Pemimpin Berani Mengambil Keputusan
A
A
A
Frans H Winarta
Ketua Umum Peradin dan Dosen Fakultas Hukum UPH
Ketika perang Irak II pecah pada 2003, Inggris Raya menyatakan ikut serta dalam pasukan koalisi di bawah pimpinan Amerika Serikat.
Protes berdatangan terhadap Perdana Menteri Tonny Blair baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pemerintah Perancis dan Jerman menolak bergabung dengan pasukan koalisi dengan alasan bahwa perang bukanlah jawaban untuk menyelesaikan ketegangan dan perimbangan kekuatan di Timur Tengah. Dialog adalah jalan terbaik mengurangi ketegangan dan pertimbangan kekuatan di Timur Tengah.
Dalam tayangan televisi setempat, Tonny Blair bertemu sejumlah mahasiswa dari berbagai universitas di Inggris yang menanyakan apa alasanInggrisbergabung dengan pasukan koalisi dan terjun ke dalam perang Irak. Dengan tangkas Tonny Blair berkilah bahwa salah atau benar keputusannya untuk ikut perang Irak akan ditentukan oleh sejarah di kemudian hari karena sebagai pemimpin eksekutif tertinggi Britania Raya, dia harus mengambil keputusan secepatnya apakah ikut atau tidak ikut dalam perang Irak.
Sebagai seorang pemimpin dengan gayanya kepemimpinannya yang khas, dia menjelaskan kepada kurang lebih 20 mahasiswa bahwa dia harus memutuskan dan tidak bisa tinggal diam. Dia menolak tuduhan banyak pihak bahwa dirinya sebagai ”pudel” (poodle) dari Presiden Amerika Serikat George W Bush. Keputusan untuk ikut dalam perang Irak dia pertanggungjawabkan kepada rakyat setelahnya.
Sejarah menilai apakah keputusannya benar atau tidak. Salah satu dari sekian alasan yang melatarbelakangi keputusannya adalah ada senjata pemusnah (weapon of mass destruction )yang dimiliki Irak yang tentu akan membahayakan dunia, khususnya di Timur Tengah. Kemudian kecurigaan ini salah karena Irak tidak memiliki senjata pemusnah yang dituduhkan Presiden Amerika Serikat George W Bush saat itu.
Dalam kesempatan lain, sebelumnya Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher berada dalam masa transisi berakhirnya hak Inggris menempati Hong Kong pada 1997 dan akan diserahkan kembali kepada RRC. Rakyat Hong Kong tentu saja resah karena sistem pemerintahan demokrasi yang dianut Hong Kong selama ini akan berubah menjadi sistem komunis.
Tetapi, Thatcherdengantangkas menjawab pertanyaan mahasiswa Hong Kong yang ditayangkan di stasiun televisi setempat bahwa dirinya menjamin bahwa Hong Kong di bawah RRC akan tetap mempertahankan sistem pemerintahan demokrasi. Dia menjamin bahwa Hong Kong akan menjadi ”safe haven for democracy”. Ini menjadi kenyataan dan janjinya dipenuhi. Dapat terlihat dari dua petikan cerita tadi bahwa dua perdana menteri merupakan pemimpin yang ”decisive”, berani mengambil keputusan saat krisis tanpa ragu dan tidak diombang- ambingkan keadaan di sekitarnya.
Ini bisa terjadi karena karier politik mereka dimulai dari bawah sebagai anggota dan pengurus partai buruh dan partai konservatif kemudian menjadi anggota parlemen (House Of Lord dan House Of Common). Mereka teruji dan memiliki kepemimpinan yang tegas serta berani mengambil keputusan. Contoh dramatis lain adalah ketika Rusia membangun markas persenjataan peluru kendali di Kuba permulaan tahun 1960- an, tepatnya di the Bay of Pig. Markas persenjataan peluru kendali tersebut rupanya mengarah ke daratan Amerika Serikat.
Dengan tegas Presiden John F Kennedy mengancam akan mendeklarasikan perang kepada Rusia dan Kuba jika markas tersebut tidak segera dibongkar. Setelah melalui diplomasi berulang yang memakan waktu lama serta perdebatan yang cukup sengit di PBB, akhirnya Rusia membongkar markas persenjataan peluru kendali di the Bay of Pig tersebut. Peristiwa ini kemenanganbesarAmerikaSerikat dibawahkepemimpinan Presiden John F Kennedy saat itu.
Pidato Presiden John F Kennedy yang terkenal adalah ketika dia mengucapkan: ”And so, my fellow Americans: ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your country. My fellow citizens of the world: ask not what America can do for you, but what together we can do for the freedom of man”. Dalam mengambil sebuah tindakan krusial, harus dipikirkan apa yang terbaik untuk bangsa dan negara.
Segera setelah pidato mengesankan itu, beribu-ribu pemuda- pemudi Amerika Serikat bergabung dalam ”Peace Corps” yang membantu pengembangan olahraga, budaya, musik, kesenian, dan lain-lain di negaranegara berkembang.
Kejutan Awal Tahun
Saat ini Indonesia memerlukan pemimpin berkarisma dan berkarakter kuat untuk memecahkan berbagai krisis dan persoalan bangsa yang besar ini. Dalam konteks perseteruan KPK vs Polri, Presiden Jokowi harus memutuskan apa yang terbaik bagi bangsa Indonesia dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti konstitusi, hukum, moral, sosiologis, dan psikologis.
Berdasarkan konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan pada Rabu, 18 Februari 2015, Presiden Jokowi pada akhirnya membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri dan memutuskan akan mengusulkan calon kepala Polri yang baru kepada DPR RI yakni Komisaris Jenderal Badrodin Haiti yang kini menjabat wakil kepala Polri. Telah sekian lama Presiden Jokowi terkesan ragu-ragu menggunakan hak prerogatifnya dalam penunjukan kepala Polri.
Terlalu banyak perhitungan politis dapat mengakibatkan pamor dan wibawa Presiden Jokowi merosot tajam. Keputusan Presiden Jokowi yang ditunggu- tunggu oleh rakyat akhirnya datang juga. Bahwasanya, hak prerogatif presiden ada di dalam tangan Presiden Jokowi sendiri. Keputusan yang dihasilkan dari hak prerogatif tersebut tidak bergantung pada putusan praperadilan.
Seharusnya yang perlu dipikirkan adalah apa yang terbaik untuk memilih pembantu Presiden agar pemerintah dapat bekerja dengan efektif dan efisien. Apa pun itu, semua harus selaras dengan ”Nawacita” dan ”Revolusi Mental” yang dikumandangkannya saat kampanye pemilu dulu. Jika tidak, itu hanya janji kosong yang tidak bermakna. Harapan rakyat sangat tinggi terhadap Presiden Jokowi dan tentu akan kecewa jika ”Nawacita” dan ”Revolusi Mental” tersebut akhirnya tidak tercapai.
Presiden Jokowi tidak boleh ragu dan takut mengambil keputusan kalau itu demi kepentingan rakyat. Jangan sampai, dukungan rakyat antiklimaks terhadap Jokowi merosot lebih lanjut karenanya. Kelambanan mengambil keputusan bukanlah kesabaran, ketakutan membuat terobosan bukanlah kehati- hatian. Seorang pemimpin haruslah berani mengambil keputusan.
Ketua Umum Peradin dan Dosen Fakultas Hukum UPH
Ketika perang Irak II pecah pada 2003, Inggris Raya menyatakan ikut serta dalam pasukan koalisi di bawah pimpinan Amerika Serikat.
Protes berdatangan terhadap Perdana Menteri Tonny Blair baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pemerintah Perancis dan Jerman menolak bergabung dengan pasukan koalisi dengan alasan bahwa perang bukanlah jawaban untuk menyelesaikan ketegangan dan perimbangan kekuatan di Timur Tengah. Dialog adalah jalan terbaik mengurangi ketegangan dan pertimbangan kekuatan di Timur Tengah.
Dalam tayangan televisi setempat, Tonny Blair bertemu sejumlah mahasiswa dari berbagai universitas di Inggris yang menanyakan apa alasanInggrisbergabung dengan pasukan koalisi dan terjun ke dalam perang Irak. Dengan tangkas Tonny Blair berkilah bahwa salah atau benar keputusannya untuk ikut perang Irak akan ditentukan oleh sejarah di kemudian hari karena sebagai pemimpin eksekutif tertinggi Britania Raya, dia harus mengambil keputusan secepatnya apakah ikut atau tidak ikut dalam perang Irak.
Sebagai seorang pemimpin dengan gayanya kepemimpinannya yang khas, dia menjelaskan kepada kurang lebih 20 mahasiswa bahwa dia harus memutuskan dan tidak bisa tinggal diam. Dia menolak tuduhan banyak pihak bahwa dirinya sebagai ”pudel” (poodle) dari Presiden Amerika Serikat George W Bush. Keputusan untuk ikut dalam perang Irak dia pertanggungjawabkan kepada rakyat setelahnya.
Sejarah menilai apakah keputusannya benar atau tidak. Salah satu dari sekian alasan yang melatarbelakangi keputusannya adalah ada senjata pemusnah (weapon of mass destruction )yang dimiliki Irak yang tentu akan membahayakan dunia, khususnya di Timur Tengah. Kemudian kecurigaan ini salah karena Irak tidak memiliki senjata pemusnah yang dituduhkan Presiden Amerika Serikat George W Bush saat itu.
Dalam kesempatan lain, sebelumnya Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher berada dalam masa transisi berakhirnya hak Inggris menempati Hong Kong pada 1997 dan akan diserahkan kembali kepada RRC. Rakyat Hong Kong tentu saja resah karena sistem pemerintahan demokrasi yang dianut Hong Kong selama ini akan berubah menjadi sistem komunis.
Tetapi, Thatcherdengantangkas menjawab pertanyaan mahasiswa Hong Kong yang ditayangkan di stasiun televisi setempat bahwa dirinya menjamin bahwa Hong Kong di bawah RRC akan tetap mempertahankan sistem pemerintahan demokrasi. Dia menjamin bahwa Hong Kong akan menjadi ”safe haven for democracy”. Ini menjadi kenyataan dan janjinya dipenuhi. Dapat terlihat dari dua petikan cerita tadi bahwa dua perdana menteri merupakan pemimpin yang ”decisive”, berani mengambil keputusan saat krisis tanpa ragu dan tidak diombang- ambingkan keadaan di sekitarnya.
Ini bisa terjadi karena karier politik mereka dimulai dari bawah sebagai anggota dan pengurus partai buruh dan partai konservatif kemudian menjadi anggota parlemen (House Of Lord dan House Of Common). Mereka teruji dan memiliki kepemimpinan yang tegas serta berani mengambil keputusan. Contoh dramatis lain adalah ketika Rusia membangun markas persenjataan peluru kendali di Kuba permulaan tahun 1960- an, tepatnya di the Bay of Pig. Markas persenjataan peluru kendali tersebut rupanya mengarah ke daratan Amerika Serikat.
Dengan tegas Presiden John F Kennedy mengancam akan mendeklarasikan perang kepada Rusia dan Kuba jika markas tersebut tidak segera dibongkar. Setelah melalui diplomasi berulang yang memakan waktu lama serta perdebatan yang cukup sengit di PBB, akhirnya Rusia membongkar markas persenjataan peluru kendali di the Bay of Pig tersebut. Peristiwa ini kemenanganbesarAmerikaSerikat dibawahkepemimpinan Presiden John F Kennedy saat itu.
Pidato Presiden John F Kennedy yang terkenal adalah ketika dia mengucapkan: ”And so, my fellow Americans: ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your country. My fellow citizens of the world: ask not what America can do for you, but what together we can do for the freedom of man”. Dalam mengambil sebuah tindakan krusial, harus dipikirkan apa yang terbaik untuk bangsa dan negara.
Segera setelah pidato mengesankan itu, beribu-ribu pemuda- pemudi Amerika Serikat bergabung dalam ”Peace Corps” yang membantu pengembangan olahraga, budaya, musik, kesenian, dan lain-lain di negaranegara berkembang.
Kejutan Awal Tahun
Saat ini Indonesia memerlukan pemimpin berkarisma dan berkarakter kuat untuk memecahkan berbagai krisis dan persoalan bangsa yang besar ini. Dalam konteks perseteruan KPK vs Polri, Presiden Jokowi harus memutuskan apa yang terbaik bagi bangsa Indonesia dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti konstitusi, hukum, moral, sosiologis, dan psikologis.
Berdasarkan konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan pada Rabu, 18 Februari 2015, Presiden Jokowi pada akhirnya membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri dan memutuskan akan mengusulkan calon kepala Polri yang baru kepada DPR RI yakni Komisaris Jenderal Badrodin Haiti yang kini menjabat wakil kepala Polri. Telah sekian lama Presiden Jokowi terkesan ragu-ragu menggunakan hak prerogatifnya dalam penunjukan kepala Polri.
Terlalu banyak perhitungan politis dapat mengakibatkan pamor dan wibawa Presiden Jokowi merosot tajam. Keputusan Presiden Jokowi yang ditunggu- tunggu oleh rakyat akhirnya datang juga. Bahwasanya, hak prerogatif presiden ada di dalam tangan Presiden Jokowi sendiri. Keputusan yang dihasilkan dari hak prerogatif tersebut tidak bergantung pada putusan praperadilan.
Seharusnya yang perlu dipikirkan adalah apa yang terbaik untuk memilih pembantu Presiden agar pemerintah dapat bekerja dengan efektif dan efisien. Apa pun itu, semua harus selaras dengan ”Nawacita” dan ”Revolusi Mental” yang dikumandangkannya saat kampanye pemilu dulu. Jika tidak, itu hanya janji kosong yang tidak bermakna. Harapan rakyat sangat tinggi terhadap Presiden Jokowi dan tentu akan kecewa jika ”Nawacita” dan ”Revolusi Mental” tersebut akhirnya tidak tercapai.
Presiden Jokowi tidak boleh ragu dan takut mengambil keputusan kalau itu demi kepentingan rakyat. Jangan sampai, dukungan rakyat antiklimaks terhadap Jokowi merosot lebih lanjut karenanya. Kelambanan mengambil keputusan bukanlah kesabaran, ketakutan membuat terobosan bukanlah kehati- hatian. Seorang pemimpin haruslah berani mengambil keputusan.
(ars)