Misteri Mafia Beras
A
A
A
Reformasi telah mengubah peran pemerintah di satu sisi serta peran swasta, warga sipil, dan dunia internasional di sisi lain.
Perubahan terjadi di level politik, tetapi tidak pada sistem ekonomi. Ini ditandai dengan peran negara yang kian ciut, sebaliknya swasta dan kaum kapitalis kian sulit diatur. Hasilnya, kehadiran negara lewat pelbagai lembaga pengemban pelayanan publik kian lumpuh. Hari-hari ini kita menjadi saksi negara yang lumpuh, tecermin dari ketidakberdayaan dalam mengendalikan harga beras.
Mengapa dari tahun ke tahun masalah ini tak pernah berubah? Di manakah kehadiran negara? Konstitusi mengamanatkan agar negara selalu hadir dalam setiap permasalahan warga. Dalam UU Nomor 18/2012 tentang Pangan dan UU Nomor 7/ 2014 tentang Perdagangan diatur kewajiban negara untuk menjadi stabilisator harga pangan.
Bahkan, komitmen ”negara hadir” juga dituangkan dalam Nawacita Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam butir 1 Nawacita ditegaskan: ”Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.... ” Adapun dalam butir 2: ”Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya.... ”
Seperti layang- layang putus, tiga minggu terakhir harga beras lepas tak terkendali. Jika semula kenaikan harga beras hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya, kini menular ke sejumlah daerah. Biasanya, saat musim paceklik terjadi kenaikan harga 10%. Tapi kenaikan kali ini sudah mencapai 30%.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menuding ada mafia beras yang bermain mengeruk keuntungan dari situasi ini. Ini bukan hal baru. Di pemerintahan lalu, tudingan ada mafia beras berulang kali dilemparkan. Namun tak ada satu pun yang bisa membuktikan. Juga tak ada satu pun yang diseret ke meja hijau. Benarkah ada mafia beras?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV, 2013), mafia dimaknai sebagai ”perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal)”. Merujuk pada definisi itu, tidak tepat menyematkan kata ”mafia” pada beras. Lebih tepat kata kartel. Barangkali ini yang dimaksud Menteri Gobel.
Kartel– yang dimaknai sebagai kerja sama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar–secara klasik dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni harga, produksi, dan wilayah pemasaran.
Mudah didefinisikan, tetapi kartel tidaklah mudah dibuktikan. Apalagi sebagian besar praktik kartel dilakukan secara diam-diam. Inilah yang membuat otoritas pengawas sering kali kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih guna menyeret pelaku kartel. Bahkan, sampai sekarang otoritas Komisi Pengawas Persaingan Usaha belum berhasil mengendus pelaku kartel.
Menurut Kadin dan Komite Ekonomi Nasional, nilai kartel pangan tahun 2013 mencapai Rp11,3 triliun. Namun merujuk pada nilai impor pangan tahun 2013 sebesar USD14,3 miliar, nilai kartel kemungkinan 2-3 kali dari perkiraan Kadin dan KEN. Itu terjadi pada beras, kedelai, jagung, gula, susu, daging dan sapi bakalan serta gandum.
Barangkali, tudingan ”mafia beras” yang disampaikan Menteri Gobel sebagai bentuk warning agar pedagang tidak mainmain dengan pemerintah. Menurut Menteri Gobel, kenaikan harga beras saat ini tidak wajar. Kenaikan harga beras di Jakarta dipicu motif bisnis. Para mafia memainkan harga beras agar pemerintah terpaksa membuka keran impor sehingga bisa mengeruk untung besar.
Gobel tentu punya alasan kuat karena bukan mustahil kenaikan harga sengaja dibuat atau kelangkaan semua guna memburu rente. Sebab harga beras Thailand dan Vietnam setara beras medium di pasar dunia hanya Rp4.000/ kg. Jika dijual di dalam negeri Rp7.400/kg, untungnya luar biasa. Gobel juga mencium kejanggalan dalam sistem distribusi beras di Jakarta.
Sejak Desembe r 2014 hingga Januari 2015, Bulog menggelar operasi pasar 75.000 ton. Beras digelontorkan ke pengelola Pasar Cipinang, PT Food Station, dengan harga gudang Rp6.800. Seharusnya pedagang menjual kepada konsumen Rp7.400/kg. Namun nyatanya tidak ada pedagang yang menjual beras sebesar itu. Padahal dengan menjual Rp7.400/kg, pedagang sudah untung besar.
Gobel menduga ada yang menimbun. Di sisi lain, menurut pedagang, kenaikan harga yang anomali saat ini sesuatu yang wajar. Ini terjadi lantaran suplai menyusut karena musim paceklik masih berlangsung. Jika iklim dan cuaca normal, Februari mestinya mulai panen raya. Namun, karena hujan datang terlambat 1-1,5 bulan, panen raya baru mulai akhir Maret.
Indikatornya bisa dideteksi dari jumlah beras yang masuk ke Pasar Beras Induk Cipinang. Dalam keadaan normal, beras yang masuk berjumlah 3.000 ton, saat ini menyusut 50% (1.500 ton). Karena itu, tidak benar kelangkaan akibat ulah mafia beras, tapi karena pasokan menipis. Apa pun penyebabnya, tidak pada tempatnya terus berwacana.
Negara harus hadir untuk menstabilkan komoditas super penting itu. Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama , jika jatah beras untuk warga miskin (raskin) bulan Februari belum dibagikan, pemerintah mesti segera membagikannya. Bila harga beras di pasaran masih ada tren naik, pemerintah harus memperbesar volume raskin. Jatah raskin bulan-bulan berikutnya bisa dibagikan pada Februari ini.
Musim paceklik merupakan saat tepat membagikan raskin. Jatah raskin 15 kg per keluarga pada 15,5 juta keluarga akan mengurangi perburuan warga terhadap beras. Berkurangnya perburuan beras akan menekan ekskalasi kenaikan harga. Kedua, mengefektifkan operasi pasar. Caranya ada dua: menggandeng pedagang dan menjual langsung di lokasi-lokasi sasaran.
Pedagang perlu digandeng agar pasokan beras di pasar tetap terjaga. Agar tidak dioplos dan dijual sesuai ketentuan, pedagang perlu diikat dengan perjanjian dan diawasi ketat. Selain itu, Bulog bisa menggelar operasi pasar langsung di kantong-kantong kemiskinan seperti pabrik dan permukiman kumuh.
Dengan harga yang menarik bisa dipastikan operasi pasar akan menarik mereka untuk membeli. Agar tidak jadi misteri, pemerintah dan aparat harus bekerja sama menyeret mafia atau kartel beras ke meja hijau. UU Nomor 7/2014 tentang Perdagangan memberikan wewenang penuh kepada pemerintah untuk menindak perilaku culas seperti manipulasi informasi dan penimbunan persediaan bahan pokok (Pasal 30 dan Pasal 29 ayat 1).
Bahkan menghukum perilaku itu dengan pidana berat: penjara 5 tahun atau denda Rp50 miliar bagi penimbun dan penjara 4 tahun atau denda Rp10 miliar bagi pelaku manipulasi data dan informasi persediaan bahan kebutuhan pokok.
Pada UU Nomor 18/2012 tentang Pangan, sanksinya lebih keras: penimbun bisa dipidana penjara 7 tahun atau denda Rp100 miliar (Pasal 133). Kalau mereka bisa diseret ke meja hijau, mafia beras tak lagi misteri.
Khudori
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Peminat Masalah Sosial- Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
Perubahan terjadi di level politik, tetapi tidak pada sistem ekonomi. Ini ditandai dengan peran negara yang kian ciut, sebaliknya swasta dan kaum kapitalis kian sulit diatur. Hasilnya, kehadiran negara lewat pelbagai lembaga pengemban pelayanan publik kian lumpuh. Hari-hari ini kita menjadi saksi negara yang lumpuh, tecermin dari ketidakberdayaan dalam mengendalikan harga beras.
Mengapa dari tahun ke tahun masalah ini tak pernah berubah? Di manakah kehadiran negara? Konstitusi mengamanatkan agar negara selalu hadir dalam setiap permasalahan warga. Dalam UU Nomor 18/2012 tentang Pangan dan UU Nomor 7/ 2014 tentang Perdagangan diatur kewajiban negara untuk menjadi stabilisator harga pangan.
Bahkan, komitmen ”negara hadir” juga dituangkan dalam Nawacita Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam butir 1 Nawacita ditegaskan: ”Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.... ” Adapun dalam butir 2: ”Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya.... ”
Seperti layang- layang putus, tiga minggu terakhir harga beras lepas tak terkendali. Jika semula kenaikan harga beras hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya, kini menular ke sejumlah daerah. Biasanya, saat musim paceklik terjadi kenaikan harga 10%. Tapi kenaikan kali ini sudah mencapai 30%.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menuding ada mafia beras yang bermain mengeruk keuntungan dari situasi ini. Ini bukan hal baru. Di pemerintahan lalu, tudingan ada mafia beras berulang kali dilemparkan. Namun tak ada satu pun yang bisa membuktikan. Juga tak ada satu pun yang diseret ke meja hijau. Benarkah ada mafia beras?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV, 2013), mafia dimaknai sebagai ”perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal)”. Merujuk pada definisi itu, tidak tepat menyematkan kata ”mafia” pada beras. Lebih tepat kata kartel. Barangkali ini yang dimaksud Menteri Gobel.
Kartel– yang dimaknai sebagai kerja sama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar–secara klasik dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni harga, produksi, dan wilayah pemasaran.
Mudah didefinisikan, tetapi kartel tidaklah mudah dibuktikan. Apalagi sebagian besar praktik kartel dilakukan secara diam-diam. Inilah yang membuat otoritas pengawas sering kali kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih guna menyeret pelaku kartel. Bahkan, sampai sekarang otoritas Komisi Pengawas Persaingan Usaha belum berhasil mengendus pelaku kartel.
Menurut Kadin dan Komite Ekonomi Nasional, nilai kartel pangan tahun 2013 mencapai Rp11,3 triliun. Namun merujuk pada nilai impor pangan tahun 2013 sebesar USD14,3 miliar, nilai kartel kemungkinan 2-3 kali dari perkiraan Kadin dan KEN. Itu terjadi pada beras, kedelai, jagung, gula, susu, daging dan sapi bakalan serta gandum.
Barangkali, tudingan ”mafia beras” yang disampaikan Menteri Gobel sebagai bentuk warning agar pedagang tidak mainmain dengan pemerintah. Menurut Menteri Gobel, kenaikan harga beras saat ini tidak wajar. Kenaikan harga beras di Jakarta dipicu motif bisnis. Para mafia memainkan harga beras agar pemerintah terpaksa membuka keran impor sehingga bisa mengeruk untung besar.
Gobel tentu punya alasan kuat karena bukan mustahil kenaikan harga sengaja dibuat atau kelangkaan semua guna memburu rente. Sebab harga beras Thailand dan Vietnam setara beras medium di pasar dunia hanya Rp4.000/ kg. Jika dijual di dalam negeri Rp7.400/kg, untungnya luar biasa. Gobel juga mencium kejanggalan dalam sistem distribusi beras di Jakarta.
Sejak Desembe r 2014 hingga Januari 2015, Bulog menggelar operasi pasar 75.000 ton. Beras digelontorkan ke pengelola Pasar Cipinang, PT Food Station, dengan harga gudang Rp6.800. Seharusnya pedagang menjual kepada konsumen Rp7.400/kg. Namun nyatanya tidak ada pedagang yang menjual beras sebesar itu. Padahal dengan menjual Rp7.400/kg, pedagang sudah untung besar.
Gobel menduga ada yang menimbun. Di sisi lain, menurut pedagang, kenaikan harga yang anomali saat ini sesuatu yang wajar. Ini terjadi lantaran suplai menyusut karena musim paceklik masih berlangsung. Jika iklim dan cuaca normal, Februari mestinya mulai panen raya. Namun, karena hujan datang terlambat 1-1,5 bulan, panen raya baru mulai akhir Maret.
Indikatornya bisa dideteksi dari jumlah beras yang masuk ke Pasar Beras Induk Cipinang. Dalam keadaan normal, beras yang masuk berjumlah 3.000 ton, saat ini menyusut 50% (1.500 ton). Karena itu, tidak benar kelangkaan akibat ulah mafia beras, tapi karena pasokan menipis. Apa pun penyebabnya, tidak pada tempatnya terus berwacana.
Negara harus hadir untuk menstabilkan komoditas super penting itu. Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama , jika jatah beras untuk warga miskin (raskin) bulan Februari belum dibagikan, pemerintah mesti segera membagikannya. Bila harga beras di pasaran masih ada tren naik, pemerintah harus memperbesar volume raskin. Jatah raskin bulan-bulan berikutnya bisa dibagikan pada Februari ini.
Musim paceklik merupakan saat tepat membagikan raskin. Jatah raskin 15 kg per keluarga pada 15,5 juta keluarga akan mengurangi perburuan warga terhadap beras. Berkurangnya perburuan beras akan menekan ekskalasi kenaikan harga. Kedua, mengefektifkan operasi pasar. Caranya ada dua: menggandeng pedagang dan menjual langsung di lokasi-lokasi sasaran.
Pedagang perlu digandeng agar pasokan beras di pasar tetap terjaga. Agar tidak dioplos dan dijual sesuai ketentuan, pedagang perlu diikat dengan perjanjian dan diawasi ketat. Selain itu, Bulog bisa menggelar operasi pasar langsung di kantong-kantong kemiskinan seperti pabrik dan permukiman kumuh.
Dengan harga yang menarik bisa dipastikan operasi pasar akan menarik mereka untuk membeli. Agar tidak jadi misteri, pemerintah dan aparat harus bekerja sama menyeret mafia atau kartel beras ke meja hijau. UU Nomor 7/2014 tentang Perdagangan memberikan wewenang penuh kepada pemerintah untuk menindak perilaku culas seperti manipulasi informasi dan penimbunan persediaan bahan pokok (Pasal 30 dan Pasal 29 ayat 1).
Bahkan menghukum perilaku itu dengan pidana berat: penjara 5 tahun atau denda Rp50 miliar bagi penimbun dan penjara 4 tahun atau denda Rp10 miliar bagi pelaku manipulasi data dan informasi persediaan bahan kebutuhan pokok.
Pada UU Nomor 18/2012 tentang Pangan, sanksinya lebih keras: penimbun bisa dipidana penjara 7 tahun atau denda Rp100 miliar (Pasal 133). Kalau mereka bisa diseret ke meja hijau, mafia beras tak lagi misteri.
Khudori
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Peminat Masalah Sosial- Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
(ftr)