Pajak Jalan Tol
A
A
A
Pengguna jalan bebas hambatan alias jalan tol siap-siap menjadi objek pajak. Terhitung mulai 1 April mendatang, pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) setiap memasuki gerbang jalan tol.
Setiap pengguna jalan tol wajib membayar PPN sebesar 10% dari tarif jalan tol yang dilalui. Pemerintah menargetkan pajak pengguna jalan tol bisa menyumbang pendapatan negara dari penerimaan pajak minimal sebesar Rp500 miliar tahun ini. Ide kebijakan tersebut sudah dimunculkan dirjen Pajak ketika dijabat Darmin Nasution, namun operator jalan tol mempertanyakan sehingga aturan tidak direalisasikan.
Pemerintah mengakui, sebagaimana diungkapkan Wakil Menteri Keuangan (Menkeu) Mardiasmo, pengenaan PPN tersebut adalah bagian dari strategi untuk menggenjot penerimaan pajak yang dinilai selama ini belum optimal. ”Target penerimaan PPN jalan tol minimal Rp0,5 triliun dan tidak bisa mundur lagi,” tegas Mardiasmo pada acara Kick of Implementasi Akuntansi Pemerintah Berbasis Akrual, kemarin. Untuk tahun ini, lembaga penarik pajak dipatok untuk memenuhi target penerimaan pajak sebesar Rp1.300 triliun.
Karena itu, pemerintah bertekad memaksimalkan potensi pajak yang selama ini belumtersentuh, tak terkecuali untuk pengguna jalan bebas hambatan. Kebijakan tersebut pun menuai kontra oleh sejumlah pihak yang menilai pengenaan PPN itu bakal menyeret kenaikan biaya logistik. Pemerintah tidak menampik tuduhan itu. Kebijakan itu pasti akan berpengaruh pada kenaikan biaya logistik, tetapi diperkirakan tidak akan signifikan.
Sementara itu, operator jalan tol pun tidak keberatan atas kebijakan tersebut karena bebannya langsung kepada konsumen. Pihak operator hanya berfungsi sebagai penerima perantara yang langsung disetorkan kepada kocek pemerintah. Mengapa pengguna jalan bebas hambatan mesti dikenai pajak lagi? Bukankah pihak operator sudah menanggung pajak sehingga diberi kewenangan untuk menaikkan tarif tol berkala setiap dua tahun?
Pemerintah beralasan bahwa jalan tol adalah salah satu objek jasa yang bisa dikenakan PPN sebagaimana diatur dalam undangundang (UU) PPN. UU tersebut menegaskan bahwa jalan tol masuk dalam kategori jasa. Atas dasar aturan itulah, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan peraturan menteri keuangan (PMK) untuk pengenaan PPN 10% pada jalan bebas hambatan.
Sebelum memburu pengguna jalan tol untuk dibebani pajak, pemerintah terlebih dahulu mengejar nasabah perbankan yang tercatat sebagai pemegang deposito. Lewat peraturan Dirjen Pajak No PER-01/PJ/2015 tentang Pemotongan Pajak Deposito yang diteken Wakil Menkeu Mardiasmo saat menjabat pelaksana tugas (Plt) dirjen Pajak, mewajibkan perbankan menyerahkan data bukti potong pajak penghasilan (PPh) atas bunga deposito dan tabungan nasabah secara rinci.
Pasalnya, selama ini perbankan hanya melaporkan pajak bunga deposito secara umum. Kebijakan tersebut kontan mendapat respons negatif dari kalangan bankir. Berbagai alasan rasional dikemukakan para bankir kepada pemerintah apabila kebijakan tersebut diwujudkan, di antaranya kekhawatiran terhadap nasabah yang akan mencabut simpanannya di bank dan melarikan ke bank di luar negeri alias terjadi arus modal keluar (capital flight).
Hal itu yang membuat para bankir domestik ketar-ketir atas kebijakan tersebut. Kabar yang bertiup beberapa nasabah kakap sudah mulai ambil ancang-ancang untuk menarik simpanannya bila aturan itu jadi diberlakukan.
Pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak tinggal diam. Protes keras pun terhadap peraturan tersebut dilayangkan, karena aturan itu dinilai menabrak UU Perbankan yang menyatakan bahwa data nasabah bersifat rahasia, kecuali untuk kepentingan pemeriksaan, penyidikan dan bukti permulaan.
Keberatan OJK dan kalangan bankir berbuah manis, Kemenkeu membatalkan penerapan kebijakan tersebut yang seharusnya sudah berlaku per 1 Maret lalu. Pengenaan pajak terhadap pengguna jalan tol dan bunga deposito nasabah perbankan yang belakangan dibatalkan, sepertinya pemerintah sedang ”kalap” mengejar setoran pajak.
Masalahnya, potensi pajak yang lebih besar masih jauh lebih banyak yang belum tersentuh. Instansi penarik pajak lebih memilih cara instan lewat pengguna jalan tol. Ibaratnya, para petugas pemungut pajak hanya berburu di kebun binatang. Padahal, gaji para pemburu pajak itu sudah dinaikkan jauh lebih tinggi daripada abdi negara lainnya.
Setiap pengguna jalan tol wajib membayar PPN sebesar 10% dari tarif jalan tol yang dilalui. Pemerintah menargetkan pajak pengguna jalan tol bisa menyumbang pendapatan negara dari penerimaan pajak minimal sebesar Rp500 miliar tahun ini. Ide kebijakan tersebut sudah dimunculkan dirjen Pajak ketika dijabat Darmin Nasution, namun operator jalan tol mempertanyakan sehingga aturan tidak direalisasikan.
Pemerintah mengakui, sebagaimana diungkapkan Wakil Menteri Keuangan (Menkeu) Mardiasmo, pengenaan PPN tersebut adalah bagian dari strategi untuk menggenjot penerimaan pajak yang dinilai selama ini belum optimal. ”Target penerimaan PPN jalan tol minimal Rp0,5 triliun dan tidak bisa mundur lagi,” tegas Mardiasmo pada acara Kick of Implementasi Akuntansi Pemerintah Berbasis Akrual, kemarin. Untuk tahun ini, lembaga penarik pajak dipatok untuk memenuhi target penerimaan pajak sebesar Rp1.300 triliun.
Karena itu, pemerintah bertekad memaksimalkan potensi pajak yang selama ini belumtersentuh, tak terkecuali untuk pengguna jalan bebas hambatan. Kebijakan tersebut pun menuai kontra oleh sejumlah pihak yang menilai pengenaan PPN itu bakal menyeret kenaikan biaya logistik. Pemerintah tidak menampik tuduhan itu. Kebijakan itu pasti akan berpengaruh pada kenaikan biaya logistik, tetapi diperkirakan tidak akan signifikan.
Sementara itu, operator jalan tol pun tidak keberatan atas kebijakan tersebut karena bebannya langsung kepada konsumen. Pihak operator hanya berfungsi sebagai penerima perantara yang langsung disetorkan kepada kocek pemerintah. Mengapa pengguna jalan bebas hambatan mesti dikenai pajak lagi? Bukankah pihak operator sudah menanggung pajak sehingga diberi kewenangan untuk menaikkan tarif tol berkala setiap dua tahun?
Pemerintah beralasan bahwa jalan tol adalah salah satu objek jasa yang bisa dikenakan PPN sebagaimana diatur dalam undangundang (UU) PPN. UU tersebut menegaskan bahwa jalan tol masuk dalam kategori jasa. Atas dasar aturan itulah, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan peraturan menteri keuangan (PMK) untuk pengenaan PPN 10% pada jalan bebas hambatan.
Sebelum memburu pengguna jalan tol untuk dibebani pajak, pemerintah terlebih dahulu mengejar nasabah perbankan yang tercatat sebagai pemegang deposito. Lewat peraturan Dirjen Pajak No PER-01/PJ/2015 tentang Pemotongan Pajak Deposito yang diteken Wakil Menkeu Mardiasmo saat menjabat pelaksana tugas (Plt) dirjen Pajak, mewajibkan perbankan menyerahkan data bukti potong pajak penghasilan (PPh) atas bunga deposito dan tabungan nasabah secara rinci.
Pasalnya, selama ini perbankan hanya melaporkan pajak bunga deposito secara umum. Kebijakan tersebut kontan mendapat respons negatif dari kalangan bankir. Berbagai alasan rasional dikemukakan para bankir kepada pemerintah apabila kebijakan tersebut diwujudkan, di antaranya kekhawatiran terhadap nasabah yang akan mencabut simpanannya di bank dan melarikan ke bank di luar negeri alias terjadi arus modal keluar (capital flight).
Hal itu yang membuat para bankir domestik ketar-ketir atas kebijakan tersebut. Kabar yang bertiup beberapa nasabah kakap sudah mulai ambil ancang-ancang untuk menarik simpanannya bila aturan itu jadi diberlakukan.
Pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak tinggal diam. Protes keras pun terhadap peraturan tersebut dilayangkan, karena aturan itu dinilai menabrak UU Perbankan yang menyatakan bahwa data nasabah bersifat rahasia, kecuali untuk kepentingan pemeriksaan, penyidikan dan bukti permulaan.
Keberatan OJK dan kalangan bankir berbuah manis, Kemenkeu membatalkan penerapan kebijakan tersebut yang seharusnya sudah berlaku per 1 Maret lalu. Pengenaan pajak terhadap pengguna jalan tol dan bunga deposito nasabah perbankan yang belakangan dibatalkan, sepertinya pemerintah sedang ”kalap” mengejar setoran pajak.
Masalahnya, potensi pajak yang lebih besar masih jauh lebih banyak yang belum tersentuh. Instansi penarik pajak lebih memilih cara instan lewat pengguna jalan tol. Ibaratnya, para petugas pemungut pajak hanya berburu di kebun binatang. Padahal, gaji para pemburu pajak itu sudah dinaikkan jauh lebih tinggi daripada abdi negara lainnya.
(ars)