjawab. Saya bukannya bermaksud mengatakan bahwa perbedaan pendapat antarpihak itu salah. Justru perbedaan antara jaksa, pengacara, dan ahli itu sangat penting dibeber secara terbuka karena dari sanalah pencarian kebenaran bisa digali secara komprehensif. Masalahnya, banyak yang bukan mencari benar, tetapi mencari menang dengan berbagai cara.
Nurani penegakan hukum sering dibuang begitu saja dari logika hukum yang memang bisa dibangun dengan mencaricari dalil yang logis. Dalam kasus korupsi, misalnya, filsafat, asas, dan norma hukum sering kali dijungkirbalikkan untuk membela koruptor dan menguatkan serangan terhadap lembaga-lembaga pemberantas korupsi. Sebagai orang yang lama belajar hukum dan pernah duduk di lembaga penegak hukum, saya tahu pasal-pasal hukum itu bisa saja dicari untuk membenarkan atau menyalahkan satu pihak, tergantung pada apa yang diinginkan hakim.
Seorang hakim, misalnya, kalau ingin memenangkan seseorang bisa memakai pasal ini undangundang nomor sekian, tapi kalau mau mengalahkan atau menghukumnya bisa memakai pasal dan undang-undang bernomor lain lagi. Pokoknya, semua ada pasalnya. Oleh karena semua alternatif, mau menghukum atau membebaskan itu, selalu bisa dicarikan dan selalu ada dalilnya, dalam memutus perkara ”keyakinan hakim” menjadi penentu utama.
Di antara banyak dalil yang bisa digunakan untuk membebaskan atau menghukum seseorang itu seorang hakim harus bertumpu pada keyakinan dan bertanya kepada hati nuraninya. Hakim harus bertanya pada hati nuraninya, mana yang paling tepat atau paling mendekati kebenaran di antara berbagai alternatif yang dapat dijadikan vonis atas perkara yang sedang ditanganinya.
Tapi, celakanya, kerap kali muncul putusan hakim yang dibuat bukan karena bisikan hati nurani, melainkan karena kolusi. Putusan yang lahir dari kolusi itu kemudian dibungkus dengan dalih ”itulah keyakinan hakim dan hakim tak boleh diintervensi”. Buktinya, banyak hakim yang dihukum karena vonisnya yang korup. Banyak juga yang tidak bisa dijerat hukum karena lihainya membungkus dengan pasal-pasal penguat yang dipilihnya secara sepihak, tetapi putusannya sangat menusuk rasa keadilan.
Tidak jarang juga hakim membuat vonis-vonis jahat seperti itu karena berkolusi atau bermafiaria dengan penegak hukum yang lain. Maka itu, bukan hanya Pak Paripurna, melainkan semua dosen fakultas hukum harus merasa malu atas perkembangan dunia hukum di negara kita sekarang ini.
(ars)