Sekali Lagi tentang Mubahalah Anas
A
A
A
MA’MUN MUROD AL-BARBASY
Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ dan
Fungsionaris Pimpinan Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
Membaca tulisan Moh Mahfud MDdi KORAN SINDO, 21 Februari 2015 berjudul “Mubahalah dan Sumpah Pocong”, saya tertarik untuk ikut melanjutkan pembahasannya.
Bukan karena Mahfud sangat produktif menulis dan bahkan dari cuitan di Twitter pun bisa melahirkan pembahasan yang serius. Bukan pula penulisnya dikenal sebagai pakar hukum konstitusi dan mantan pejabat tinggi negara. Tapi, saya tertarik tulisan ini semata-mata karena temanya tentang mubahalah dan saya mengikuti kasus hukum Anas Urbaningrum sejak awal sampai selesainya proses persidangan.
Serangan Pihak Lain atau Ulah Pimpinan KPK?
Jika dibaca dengan cermat, tulisan Mahfud mengandung muatan tiga pesan. Pertama, mubahalah tidak pernah terjadi dan karena itu masalah-masalah yang menimpa para pimpinan KPK dan lembaganya tidak ada kaitannya dengan mubahalah. Istilah Mahfud adalah “tidak ada urusannya dengan mubahalahmubahalahan.” Mengapa? Karena tantangan Anas kepada majelis hakim dan KPK untuk mubahalah tidak ditanggapi dan sistem peradilan di Indonesia juga tidak mengenal mubahalah.
Kedua, tidak ada urusan laknat Allah atau kualat dengan mubahalah karena justru laknat itu jelas untuk kasus korupsi atau penyuapan. Mahfud mengutip hadis, “Allah melaknat penyuap dan penerima suap.” Bagian ini penegasan Mahfud bahwa orang yang terlibat korupsi atau penyuapan yang mendapatkan laknat. Tentu yang dimaksud Mahfud adalah Anas dan mungkin pihak lain lagi.
Ketiga, masalah-masalah yang terjadi atas para petinggi KPK atau lembaganya karena serangan dari pihak lain, karena KPK di seluruh dunia memang selalu mendapat hantaman dengan berbagai cara. Istilah Mahfud MD adalah “hantaman dari delapan penjuru mata angin”, bahkan pada 2009 disebutkan di dalam tulisannya, hantaman kepada KPK lebih hebat ketimbang yang sekarang ini.
Masalah-masalah itu dipahami sebagai datang dari luar dan bukan karena kelemahan di KPK. Adalah benar ketika Mahfud mengatakan bahwa tantangan mubahalah Anas tidak dikabulkan oleh majelis hakim. Saat Anas menyatakan meminta mubahalah kepada majelis hakim dan JPU, para hakim dan jaksa kaget luar biasa. Wajah-wajah mereka menjadi tegang, terpaku, dan membisu.
Saya yakin para hakim dan jaksa baru pertama kali mendapatkan tantangan melakukan mubahalah. Tidak ada satu pun orang di ruang sidang menduga Anas akan menyatakan itu. Mungkin ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah peradilan di negeri ini. Setelahterpakusekianwaktu, dengan wajah yang dingin membeku dan kebingungan, ketua majelis hakim Haswandi mengetuk palu tanda menutup sidang.
Kemudian segera keluar ruang sidang dengan terburuburu dan diikuti oleh semua anggota majelis. Para jaksa masih terpaku di tempatnya, belum hilang kekagetannya seperti disambar halilintar. Baru kali ini merasakan mimpi di siang bolong. Saya sangat memahami ajakan Anas untuk mubahalah kepada hakim dan jaksa.
Secara substansi berarti juga kepada semua pihak di KPK yang telah membawanya ke persidangan sampai kemudian dijatuhi vonis oleh majelis hakim. Pembelaan yang dilakukannya lewat proses hukum di persidangan mentok oleh kengototan jaksa menuntut yang tidak berbasis faktafakta persidangan dan hakim yang memutus dengan mengesampingkan fakta-fakta kebenaran yang sudah terbuka di muka persidangan.
Proses dan hasil persidangan yang tidak fair dan meremehkan deretan fakta-fakta kebenaran itulah yang direspons Anas dengan permintaan mubahalah. Dengan mubahalah, Anas ingin memohon keadilan dari Tuhan karena vonis hakim jauh dari spirit keadilan. Mubahalah adalah ajakan Anas agar hakim, jaksa, dan pihak-pihak yang terlibat, tentu termasuk di dalamnya para pimpinan KPK, berani bertanggung jawab, termasuk untuk mendatangkan laknat Tuhan.
Mubahalah, Kualat atau Karma?
Lalu, apakah kasus-kasus yang sekarang menimpa para pimpinan KPK dan yang lainnya pasti tidak terkait dengan ketidakadilan yang direspons Anas yang menantang mubahalah? Wallahu a’lam, hanya Tuhan yang tahu. Apakah itu karena karma yang mencari alamatnya sendiri atau karena kualat atau tanda mubahalah yang bekerja, itu urusan Tuhan.
Kita tidak tahu persisnya, yang perlu diyakini adalah bahwa tindakan zalim, apalagi atas nama penegakan hukum akan mendapatkan balasannya, dan boleh jadi Tuhan sedang mencicilnya. Menurut saya, “mubahalah prosedural” memang tidak akan pernah terjadi karena hakim dan jaksa takut. Tentu saja alasannya bisa disediakan karena tidak ada mekanismenya dalam sistem peradilan kita.
Tetapi, tidak terjadi “mubahalah prosedural” tidak serta-merta bisa dikatakan secara substansial tidak terjadi. Boleh jadi “mubahalah prosedural” tetap berjalan karena kebenaran dan keadilan tidak bisa dihapuskan meski oleh kewenangan KPK yang absolut dan putusan hakim yang takut kepada opini. Hanya Tuhan yang bisa memastikan. Bukan saya, Mahfud, atau siapa pun.
Jika Mahfud mau mengikuti kasus Anas secara lengkap, sejak awal sampai selesai persidangan, termasuk detildetil fakta hukum yang terungkap di muka persidangan, saya yakin akan mempunyai persepsi dan sikap berbeda dengan apa yang termuat di dalam tulisannya tersebut.
Mengikuti kasus Anas dengan detil dan jernih, akan menghasilkan kesimpulan yang sangat berbeda dengan yang hanya mengikuti dari pemberitaan media. Saya menduga Mahfud menjadi salah satu korban dari orkestrasi opini yang selama ini terjadi terhadap Anas, hal yang biasa dilakukan KPK dalam menggarap kasus. Apalagi dalam kasus ini ada kekuasaan besar yang rajin bekerja.
Tetapi, ketika saya lacak pernyataan-pernyataan Mahfud terkait Anas dan kasus yang dipaksakan kepadanya, terlihat ada konsistensi nada yang memang cenderung negatif. Hanya sekali saja komentar positif setelah Anas ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi, karena pernyataan yang positif itu direaksi pihak lain, esok harinya komentar positif itu kembali “dinetralkan” oleh Mahfud.
Jadi saya tidak kaget kalau Mahfud bisa cepat mereaksi cuitan di Twitter tentang mubahalah yang dikaitkan dengan Anas dan masalah-masalah yang menimpa pengurus KPK. Saya pernah menanyakan pernyataan-pernyataan Mahfud yang cenderung negatif tersebut kepada Anas. Jawaban Anas sungguh mengagetkan. Justru Anas sangat husnudzan dengan pernyataanpernyataan negatif dari seniornya itu.
“Anggap saja itu cara senior memplonco yuniornya, diplonco senior yang baik dan hebat kan banyak berkahnya,” begitu jawabannya. Abraham Samad yang jelas-jelas datang ke Duren Sawit untuk meminta dukungan menjadi pimpinan KPK, tetapi malah menusuk dari belakang saja tetap didoakan baikolehAnas. Itulahsikap-sikap Anas yang terlalu husnudzan kepada orang lain.
Anas adalah orang yang “abnormal” dan kerap bikin gregetan temantemannya. Tidaklah penting untuk meneliti mengapa senior Mahfud cenderung negatif terhadap yuniornya, Anas. Boleh jadi banyak musababnya. Bukan tidak mungkin dengan agenda politik pada 2014, di mana Mahfud serius mempersiapkan diri sebagai capres atau cawapres. Anas pun didakwa oleh KPK karena mempunyai keinginan untuk menjadi capres, dakwaan yang disebut Anas sebagai imajiner.
Yang jelas, saya bersedia menjadi panitia mubahalah kalau Mahfud dan Anas mau ber-mubahalah atas keyakinan masing-masing terhadap kasus hukum yang belum berkekuatan hukum tetap itu. Saya suka dengan kalimat pendek di dalam pledoi Anas: “esok hari adalah misteri”. Bisa diduga itu sebuah kode. Kita tidak bisa memastikan apakah kode itu terkait perubahan cepat yang belakangan terjadi di KPK? Pastinya, kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Wallahu a’lam.
Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ dan
Fungsionaris Pimpinan Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
Membaca tulisan Moh Mahfud MDdi KORAN SINDO, 21 Februari 2015 berjudul “Mubahalah dan Sumpah Pocong”, saya tertarik untuk ikut melanjutkan pembahasannya.
Bukan karena Mahfud sangat produktif menulis dan bahkan dari cuitan di Twitter pun bisa melahirkan pembahasan yang serius. Bukan pula penulisnya dikenal sebagai pakar hukum konstitusi dan mantan pejabat tinggi negara. Tapi, saya tertarik tulisan ini semata-mata karena temanya tentang mubahalah dan saya mengikuti kasus hukum Anas Urbaningrum sejak awal sampai selesainya proses persidangan.
Serangan Pihak Lain atau Ulah Pimpinan KPK?
Jika dibaca dengan cermat, tulisan Mahfud mengandung muatan tiga pesan. Pertama, mubahalah tidak pernah terjadi dan karena itu masalah-masalah yang menimpa para pimpinan KPK dan lembaganya tidak ada kaitannya dengan mubahalah. Istilah Mahfud adalah “tidak ada urusannya dengan mubahalahmubahalahan.” Mengapa? Karena tantangan Anas kepada majelis hakim dan KPK untuk mubahalah tidak ditanggapi dan sistem peradilan di Indonesia juga tidak mengenal mubahalah.
Kedua, tidak ada urusan laknat Allah atau kualat dengan mubahalah karena justru laknat itu jelas untuk kasus korupsi atau penyuapan. Mahfud mengutip hadis, “Allah melaknat penyuap dan penerima suap.” Bagian ini penegasan Mahfud bahwa orang yang terlibat korupsi atau penyuapan yang mendapatkan laknat. Tentu yang dimaksud Mahfud adalah Anas dan mungkin pihak lain lagi.
Ketiga, masalah-masalah yang terjadi atas para petinggi KPK atau lembaganya karena serangan dari pihak lain, karena KPK di seluruh dunia memang selalu mendapat hantaman dengan berbagai cara. Istilah Mahfud MD adalah “hantaman dari delapan penjuru mata angin”, bahkan pada 2009 disebutkan di dalam tulisannya, hantaman kepada KPK lebih hebat ketimbang yang sekarang ini.
Masalah-masalah itu dipahami sebagai datang dari luar dan bukan karena kelemahan di KPK. Adalah benar ketika Mahfud mengatakan bahwa tantangan mubahalah Anas tidak dikabulkan oleh majelis hakim. Saat Anas menyatakan meminta mubahalah kepada majelis hakim dan JPU, para hakim dan jaksa kaget luar biasa. Wajah-wajah mereka menjadi tegang, terpaku, dan membisu.
Saya yakin para hakim dan jaksa baru pertama kali mendapatkan tantangan melakukan mubahalah. Tidak ada satu pun orang di ruang sidang menduga Anas akan menyatakan itu. Mungkin ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah peradilan di negeri ini. Setelahterpakusekianwaktu, dengan wajah yang dingin membeku dan kebingungan, ketua majelis hakim Haswandi mengetuk palu tanda menutup sidang.
Kemudian segera keluar ruang sidang dengan terburuburu dan diikuti oleh semua anggota majelis. Para jaksa masih terpaku di tempatnya, belum hilang kekagetannya seperti disambar halilintar. Baru kali ini merasakan mimpi di siang bolong. Saya sangat memahami ajakan Anas untuk mubahalah kepada hakim dan jaksa.
Secara substansi berarti juga kepada semua pihak di KPK yang telah membawanya ke persidangan sampai kemudian dijatuhi vonis oleh majelis hakim. Pembelaan yang dilakukannya lewat proses hukum di persidangan mentok oleh kengototan jaksa menuntut yang tidak berbasis faktafakta persidangan dan hakim yang memutus dengan mengesampingkan fakta-fakta kebenaran yang sudah terbuka di muka persidangan.
Proses dan hasil persidangan yang tidak fair dan meremehkan deretan fakta-fakta kebenaran itulah yang direspons Anas dengan permintaan mubahalah. Dengan mubahalah, Anas ingin memohon keadilan dari Tuhan karena vonis hakim jauh dari spirit keadilan. Mubahalah adalah ajakan Anas agar hakim, jaksa, dan pihak-pihak yang terlibat, tentu termasuk di dalamnya para pimpinan KPK, berani bertanggung jawab, termasuk untuk mendatangkan laknat Tuhan.
Mubahalah, Kualat atau Karma?
Lalu, apakah kasus-kasus yang sekarang menimpa para pimpinan KPK dan yang lainnya pasti tidak terkait dengan ketidakadilan yang direspons Anas yang menantang mubahalah? Wallahu a’lam, hanya Tuhan yang tahu. Apakah itu karena karma yang mencari alamatnya sendiri atau karena kualat atau tanda mubahalah yang bekerja, itu urusan Tuhan.
Kita tidak tahu persisnya, yang perlu diyakini adalah bahwa tindakan zalim, apalagi atas nama penegakan hukum akan mendapatkan balasannya, dan boleh jadi Tuhan sedang mencicilnya. Menurut saya, “mubahalah prosedural” memang tidak akan pernah terjadi karena hakim dan jaksa takut. Tentu saja alasannya bisa disediakan karena tidak ada mekanismenya dalam sistem peradilan kita.
Tetapi, tidak terjadi “mubahalah prosedural” tidak serta-merta bisa dikatakan secara substansial tidak terjadi. Boleh jadi “mubahalah prosedural” tetap berjalan karena kebenaran dan keadilan tidak bisa dihapuskan meski oleh kewenangan KPK yang absolut dan putusan hakim yang takut kepada opini. Hanya Tuhan yang bisa memastikan. Bukan saya, Mahfud, atau siapa pun.
Jika Mahfud mau mengikuti kasus Anas secara lengkap, sejak awal sampai selesai persidangan, termasuk detildetil fakta hukum yang terungkap di muka persidangan, saya yakin akan mempunyai persepsi dan sikap berbeda dengan apa yang termuat di dalam tulisannya tersebut.
Mengikuti kasus Anas dengan detil dan jernih, akan menghasilkan kesimpulan yang sangat berbeda dengan yang hanya mengikuti dari pemberitaan media. Saya menduga Mahfud menjadi salah satu korban dari orkestrasi opini yang selama ini terjadi terhadap Anas, hal yang biasa dilakukan KPK dalam menggarap kasus. Apalagi dalam kasus ini ada kekuasaan besar yang rajin bekerja.
Tetapi, ketika saya lacak pernyataan-pernyataan Mahfud terkait Anas dan kasus yang dipaksakan kepadanya, terlihat ada konsistensi nada yang memang cenderung negatif. Hanya sekali saja komentar positif setelah Anas ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi, karena pernyataan yang positif itu direaksi pihak lain, esok harinya komentar positif itu kembali “dinetralkan” oleh Mahfud.
Jadi saya tidak kaget kalau Mahfud bisa cepat mereaksi cuitan di Twitter tentang mubahalah yang dikaitkan dengan Anas dan masalah-masalah yang menimpa pengurus KPK. Saya pernah menanyakan pernyataan-pernyataan Mahfud yang cenderung negatif tersebut kepada Anas. Jawaban Anas sungguh mengagetkan. Justru Anas sangat husnudzan dengan pernyataanpernyataan negatif dari seniornya itu.
“Anggap saja itu cara senior memplonco yuniornya, diplonco senior yang baik dan hebat kan banyak berkahnya,” begitu jawabannya. Abraham Samad yang jelas-jelas datang ke Duren Sawit untuk meminta dukungan menjadi pimpinan KPK, tetapi malah menusuk dari belakang saja tetap didoakan baikolehAnas. Itulahsikap-sikap Anas yang terlalu husnudzan kepada orang lain.
Anas adalah orang yang “abnormal” dan kerap bikin gregetan temantemannya. Tidaklah penting untuk meneliti mengapa senior Mahfud cenderung negatif terhadap yuniornya, Anas. Boleh jadi banyak musababnya. Bukan tidak mungkin dengan agenda politik pada 2014, di mana Mahfud serius mempersiapkan diri sebagai capres atau cawapres. Anas pun didakwa oleh KPK karena mempunyai keinginan untuk menjadi capres, dakwaan yang disebut Anas sebagai imajiner.
Yang jelas, saya bersedia menjadi panitia mubahalah kalau Mahfud dan Anas mau ber-mubahalah atas keyakinan masing-masing terhadap kasus hukum yang belum berkekuatan hukum tetap itu. Saya suka dengan kalimat pendek di dalam pledoi Anas: “esok hari adalah misteri”. Bisa diduga itu sebuah kode. Kita tidak bisa memastikan apakah kode itu terkait perubahan cepat yang belakangan terjadi di KPK? Pastinya, kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Wallahu a’lam.
(ars)