Hakim Sarpin Selamatkan KPK
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah undang-undang khusus pembentukan lembaga negara di luar lembagalembaga negara yang telah dicantumkan dalam UUD 1945.
Pembentukan KPK dilatarbelakangi oleh lahirnya TAP MPRS Nomor XI/1998 yang menuntut penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Pada masa itu ada kebutuhan mendesak untuk melengkapi reformasi di bidang ekonomi, politik, dan di bidang HAM. UU KPK 2002 telah memuat rambu-rambu hukum pembatas kewenangan pimpinan dan pegawai KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
KPK diposisikan sebagai lembaga adhoc yang memiliki tugas dan wewenang yang luar biasa (extra-ordinary) karena korupsi telah diakui di Indonesia sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Rambu-rambu hukum pembatas dalam UU KPK bertujuan agar KPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya tidak melakukan penyalahgunaan wewenang. Ada beberapa rambu pembatas bagi KPK.
Pertama, KPK merupakan lembaga negara independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Kedua, KPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya berdasarkan lima asas: kepastian hukum yang harus diartikan bukan hanya menaati peraturan perundang-undangan, akan tetapi juga kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenangnya; asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan umum, dan asas proporsionalitas dan harus dapat memahami penjelasannya.
Ketiga, pimpinan KPK yaitu lima orang, satu ketua merangkap anggota dan empat wakil ketua merangkap anggota; harus bekerjasecara kolektif; dalammengambil keputusan yaitu harus disepakati bersama dan disetujui bersama. Keempat, ada beberapa larangan terhadap pimpinan KPK dan pegawai KPK, yaitu dilarang langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara tindak pidana korupsi dengan alasan apa pun.
Mereka juga dilarang menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota KPK.
Juga ada larangan menjabat sebagai komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas, atau pengurus koperasi dan jabatan profesi lain atau kegiatan lain yang berhubungan dengan jabatan tersebut. Kelima, KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3. Selain larangan-larangan tersebut UU KPK juga memandatkan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi pimpinan KPK, antara lain menegakkan sumpah jabatan.
*** Merujuk pada sejumlah larangan dan kewajiban sebagaimana disebut di dalam UU KPK, tentu tidaklah mudah menjalankan tugas dan wewenang sebagai pimpinan dan pegawai KPK. Apalagi sanksi melanggar larangan atau kewajiban tersebut adalah pemberhentian sementara jika ditetapkan sebagai tersangka, dan jika terbukti melanggar ketentuan mengenai larangan diancam pidana paling lama lima tahun dan diperberat dengan sepertiga dari ancaman pidana pokok.
Rambu-rambu yang sering luput dari perhatian pimpinan KPK pada umumnya dan juga masyarakat adalah status penyelidik, penyidik, dan penuntut pada KPK. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (3) dihubungkandenganPasal43sampaiPasal 52 UU KPK, maka penyelidik, penyidik, dan penuntut tetap harus didasarkan UU KUHAP Tahun 1981 sebagai payung hukumnya.
Kekecualian yang dibolehkan berdasarkan UU KPK (Pasal 39 ) adalah terbatas hanya pada kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan saja serta kewenangan memerintah terhadap penyelidik, penyidik, dan penuntut hanya pada pimpinanKPK, bukanlagi atasanmereka di instansi asalnya. Penyidik dan penuntut pada KPK adalah mereka yang harus telah diberhentikan sementara dari instansi asalnya, kemudian diangkat oleh pimpinan KPK.
Jika pimpinan KPK hendak mengangkat penyidik sendiri pada KPK maka mereka yang diangkat harus seorang PNS yang telah memiliki sertifikat lulus sebagai penyidik dari Mabes Polri yang disahkan oleh Dirjen Administrasi Hukum Umum atas nama Menteri Hukum dan HAM. Jika syarat-syarat penyidik dan atau penuntut harus seorang jaksa tidak dipenuhi oleh pimpinan KPK, seluruh hasil kinerja yang telah dilakukan oleh ”penyidik” atau ”penuntut” adalah batal demi hukum sehingga hasil penyidikan dan pembuatan surat dakwaan menjadi tidak mengikat lagi.
*** Dalam konteks uraian di atas, maka putusan hakim Sarpin dalam pertimbangannya tidak mempertimbangkan semua uraian ketentuan normatif yangtelah diuraikan di atas. Hakim Sarpin hanya fokus pada tugas dan wewenang KPK (Pasal 6 huruf c) dihubungkan dengan ketentuan mengenai subjek hukum dan objek hukum yang merupakan kewenangan KPK (Pasal 11).
Sidang praperadilan perkara BG menguji apakah KPK berwenang melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap BG, seorang anggota Polri dan pejabat Polri dengan pangkat/jabatan eselon II berdasarkan keputusan presiden, dan apakah perkara BG terkait nilai kerugian negara sebesar di atas Rp1 miliar, dan apakah perkara BG adalah perkara korupsi yang telah menarik perhatian masyarakat.
Kuasa hukum KPK dalam sidang praperadilan tidak dapat menunjukkan (bukan membuktikan) bahwa dengan alatalat bukti yang telah diperoleh, KPK berwenang memeriksa subjek hukum dan objek hukum sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 11 UU KPK.
Hakim Sarpin tidak mempertimbangkan tentang status hukum penyidik KPK dan tentang asas kolektif pimpinan KPK. Seandainya hakim Sarpin berperilaku sama agresifnya dengan pimpinan KPK Jilid III dan menempatkan status penyidik KPK yang memeriksa perkara BG serta tentang asas kolektif pimpinan KPK dalam pertimbangan putusannya maka dapat dibayangkan semua hasil kerja KPK Jilid III yang telah bertentangan dengan ketentuan tersebut menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Alhasil KPK akan kebanjiran gugatan TUN dan perdata melebihi gugatan praperadilan yang kini tengah dihadapi bukan saja oleh KPK, melainkan juga oleh penyidik Polri dan kejaksaan. Berdasarkan uraian di atas, saya berkesimpulan bahwa hakim Sarpin telah menyelamatkan KPK!
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah undang-undang khusus pembentukan lembaga negara di luar lembagalembaga negara yang telah dicantumkan dalam UUD 1945.
Pembentukan KPK dilatarbelakangi oleh lahirnya TAP MPRS Nomor XI/1998 yang menuntut penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Pada masa itu ada kebutuhan mendesak untuk melengkapi reformasi di bidang ekonomi, politik, dan di bidang HAM. UU KPK 2002 telah memuat rambu-rambu hukum pembatas kewenangan pimpinan dan pegawai KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
KPK diposisikan sebagai lembaga adhoc yang memiliki tugas dan wewenang yang luar biasa (extra-ordinary) karena korupsi telah diakui di Indonesia sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Rambu-rambu hukum pembatas dalam UU KPK bertujuan agar KPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya tidak melakukan penyalahgunaan wewenang. Ada beberapa rambu pembatas bagi KPK.
Pertama, KPK merupakan lembaga negara independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Kedua, KPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya berdasarkan lima asas: kepastian hukum yang harus diartikan bukan hanya menaati peraturan perundang-undangan, akan tetapi juga kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenangnya; asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan umum, dan asas proporsionalitas dan harus dapat memahami penjelasannya.
Ketiga, pimpinan KPK yaitu lima orang, satu ketua merangkap anggota dan empat wakil ketua merangkap anggota; harus bekerjasecara kolektif; dalammengambil keputusan yaitu harus disepakati bersama dan disetujui bersama. Keempat, ada beberapa larangan terhadap pimpinan KPK dan pegawai KPK, yaitu dilarang langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara tindak pidana korupsi dengan alasan apa pun.
Mereka juga dilarang menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota KPK.
Juga ada larangan menjabat sebagai komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas, atau pengurus koperasi dan jabatan profesi lain atau kegiatan lain yang berhubungan dengan jabatan tersebut. Kelima, KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3. Selain larangan-larangan tersebut UU KPK juga memandatkan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi pimpinan KPK, antara lain menegakkan sumpah jabatan.
*** Merujuk pada sejumlah larangan dan kewajiban sebagaimana disebut di dalam UU KPK, tentu tidaklah mudah menjalankan tugas dan wewenang sebagai pimpinan dan pegawai KPK. Apalagi sanksi melanggar larangan atau kewajiban tersebut adalah pemberhentian sementara jika ditetapkan sebagai tersangka, dan jika terbukti melanggar ketentuan mengenai larangan diancam pidana paling lama lima tahun dan diperberat dengan sepertiga dari ancaman pidana pokok.
Rambu-rambu yang sering luput dari perhatian pimpinan KPK pada umumnya dan juga masyarakat adalah status penyelidik, penyidik, dan penuntut pada KPK. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (3) dihubungkandenganPasal43sampaiPasal 52 UU KPK, maka penyelidik, penyidik, dan penuntut tetap harus didasarkan UU KUHAP Tahun 1981 sebagai payung hukumnya.
Kekecualian yang dibolehkan berdasarkan UU KPK (Pasal 39 ) adalah terbatas hanya pada kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan saja serta kewenangan memerintah terhadap penyelidik, penyidik, dan penuntut hanya pada pimpinanKPK, bukanlagi atasanmereka di instansi asalnya. Penyidik dan penuntut pada KPK adalah mereka yang harus telah diberhentikan sementara dari instansi asalnya, kemudian diangkat oleh pimpinan KPK.
Jika pimpinan KPK hendak mengangkat penyidik sendiri pada KPK maka mereka yang diangkat harus seorang PNS yang telah memiliki sertifikat lulus sebagai penyidik dari Mabes Polri yang disahkan oleh Dirjen Administrasi Hukum Umum atas nama Menteri Hukum dan HAM. Jika syarat-syarat penyidik dan atau penuntut harus seorang jaksa tidak dipenuhi oleh pimpinan KPK, seluruh hasil kinerja yang telah dilakukan oleh ”penyidik” atau ”penuntut” adalah batal demi hukum sehingga hasil penyidikan dan pembuatan surat dakwaan menjadi tidak mengikat lagi.
*** Dalam konteks uraian di atas, maka putusan hakim Sarpin dalam pertimbangannya tidak mempertimbangkan semua uraian ketentuan normatif yangtelah diuraikan di atas. Hakim Sarpin hanya fokus pada tugas dan wewenang KPK (Pasal 6 huruf c) dihubungkan dengan ketentuan mengenai subjek hukum dan objek hukum yang merupakan kewenangan KPK (Pasal 11).
Sidang praperadilan perkara BG menguji apakah KPK berwenang melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap BG, seorang anggota Polri dan pejabat Polri dengan pangkat/jabatan eselon II berdasarkan keputusan presiden, dan apakah perkara BG terkait nilai kerugian negara sebesar di atas Rp1 miliar, dan apakah perkara BG adalah perkara korupsi yang telah menarik perhatian masyarakat.
Kuasa hukum KPK dalam sidang praperadilan tidak dapat menunjukkan (bukan membuktikan) bahwa dengan alatalat bukti yang telah diperoleh, KPK berwenang memeriksa subjek hukum dan objek hukum sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 11 UU KPK.
Hakim Sarpin tidak mempertimbangkan tentang status hukum penyidik KPK dan tentang asas kolektif pimpinan KPK. Seandainya hakim Sarpin berperilaku sama agresifnya dengan pimpinan KPK Jilid III dan menempatkan status penyidik KPK yang memeriksa perkara BG serta tentang asas kolektif pimpinan KPK dalam pertimbangan putusannya maka dapat dibayangkan semua hasil kerja KPK Jilid III yang telah bertentangan dengan ketentuan tersebut menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Alhasil KPK akan kebanjiran gugatan TUN dan perdata melebihi gugatan praperadilan yang kini tengah dihadapi bukan saja oleh KPK, melainkan juga oleh penyidik Polri dan kejaksaan. Berdasarkan uraian di atas, saya berkesimpulan bahwa hakim Sarpin telah menyelamatkan KPK!
(ars)