Gaya Diplomasi
A
A
A
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
@dinnawisnu
Diplomasi Indonesia saat ini sepertinya sedang mengalami transisi yang sangat kontras dengan gaya diplomasi dari pemerintahan sebelumnya.
Semasa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kebijakan politik luar negerinya terkesan terlalu banyak mengakomodasi kepentingan dari negaranegara lain.
Dalam beberapa peristiwa ketegangan politik antara dua negara seperti dengan Malaysia, Singapura, Amerika Serikat (AS), dan terakhir Australia dalam kasus penyadapan, kebijakan yang diambil tidak ”sekeras” yang diharapkan masyarakat. Di masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), kebijakan itu berubah 180 derajat.
Sejak awal masa kampanye, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintahannya akan lebih keras dalam politik luar negeri. Dalam kampanye di bulan Juni 2014, Jokowi sudah mengatakan bahwa jika menyangkut kedaulatan negara Indonesia, apa pun solusinya harus dilakukan. Dalam kata-katanya sendiri ia mengatakan, ”Kita akan buat ramai. Jangan dipikir saya tidak bisa tegas.”
Kata-kata itu sepertinya menjadi kenyataan. Dalam kasus penangkapan kapal ikan yang ilegal, Presiden Jokowi mendukung upaya penenggelaman kapal-kapal nelayan asing yang beroperasi tanpa izin. Upaya ini ternyata membuahkan hasil dengan meningkatnya harga-harga ikan di pasar-pasar ikan baik di dalam maupun luar negeri karena pasokan yang mulai terbatas.
Begitu pula dengan kasus hukuman mati terhadap pengedar narkoba. Ia mengambil jalan untuk tidak mengampuni para terpidana tersebut dan memberikan izin bagi negara untuk membunuh terpidana itu melalui hukuman mati. Berbeda dengan kasus penangkapan ikan, kasus hukuman mati ternyata menimbulkan reaksi keras dari negara-negara yang warganya terpidana hukuman mati, bahkan termasuk Sekretaris Jenderal PBB Ban Kimoon.
Reaksi ini yang lantas menimbulkan efek domino ke masyarakat dan seperti di masa pemerintahan SBY, masyarakat sekali lagi mengharapkan tindakan keras mulai dari pemanggilan duta besar hingga pemutusan hubungan diplomatik. Presiden Jokowi tampaknya akan memilih untuk mengambil kebijakan yang keras dan berbeda dengan gaya diplomatik SBY.
Nampaknya pilihan diplomasi via dialog dengan negaranegara yang tengah bermasalah dengan kita sedang tersingkir. Dua gaya diplomatik yang ekstrem itu tentu amat dipengaruhi karakter dan kepribadian masing-masing kepala negara dan hal ini juga dialami setiap negara. Setiap negara memiliki gaya diplomasi yang tidak sama. Gaya-gaya tersebut amat dipengaruhi karakter, budaya, dan politik masing-masing.
Namun yang lebih penting gaya diplomasi tersebut dipengaruhi kepentingan jangka panjang negara tersebut dalam kompetisi di tingkat regional dan internasional. Kompetisi itu tidak hanya merebutkan akses pasar ekonomi, tetapi juga legitimasi atas masalah hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Kita dapat melihat kembali misalnya gaya diplomat para kepala negara yang hadir dalam Konferensi G-20 di Australia tahun lalu.
Para kepala negara yang berasal dari Benua Eropa, Amerika, dan Pasifik seperti Presiden AS Barack Obama, Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott atau PM Kanada Stephen Harper memilih untuk bicara terbuka, ketus, menekan, dan menukik langsung kepada Rusia atas masalah yang terjadi di Ukrania.
Mereka bicara langsung tentang rasa tidak sukanya mereka terhadap Rusia di hadapan Putin tentang keterlibatan Rusia dalam konflik Ukrania. Drama diplomasi itu tidak berhenti hanya di suasana yang formal, tetapi juga berlanjut di acara yang tidak formal. Misalnya ketika Presiden Putin menghampiri Stephen Harper dan mengajak bersalaman, PM Kanada itu berkata, ”I guess I’ll shake your hand but I have only one thing to say to you: You need to get out of Ukraine.”
(Saya kira saya akan menjabat tangan Anda, tetapi satu hal yang terucap: Anda perlu angkat kaki dari Ukraina). Ucapan dan tindakan yang menekan Putin membuatnya harus segera angkat kaki sebelum konferensi itu berakhir. Ia memberikan alasan bahwa kepulangannya akibat keletihan. Namun semua tahu bahwa ia tidak dapat bertahan menghadapi tekanan dan dipermalukan dalam konferensi itu.
Sidang Umum PBB yang berlangsung setiap tahun sekali menjadi panggung negara-negara untuk saling mengungkapkan kecaman, kebencian, protes, dan tuntutan. Ada yang menyebut negara lain sebagai poros setan, kerajaan imperialis, negara barbar, negara pembunuh, dan sebagainya. Gaya-gaya diplomasi itu tentu sebagian besar juga memiliki tujuan untuk memenuhi psikologi massa atau warga negaranya, apalagi bila berada di dalam sebuah keadaan yang konfrontatif.
Mengenai ketegangan yang terjadi antaranegara-negara sahabat karena tidak dikabulkannya pengampunan hukuman mati, Indonesia perlu menyiapkan diri untuk menghadapi situasi-situasi tersebut. Apabila kita melihat sejarah gaya diplomasi negara-negara Amerika Latin dan Eropa yang cenderung lugas, pemerintahan Jokowi perlu menyiapkan skenario terburuk di dalam forum-forum internasional yang akan dihadirinya.
Presiden Jokowi harus berani membuka dialog dan berdebat untuk meyakinkan negara-negara tersebut. Namun yang jauh lebih penting dari itu adalah sampai mana batas ketegangan Indonesia dengan Brasil, Australia atau negara-negara lain akan berakhir? Kalaupun Presiden Jokowi memilih gaya tegas, tetap perlu ada exit strategy untuk merajut komunikasi dan memperbaiki situasi.
Hal ini penting karena jenis ketegangan yang terjadi lebih terkait dengan ketegangan etik atau norma dan bukan ketegangan ekonomis dan ideologis. Ketegangan kita berbeda dengan ketegangan China dan negara-negara tetangga, Pakistan dengan India, atau negara-negara di Timur Tengah.
Jangan sampai ketegangan ini menjadi tidak produktif dan justru merugikan kepentingan warga negara di Indonesia dan negara-negara sahabat. Kementerian Luar Negeri perlu bergerak di balik layar untuk menjembatani komunikasi antarpimpinan politik maupun masyarakat.
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
@dinnawisnu
Diplomasi Indonesia saat ini sepertinya sedang mengalami transisi yang sangat kontras dengan gaya diplomasi dari pemerintahan sebelumnya.
Semasa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kebijakan politik luar negerinya terkesan terlalu banyak mengakomodasi kepentingan dari negaranegara lain.
Dalam beberapa peristiwa ketegangan politik antara dua negara seperti dengan Malaysia, Singapura, Amerika Serikat (AS), dan terakhir Australia dalam kasus penyadapan, kebijakan yang diambil tidak ”sekeras” yang diharapkan masyarakat. Di masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), kebijakan itu berubah 180 derajat.
Sejak awal masa kampanye, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintahannya akan lebih keras dalam politik luar negeri. Dalam kampanye di bulan Juni 2014, Jokowi sudah mengatakan bahwa jika menyangkut kedaulatan negara Indonesia, apa pun solusinya harus dilakukan. Dalam kata-katanya sendiri ia mengatakan, ”Kita akan buat ramai. Jangan dipikir saya tidak bisa tegas.”
Kata-kata itu sepertinya menjadi kenyataan. Dalam kasus penangkapan kapal ikan yang ilegal, Presiden Jokowi mendukung upaya penenggelaman kapal-kapal nelayan asing yang beroperasi tanpa izin. Upaya ini ternyata membuahkan hasil dengan meningkatnya harga-harga ikan di pasar-pasar ikan baik di dalam maupun luar negeri karena pasokan yang mulai terbatas.
Begitu pula dengan kasus hukuman mati terhadap pengedar narkoba. Ia mengambil jalan untuk tidak mengampuni para terpidana tersebut dan memberikan izin bagi negara untuk membunuh terpidana itu melalui hukuman mati. Berbeda dengan kasus penangkapan ikan, kasus hukuman mati ternyata menimbulkan reaksi keras dari negara-negara yang warganya terpidana hukuman mati, bahkan termasuk Sekretaris Jenderal PBB Ban Kimoon.
Reaksi ini yang lantas menimbulkan efek domino ke masyarakat dan seperti di masa pemerintahan SBY, masyarakat sekali lagi mengharapkan tindakan keras mulai dari pemanggilan duta besar hingga pemutusan hubungan diplomatik. Presiden Jokowi tampaknya akan memilih untuk mengambil kebijakan yang keras dan berbeda dengan gaya diplomatik SBY.
Nampaknya pilihan diplomasi via dialog dengan negaranegara yang tengah bermasalah dengan kita sedang tersingkir. Dua gaya diplomatik yang ekstrem itu tentu amat dipengaruhi karakter dan kepribadian masing-masing kepala negara dan hal ini juga dialami setiap negara. Setiap negara memiliki gaya diplomasi yang tidak sama. Gaya-gaya tersebut amat dipengaruhi karakter, budaya, dan politik masing-masing.
Namun yang lebih penting gaya diplomasi tersebut dipengaruhi kepentingan jangka panjang negara tersebut dalam kompetisi di tingkat regional dan internasional. Kompetisi itu tidak hanya merebutkan akses pasar ekonomi, tetapi juga legitimasi atas masalah hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Kita dapat melihat kembali misalnya gaya diplomat para kepala negara yang hadir dalam Konferensi G-20 di Australia tahun lalu.
Para kepala negara yang berasal dari Benua Eropa, Amerika, dan Pasifik seperti Presiden AS Barack Obama, Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott atau PM Kanada Stephen Harper memilih untuk bicara terbuka, ketus, menekan, dan menukik langsung kepada Rusia atas masalah yang terjadi di Ukrania.
Mereka bicara langsung tentang rasa tidak sukanya mereka terhadap Rusia di hadapan Putin tentang keterlibatan Rusia dalam konflik Ukrania. Drama diplomasi itu tidak berhenti hanya di suasana yang formal, tetapi juga berlanjut di acara yang tidak formal. Misalnya ketika Presiden Putin menghampiri Stephen Harper dan mengajak bersalaman, PM Kanada itu berkata, ”I guess I’ll shake your hand but I have only one thing to say to you: You need to get out of Ukraine.”
(Saya kira saya akan menjabat tangan Anda, tetapi satu hal yang terucap: Anda perlu angkat kaki dari Ukraina). Ucapan dan tindakan yang menekan Putin membuatnya harus segera angkat kaki sebelum konferensi itu berakhir. Ia memberikan alasan bahwa kepulangannya akibat keletihan. Namun semua tahu bahwa ia tidak dapat bertahan menghadapi tekanan dan dipermalukan dalam konferensi itu.
Sidang Umum PBB yang berlangsung setiap tahun sekali menjadi panggung negara-negara untuk saling mengungkapkan kecaman, kebencian, protes, dan tuntutan. Ada yang menyebut negara lain sebagai poros setan, kerajaan imperialis, negara barbar, negara pembunuh, dan sebagainya. Gaya-gaya diplomasi itu tentu sebagian besar juga memiliki tujuan untuk memenuhi psikologi massa atau warga negaranya, apalagi bila berada di dalam sebuah keadaan yang konfrontatif.
Mengenai ketegangan yang terjadi antaranegara-negara sahabat karena tidak dikabulkannya pengampunan hukuman mati, Indonesia perlu menyiapkan diri untuk menghadapi situasi-situasi tersebut. Apabila kita melihat sejarah gaya diplomasi negara-negara Amerika Latin dan Eropa yang cenderung lugas, pemerintahan Jokowi perlu menyiapkan skenario terburuk di dalam forum-forum internasional yang akan dihadirinya.
Presiden Jokowi harus berani membuka dialog dan berdebat untuk meyakinkan negara-negara tersebut. Namun yang jauh lebih penting dari itu adalah sampai mana batas ketegangan Indonesia dengan Brasil, Australia atau negara-negara lain akan berakhir? Kalaupun Presiden Jokowi memilih gaya tegas, tetap perlu ada exit strategy untuk merajut komunikasi dan memperbaiki situasi.
Hal ini penting karena jenis ketegangan yang terjadi lebih terkait dengan ketegangan etik atau norma dan bukan ketegangan ekonomis dan ideologis. Ketegangan kita berbeda dengan ketegangan China dan negara-negara tetangga, Pakistan dengan India, atau negara-negara di Timur Tengah.
Jangan sampai ketegangan ini menjadi tidak produktif dan justru merugikan kepentingan warga negara di Indonesia dan negara-negara sahabat. Kementerian Luar Negeri perlu bergerak di balik layar untuk menjembatani komunikasi antarpimpinan politik maupun masyarakat.
(ars)