Indonesia sebagai Mining Country
A
A
A
Sejak berlaku larangan ekspor produk mentah hasil tambang dengan berlaku Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), masyarakat baru menyadari ada hal penting dan serius dalam pertambangan di Tanah Air.
UU Minerba seolah membangkitkan kesadaran bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang harus dikelola dengan baik dan menjadi perhatian bersama. Dengan kata lain, UU Minerba membawa hikmah, blessing in disguise, setelah ada larangan ekspor, isu pertambangan mulai menarik perhatian publik dan pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pertambangan.
Sebagai suatu industri, pertambangan sudah lama ada dan dikenal masyarakat. Pertambangan tidak saja menyangkut produk mineral dan batu bara, tetapi juga minyak dan gas (migas). Pertambangan minyak dan gas jauh lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan dengan mineral dan batu bara karena keberadaan Pertamina sebagai perusahaan pertambangan dan eksportir minyak negara.
Minyak pernah membumbung tinggi sehingga membuat Indonesia dikenal di dunia internasional sebagai produsen minyak dunia dan menjadi anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Namun, kemudian keluar dari keanggotaan karena tidak dapat lagi dikategorikan sebagai negara pengekspor minyak setelah menjadi pengimpor minyak (net importer).
Data geologis penelitian lapangan yang dimiliki pemerintah, Direktorat Jenderal Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (SDM) menunjukkan, hampir setiap daerah/provinsi di Indonesia terdapat sumber daya mineral seperti tembaga (copper), emas (gold), nikel, bauksit, dan uranium.
Ini berarti Indonesia memang memiliki kekayaan sumber daya alam (rich in natural resources) seperti yang selama ini diketahui oleh dunia sehingga menjadi kekuatan daya saing ekonomi dan menarik bagi investor asing. Perusahaan-perusahaan tambang kelas dunia seperti Freeport-McMoRan, Newmont Mining, Rio Tinto, Shell, Exxon Mobil, Total Oil, dan Vale yang beroperasi di berbagai belahan dunia juga ada di Indonesia.
Tetapi, meski perusahaan-perusahaan raksasa tersebut beroperasi di Indonesia, tampak Indonesia belum menjadi negara tambang (mining country) yang terdepan dan disegani dalam dunia pertambangan seperti Afrika Selatan, Australia, Chile, dan Peru. Ini dapat mengandung arti bahwa Indonesia memang tidak mau disebut sebagai negara tambang atau Indonesia memang belum memosisikan diri sebagai negara maju dan andal dalam pertambangan.
Dengan kandungan sumber daya alam yang terbukti (proven natural resources) selayaknya Indonesia mulai memosisikan diri menjadi negara tambang yang maju dan diperhitungkan. Ini tidak saja bermanfaat secara ekonomis bagi negara karena mendapatkan penerimaan (revenue) dari pajak dan royalti, tetapi juga akan membuka kesempatan bagi perusahaan dan investor tambang melakukan operasi penambangan di berbagai daerah/ provinsi di Indonesia.
Untuk membangun dan mewujudkan Indonesia sebagai negara tambang, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, membangun brand image (branding) Indonesia sebagai negara tambang yang responsible, sustainable, profitable and prosperous mining. Selama ini terkesan urusan dan isu pertambangan hanya berkaitan dengan masalah administrasi dan perizinan.
Masalah pertambangan hanya berputar sekitar masalah konsesi luas wilayah pertambangan, lama proses perizinan, dan kontrak pertambangan. Paradigma dan konsep pertambangan yang bertanggung jawab, menguntungkan, dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya sepertinya kurang tersentuh dan mendapatkan porsi perhatian yang cukup.
Selain itu, pertambangan juga menyangkut aspek teknologi, suplai peralatan (equipment), manajemen bisnis, dan sumber daya manusia. Dalam peralatan, banyak equipment yang digunakan merupakan produk impor. Jika Indonesia sungguh- sungguh, bukan mustahil banyak peralatan dan sarana kebutuhan pertambangan yang dapat diproduksi oleh insinyur dan tenaga ahli lokal.
Jika peralatan dan sarana tersebut dapat dibuat sendiri, industri pendukung sektor pertambangan akan berkembang dan banyak menyerap tenaga kerja. Selain itu, Indonesia juga dapat mengekspor produk tersebut ke negara lain dan pasar internasional. Jika semua kebutuhan dapat dihasilkan oleh produsen dalam negeri, Indonesia dapat menghemat devisa dan memenuhi sendiri rantai suplai (supply chain) industri.
Kedua, diperlukan ada badan/ unit promosi tambang yang mempromosikan potensi kekayaan sumber daya mineral dan kemampuansumberdaya manusia tambang Indonesia sehingga perusahaan tambang atau investor asing tidak perlu kesulitan atau mencari tenaga ahli tambang dari luar untuk bekerja dan mengoperasikan wilayah pertambangan yang dikonsesikan.
Jika memiliki institusi ini, akan mudah bagi Indonesia untuk mempromosikan dan mengundang investor menanamkan modal di berbagai daerah/ provinsi. Unit promosi ini merupakan institusi tingkat pusat. Keberadaan lembaga ini akan jauh lebih efisien dan memudahkan daripada harus dilakukan oleh daerah.
Sebagai industri dan bisnis, pertambangan harus dikemas dan ditempatkan dalam konsep pemasaran (marketing). Ketiga, strategic plan dan transparansi. Perlu ada rencana strategis pengembangan industri pertambangan sebagai guidance yang bersifat long term policy sehingga pertambangan Indonesia memiliki keunggulan (competitive advantage) dibandingkan negara lain.
Sebagai bagian dari sistem pengelolaan tambang yang terbuka, otoritas pertambangan harus dapat memberikan informasi yang selalu upto date dan transparan sehingga dari waktu ke waktu berbagai pihak dapat mengikuti perkembangan kemajuan dan perubahan yang terjadi. Transparansi sebagai pilar dari good corporate governance harus menjadi elemen utama dalam industri pertambangan.
Sebagai negara yang diberkahi dengan sumber daya alam yang demikian banyak, sudah waktunya Indonesia membangun dan memosisikan diri sebagai negara tambang (mining country) sehingga Indonesia tidak saja menjadi negara yang terdepan dalam pertambangan dan tujuan investasi tambang, tetapi juga mampu menggerakkan industri pendukung dan melahirkan perusahaan tambang yang andal di tingkat nasional dan internasional.
Kusnowibowo
Diplomat, Tinggal di Peru
UU Minerba seolah membangkitkan kesadaran bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang harus dikelola dengan baik dan menjadi perhatian bersama. Dengan kata lain, UU Minerba membawa hikmah, blessing in disguise, setelah ada larangan ekspor, isu pertambangan mulai menarik perhatian publik dan pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pertambangan.
Sebagai suatu industri, pertambangan sudah lama ada dan dikenal masyarakat. Pertambangan tidak saja menyangkut produk mineral dan batu bara, tetapi juga minyak dan gas (migas). Pertambangan minyak dan gas jauh lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan dengan mineral dan batu bara karena keberadaan Pertamina sebagai perusahaan pertambangan dan eksportir minyak negara.
Minyak pernah membumbung tinggi sehingga membuat Indonesia dikenal di dunia internasional sebagai produsen minyak dunia dan menjadi anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Namun, kemudian keluar dari keanggotaan karena tidak dapat lagi dikategorikan sebagai negara pengekspor minyak setelah menjadi pengimpor minyak (net importer).
Data geologis penelitian lapangan yang dimiliki pemerintah, Direktorat Jenderal Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (SDM) menunjukkan, hampir setiap daerah/provinsi di Indonesia terdapat sumber daya mineral seperti tembaga (copper), emas (gold), nikel, bauksit, dan uranium.
Ini berarti Indonesia memang memiliki kekayaan sumber daya alam (rich in natural resources) seperti yang selama ini diketahui oleh dunia sehingga menjadi kekuatan daya saing ekonomi dan menarik bagi investor asing. Perusahaan-perusahaan tambang kelas dunia seperti Freeport-McMoRan, Newmont Mining, Rio Tinto, Shell, Exxon Mobil, Total Oil, dan Vale yang beroperasi di berbagai belahan dunia juga ada di Indonesia.
Tetapi, meski perusahaan-perusahaan raksasa tersebut beroperasi di Indonesia, tampak Indonesia belum menjadi negara tambang (mining country) yang terdepan dan disegani dalam dunia pertambangan seperti Afrika Selatan, Australia, Chile, dan Peru. Ini dapat mengandung arti bahwa Indonesia memang tidak mau disebut sebagai negara tambang atau Indonesia memang belum memosisikan diri sebagai negara maju dan andal dalam pertambangan.
Dengan kandungan sumber daya alam yang terbukti (proven natural resources) selayaknya Indonesia mulai memosisikan diri menjadi negara tambang yang maju dan diperhitungkan. Ini tidak saja bermanfaat secara ekonomis bagi negara karena mendapatkan penerimaan (revenue) dari pajak dan royalti, tetapi juga akan membuka kesempatan bagi perusahaan dan investor tambang melakukan operasi penambangan di berbagai daerah/ provinsi di Indonesia.
Untuk membangun dan mewujudkan Indonesia sebagai negara tambang, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, membangun brand image (branding) Indonesia sebagai negara tambang yang responsible, sustainable, profitable and prosperous mining. Selama ini terkesan urusan dan isu pertambangan hanya berkaitan dengan masalah administrasi dan perizinan.
Masalah pertambangan hanya berputar sekitar masalah konsesi luas wilayah pertambangan, lama proses perizinan, dan kontrak pertambangan. Paradigma dan konsep pertambangan yang bertanggung jawab, menguntungkan, dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya sepertinya kurang tersentuh dan mendapatkan porsi perhatian yang cukup.
Selain itu, pertambangan juga menyangkut aspek teknologi, suplai peralatan (equipment), manajemen bisnis, dan sumber daya manusia. Dalam peralatan, banyak equipment yang digunakan merupakan produk impor. Jika Indonesia sungguh- sungguh, bukan mustahil banyak peralatan dan sarana kebutuhan pertambangan yang dapat diproduksi oleh insinyur dan tenaga ahli lokal.
Jika peralatan dan sarana tersebut dapat dibuat sendiri, industri pendukung sektor pertambangan akan berkembang dan banyak menyerap tenaga kerja. Selain itu, Indonesia juga dapat mengekspor produk tersebut ke negara lain dan pasar internasional. Jika semua kebutuhan dapat dihasilkan oleh produsen dalam negeri, Indonesia dapat menghemat devisa dan memenuhi sendiri rantai suplai (supply chain) industri.
Kedua, diperlukan ada badan/ unit promosi tambang yang mempromosikan potensi kekayaan sumber daya mineral dan kemampuansumberdaya manusia tambang Indonesia sehingga perusahaan tambang atau investor asing tidak perlu kesulitan atau mencari tenaga ahli tambang dari luar untuk bekerja dan mengoperasikan wilayah pertambangan yang dikonsesikan.
Jika memiliki institusi ini, akan mudah bagi Indonesia untuk mempromosikan dan mengundang investor menanamkan modal di berbagai daerah/ provinsi. Unit promosi ini merupakan institusi tingkat pusat. Keberadaan lembaga ini akan jauh lebih efisien dan memudahkan daripada harus dilakukan oleh daerah.
Sebagai industri dan bisnis, pertambangan harus dikemas dan ditempatkan dalam konsep pemasaran (marketing). Ketiga, strategic plan dan transparansi. Perlu ada rencana strategis pengembangan industri pertambangan sebagai guidance yang bersifat long term policy sehingga pertambangan Indonesia memiliki keunggulan (competitive advantage) dibandingkan negara lain.
Sebagai bagian dari sistem pengelolaan tambang yang terbuka, otoritas pertambangan harus dapat memberikan informasi yang selalu upto date dan transparan sehingga dari waktu ke waktu berbagai pihak dapat mengikuti perkembangan kemajuan dan perubahan yang terjadi. Transparansi sebagai pilar dari good corporate governance harus menjadi elemen utama dalam industri pertambangan.
Sebagai negara yang diberkahi dengan sumber daya alam yang demikian banyak, sudah waktunya Indonesia membangun dan memosisikan diri sebagai negara tambang (mining country) sehingga Indonesia tidak saja menjadi negara yang terdepan dalam pertambangan dan tujuan investasi tambang, tetapi juga mampu menggerakkan industri pendukung dan melahirkan perusahaan tambang yang andal di tingkat nasional dan internasional.
Kusnowibowo
Diplomat, Tinggal di Peru
(ftr)