Korupsi yang harus Kalah
A
A
A
Sungguh mengagetkan ketika Plt Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)Taufiequrachman Ruki menyatakan,lembaganya kalah dalam penanganan kasus Komjen Pol Budi Gunawan(BG).
Konsekuensi kekalahaan ini membuat kasus BG dilimpahkan kepihak Kejaksaan Agung (Kejagung)untuk kembali melakukan penyelidikan danpenyidikan. Sepertinya baru kali ini KPK mengaku kalah dalam menangani kasus dugaan tindak pidana korupsi. Sejak lembaga antikorupsi ini didirikan, belum pernah ada kasus yang gagal selain KPK memang tidak mengenal istilah penghentian penyidikan.
Nada sumbang pun mengumandang baik dari para aktivis antikorupsi dan para tokoh bangsa.Intinya,mereka menyanyangkan pada akhirnya kasus yangmemicukonflik antara KPK dan Polri ini, tidak lagi ditangani KPK.Menariknya,dan mungkin baru pertama kali dalam sejarah berdirinya KPK,kalangan internal yaitu para karyawan KPK juga melakukan protes danmeminta penjelasan kepada Ruki, kenapa kasus BG dilimpahkan ke Kejagung.
Sesuatu yang bukan lazim ketika seoarng ketua kurang mendapat dukungan dari internal. Kondisi ini menjadi tamparan bagi Ruki.Bukan hanya mendapat “serangan”dari luar namun juga mendapat tantangan dari internal. Langkah menjelaskan kepada pihak eksternal dan internal memang sudah dilakukan, namun apakah cara tersebut mampu meredam keresahan semua pihak tentang kekalahan KPK ? Tentu belum.Karena masyarakat sudah mem-framing dalam pikiran mereka bahwa ketika KPK kalah, apakah ini berarti korupsi yang menang?
Munculnya pertanyaan ini,karena memang selama ini KPK yang menjadi andalan untuk melakukan pemberantasan korupsi. Di sisi lain, masyarakat belum terlalu percaya dengan kinerja Polri dan Kejagung dalam menanganikasus-kasuskorupsi. Danini menunjukkan bahwa keputusan Presiden JokoWidodo (Jokowi) dalam menyelesaikan polemik KPK-Polri ternyata belum tuntas. Tampaknya solusi yang diberikan masih bersifat parsial sehingga belum menyentuh pada akar persoalan.
Apakah mungkin dengan tidak mencampuri hukum di ketiga lembaga tersebut membuat Presiden Jokowi tidak bisa memberikan solusi yang tuntas? Jika memang itu yang menjadi alasan tampaknya harus banyak yang dikorbankan karena masyarakat berharap,KPK lah yang menang dan korupsi yang kalah. Nah, Presiden Jokowi harus memberikan solusi bagaimana KPK bisa menang dan korupsi bisa kalah.
Jika memang harus melakukan intervensi hukum namun demi ketenganan di masyarakat kenapa tidak dilakukan. Tentu Presiden tidak bisa terlalu kaku dalam meyelesaikan sebuah persoalan, terutama persoalan yang menjadi perhatian masyarakat luas. Perlu ada terobosan-terobosan dari Presiden Jokowi agar persoalan ini bisa selesaidengan tuntas. Sekali lagi, jika memang harus melakukan intervensi hukum, kenapa Presiden Jokowi tak mau melakukan.
Toh, hasilnya pun untuk masyarakat dan yang penting korupsi bisa dikalahkan. Pada akhirnya KPK harus menang dan korupsi harus kalah.Para pimpinan KPK tidak hanya dengan mempunyai komitmen ini namun juga mewujudkan dalam tindakan dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang saat ini telahmenjadi penyakit akut di negeri ini.Para pimpinan KPK tidak perlu khawatir dengan tekanan pihak-pihak yang melanggengkan korupsi,karena KPK mendapa tdukungan dari rakyat.
Jika memang fokus KPK hanya pada kepentingan pemberantasan korupsi,maka komitmen KPK harus menang dan korupsi harus kalah, bisa diwujudkan. Sedangkan Presiden Jokowi yang semasa menjadiwali kota dan gubernur dikenal dengan pejabat antikorupsi harus membuktikan bahwa dia adalah sosok yang antikorupsi.Tentu harus ada terobosan keputusan dari Presiden Jokowi jika memang ingin disebut tokoh antikorupsi. Jangan justru, saat negeri ini dipimpin oleh Presiden Jokowi,upaya pemberantasan korupsi pada titik terendah dan para koruptor bisa menari-nari.
Masyarakat menunggu keputusan Presiden Jokowi yang lebih konkret.Karena jika tidak PresidenJokowi bisa dituduh lebih suka melihat KPK kalah,korupsi menang.
Konsekuensi kekalahaan ini membuat kasus BG dilimpahkan kepihak Kejaksaan Agung (Kejagung)untuk kembali melakukan penyelidikan danpenyidikan. Sepertinya baru kali ini KPK mengaku kalah dalam menangani kasus dugaan tindak pidana korupsi. Sejak lembaga antikorupsi ini didirikan, belum pernah ada kasus yang gagal selain KPK memang tidak mengenal istilah penghentian penyidikan.
Nada sumbang pun mengumandang baik dari para aktivis antikorupsi dan para tokoh bangsa.Intinya,mereka menyanyangkan pada akhirnya kasus yangmemicukonflik antara KPK dan Polri ini, tidak lagi ditangani KPK.Menariknya,dan mungkin baru pertama kali dalam sejarah berdirinya KPK,kalangan internal yaitu para karyawan KPK juga melakukan protes danmeminta penjelasan kepada Ruki, kenapa kasus BG dilimpahkan ke Kejagung.
Sesuatu yang bukan lazim ketika seoarng ketua kurang mendapat dukungan dari internal. Kondisi ini menjadi tamparan bagi Ruki.Bukan hanya mendapat “serangan”dari luar namun juga mendapat tantangan dari internal. Langkah menjelaskan kepada pihak eksternal dan internal memang sudah dilakukan, namun apakah cara tersebut mampu meredam keresahan semua pihak tentang kekalahan KPK ? Tentu belum.Karena masyarakat sudah mem-framing dalam pikiran mereka bahwa ketika KPK kalah, apakah ini berarti korupsi yang menang?
Munculnya pertanyaan ini,karena memang selama ini KPK yang menjadi andalan untuk melakukan pemberantasan korupsi. Di sisi lain, masyarakat belum terlalu percaya dengan kinerja Polri dan Kejagung dalam menanganikasus-kasuskorupsi. Danini menunjukkan bahwa keputusan Presiden JokoWidodo (Jokowi) dalam menyelesaikan polemik KPK-Polri ternyata belum tuntas. Tampaknya solusi yang diberikan masih bersifat parsial sehingga belum menyentuh pada akar persoalan.
Apakah mungkin dengan tidak mencampuri hukum di ketiga lembaga tersebut membuat Presiden Jokowi tidak bisa memberikan solusi yang tuntas? Jika memang itu yang menjadi alasan tampaknya harus banyak yang dikorbankan karena masyarakat berharap,KPK lah yang menang dan korupsi yang kalah. Nah, Presiden Jokowi harus memberikan solusi bagaimana KPK bisa menang dan korupsi bisa kalah.
Jika memang harus melakukan intervensi hukum namun demi ketenganan di masyarakat kenapa tidak dilakukan. Tentu Presiden tidak bisa terlalu kaku dalam meyelesaikan sebuah persoalan, terutama persoalan yang menjadi perhatian masyarakat luas. Perlu ada terobosan-terobosan dari Presiden Jokowi agar persoalan ini bisa selesaidengan tuntas. Sekali lagi, jika memang harus melakukan intervensi hukum, kenapa Presiden Jokowi tak mau melakukan.
Toh, hasilnya pun untuk masyarakat dan yang penting korupsi bisa dikalahkan. Pada akhirnya KPK harus menang dan korupsi harus kalah.Para pimpinan KPK tidak hanya dengan mempunyai komitmen ini namun juga mewujudkan dalam tindakan dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang saat ini telahmenjadi penyakit akut di negeri ini.Para pimpinan KPK tidak perlu khawatir dengan tekanan pihak-pihak yang melanggengkan korupsi,karena KPK mendapa tdukungan dari rakyat.
Jika memang fokus KPK hanya pada kepentingan pemberantasan korupsi,maka komitmen KPK harus menang dan korupsi harus kalah, bisa diwujudkan. Sedangkan Presiden Jokowi yang semasa menjadiwali kota dan gubernur dikenal dengan pejabat antikorupsi harus membuktikan bahwa dia adalah sosok yang antikorupsi.Tentu harus ada terobosan keputusan dari Presiden Jokowi jika memang ingin disebut tokoh antikorupsi. Jangan justru, saat negeri ini dipimpin oleh Presiden Jokowi,upaya pemberantasan korupsi pada titik terendah dan para koruptor bisa menari-nari.
Masyarakat menunggu keputusan Presiden Jokowi yang lebih konkret.Karena jika tidak PresidenJokowi bisa dituduh lebih suka melihat KPK kalah,korupsi menang.
(ars)