Langkanya Generasi Penerus Petani
A
A
A
Himmah Khasanah
Mahasiswi Jurusan Fisika, FMIPA
Indonesia dikenal dengan tanahnya yang subur, seperti yang ada pada lagu Koes Plus berjudul Kolam Susu, tongkat pun bisa jadi tanaman.
Kita tentu saja berharap tanah Indonesia tetap menjadi tanah yang subur, tapi apa gunanya tanah subur jika tak ada yang mengelolanya. Sungguh miris melihat generasi petani yang semakin langka, para kaum muda bahkan anak petani cenderung memilih bekerja di sektor nonpertanian karena dinilai lebih menggiurkan. Pekerjaan petani menurut mereka adalah pekerjaan yang kolot karena mereka harus turun ke sawah yang tanahnya lembek.
Hal ini sejalan seperti yang diungkapkan Tan Malaka, ”Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana maka lebih baik pendidikan itu tidak di berikan sama sekali.” Apa yang diungkapkan Tan Malaka ini merupakan kritik terhadap pendidikan yang salah dipahami oleh generasi muda.
Mereka yang mengenyam bangku sekolah dari SD hingga kuliah cenderung tidak berkeinginan untuk menjadi petani yang sukses. Mereka lebih banyak berkeinginan untuk menjadi guru, dosen, pilot, dokter, dan sebagainya. Memang, bukan masalah mereka hendak menjadi apa, tapi yang menjadi masalah adalah stigma tentang petani.
Petani distigmakan sebagai profesi yang rendah, padahal petani adalah pekerjaan yang mulia karena dari tangan para petanilah kita bisa makan. Sungguh sangat memprihatinkan jika di negara agraris ini terjadi kelangkaan generasi penerus pertanian, apa yang akan terjadi 10 tahun ke depan jika para petani kehilangan penerusnya? Jika para pemuda tidak tertarik untuk menjadi petani, pihak asing akan mengambil kesempatan emas ini.
Pihak luar akan membeli berhektare-hektare lahan yang ada di Indonesia, yang pada akhirnya masyarakat Indonesia sendirilah yang akan menjadi buruh. Tentu kita semua tidak menginginkan hal yang demikian karena itu sama saja kita kembali pada zaman kolonial. Ada beberapa hal yang menyebabkan kelangkaan generasi penerus petani. Pertama, modernisasi telah mengubah cara pandang pemuda kita sehingga budaya kita sendiri dianggap kolot contohnya.
Kedua, industrialisasi yang semakin pesat mencuri perhatian kaum muda bangsa kita. Ketiga, perkembangan teknologi seperti media sosial menjadikan mental para pemuda kita malas, media sosial (sosmed) telah mencuri banyak waktu luang kita sehingga jelas saja pemuda lebih memilih sosmed-an ketimbang membantu orang tuanya di ladang.
Mahasiswi Jurusan Fisika, FMIPA
Indonesia dikenal dengan tanahnya yang subur, seperti yang ada pada lagu Koes Plus berjudul Kolam Susu, tongkat pun bisa jadi tanaman.
Kita tentu saja berharap tanah Indonesia tetap menjadi tanah yang subur, tapi apa gunanya tanah subur jika tak ada yang mengelolanya. Sungguh miris melihat generasi petani yang semakin langka, para kaum muda bahkan anak petani cenderung memilih bekerja di sektor nonpertanian karena dinilai lebih menggiurkan. Pekerjaan petani menurut mereka adalah pekerjaan yang kolot karena mereka harus turun ke sawah yang tanahnya lembek.
Hal ini sejalan seperti yang diungkapkan Tan Malaka, ”Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana maka lebih baik pendidikan itu tidak di berikan sama sekali.” Apa yang diungkapkan Tan Malaka ini merupakan kritik terhadap pendidikan yang salah dipahami oleh generasi muda.
Mereka yang mengenyam bangku sekolah dari SD hingga kuliah cenderung tidak berkeinginan untuk menjadi petani yang sukses. Mereka lebih banyak berkeinginan untuk menjadi guru, dosen, pilot, dokter, dan sebagainya. Memang, bukan masalah mereka hendak menjadi apa, tapi yang menjadi masalah adalah stigma tentang petani.
Petani distigmakan sebagai profesi yang rendah, padahal petani adalah pekerjaan yang mulia karena dari tangan para petanilah kita bisa makan. Sungguh sangat memprihatinkan jika di negara agraris ini terjadi kelangkaan generasi penerus pertanian, apa yang akan terjadi 10 tahun ke depan jika para petani kehilangan penerusnya? Jika para pemuda tidak tertarik untuk menjadi petani, pihak asing akan mengambil kesempatan emas ini.
Pihak luar akan membeli berhektare-hektare lahan yang ada di Indonesia, yang pada akhirnya masyarakat Indonesia sendirilah yang akan menjadi buruh. Tentu kita semua tidak menginginkan hal yang demikian karena itu sama saja kita kembali pada zaman kolonial. Ada beberapa hal yang menyebabkan kelangkaan generasi penerus petani. Pertama, modernisasi telah mengubah cara pandang pemuda kita sehingga budaya kita sendiri dianggap kolot contohnya.
Kedua, industrialisasi yang semakin pesat mencuri perhatian kaum muda bangsa kita. Ketiga, perkembangan teknologi seperti media sosial menjadikan mental para pemuda kita malas, media sosial (sosmed) telah mencuri banyak waktu luang kita sehingga jelas saja pemuda lebih memilih sosmed-an ketimbang membantu orang tuanya di ladang.
(ars)