Memadukan Fiskal dan Moneter
A
A
A
Ahmad Erani Yustika
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef
Kebijakan moneter dan fiskal ibarat dua jajaran besi rel yang lurus mengarah pada tujuan yang sama. Meski kedua lajur besi itu tak pernah bersentuhan, mereka memastikan lokomotif dan gerbong kereta yang berjalan di atasnya akan tiba pada tujuan.
Deskripsi itu menunjukkan peran kebijakan moneter dan fiskal dalam perekonomian. Kebijakan moneter memakai instrumen tingkat suku bunga, nilai tukar, jumlah uang beredar, dan lain-lain untuk memengaruhi kegiatan ekonomi. Jika ekonomi ingin digenjot, tingkat suku bunga diturunkan; demikian sebaliknya.
Kebijakan fiskal menggunakan instrumen anggaran negara (APBN) untuk mengelola stabilitas ekonomi. Bila ekonomi hendak dipacu, anggaran didesain defisit; demikian sebaliknya. Tentu saja, irama kebijakan fiskal dan moneter itu diharapkan sama agar tujuan pembangunan bisa dicapai.
Beban Kebijakan Moneter
Beberapa saat lalu pemerintah dan DPR telah menyepakati APBN-P 2015 dengan postur yang dianggap lebih kuat dan sehat ketimbang rencana anggaran sebelumnya. Alokasi anggaran dipakai berdasarkan prioritas sesuai janji presiden terpilih.
Demikian pula belanja infrastruktur digenjot untuk memastikan target pembangunan ekonomi terpenuhi. Salah satu asumsi makroekonomi yang berat untuk dicapai adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7% pada tahun ini. Target itu amat berat karena situasi ekonomi global yang masih muram dan keadaan ekonomi domestik yang rentan. Pembangunan infrastruktur dan perizinan yang efisien tentu akan membantu terwujudnya target itu. Tapi, itu saja tidak cukup.
Oleh karena itu, pengumuman Bank Indonesia yang menurunkan BI Rate (suku bunga panduan) ke level 7,5% pekan lalu laik disambut gembira. Sekurangnya dua hal yang menyebabkan kebijakan itu layak diberikan apresiasi. Pertama, penurunan BI Rate membuat harmoni kebijakan moneter dan fiskal menjadi lebih mungkin dijalankan.
Penurunan BI Rate menyodorkan sinyal bahwa BI hendak melonggarkan kegiatan ekonomi sehingga diharapkan target pertumbuhan ekonomi terwujud. Logika sederhananya: apabila Bi Rate turun, tingkat bunga perbankan (deposito dan kredit) juga turun, yang kemudian berpotensi meningkatkan investasi. Investasi merupakan salah satu sumber penting pertumbuhan ekonomi.
Kedua, kebijakan penurunan BI Rate ”mengakhiri” episode penggunaan kebijakan moneter untuk mengatasi seluruh beban persoalan ekonomi, yang semestinya sebagian dipanggul pemerintah (via kebijakan fiskal). Kinerja pemerintah yang buruk selama ini sebagian terselamatkan oleh kebijakan moneter tersebut.
Kinerja pemerintah yang kurang bagus itu antara lain tecermin dari pembangunan infrastruktur yang macet, iklim investasi yang tak memadai, biaya logistik yang mahal, efisiensi birokrasi yang parah, aturan main yang tak pasti, kelembagaan yang tak komplet, dan sebagainya. Seluruh problem ini membuat sendi ekonomi terganggu sehingga mengakibatkan komplikasi ekonomi seperti defisit neraca perdagangan, inflasi mudah melesat, nilai tukar melemah, dan seterusnya.
Selama ini, persoalan itu sebagian harus ditutup dengan kebijakan moneter tersebut. Dengan begitu, kebijakan penurunan BI Rate ini membuat selaras antara kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan fiskal sudah disusun cukup ekspansif, bukan semata ditunjukkan oleh defisit fiskal, tetapi juga alokasi anggaran yang menohok jantung pergerakan ekonomi, khususnya pembangunan infrastruktur.
Masa Ketidaknormalan
Tentu saja penurunan BI Rate tidak otomatis membuat ekonomi bekerja sesuai dengan harapan. Teramat banyak instrumen kebijakan lain yang perlu diperkuat untuk memastikan kebijakan itu berjalan cepat. Salah satu yang krusial adalah mempercepat sektor perbankan merespons kebijakan itu dengan menurunkan suku bunga. Bi Rate hanyalah suku bunga panduan yang tak memiliki otoritas instruktif sehingga kesadaran dunia perbankan sangat diharapkan. Meskipun tak memiliki kekuatan mengikat, diharapkan BI dan OJK terus menjalin komunikasi dengan perbankan.
Sekurangnya pemerintah bisa membantu dengan memerintahkan bank BUMN memelopori penurunan suku bunga. Ruang ini sangat mungkin dilakukan, tidak saja karena inflasi yang relatif mereda, tetapi juga pemerintah tak lagi meminta deviden yang besar, termasuk kepada bank BUMN. Berikutnya, sampai saat ini terdapat kurang lebih Rp1.000 triliun kredit yang tak terserap (undisbursed loan ) di perbankan.
Maksudnya, kredit itu sebetulnya sudah disetujui oleh perbankan, tapi tak dieksekusi oleh debitor karena aneka sebab. Salah satunya, sebagian investasi yang direncanakan terganjal oleh keterbatasan infrastruktur (misalnya perizinan dan listrik) dan pembebasan lahan. Kredit itu sebagian juga terjadi pada proyek infrastruktur. Oleh karena itu, pemerintah, BI, dan OJK mesti bahu-membahu mengidentifikasi persoalan kredityangtakterseraptersebut( sekitar 30% dari total kredit) dan sigap membenahinya.
Apabila ikhtiar ini jalan, dampaknya sangat besar bagi pergerakan kegiatan ekonomi. Kombinasi dari penurunan tingkat suku bunga dan jaminan pemerintah bakal menghidupkan kembali kredit yang tak terserap tersebut. Di luar itu, ruang penurunan BI Rate ke depan masih terbuka lebar karena kondisi ekonomi yang mulai membaik.
Neraca perdagangan 2014 masih defisit (USD 1,8 miliar) tapi lebih kecil ketimbang 2013 (sekitar USD4 miliar), neraca pembayaran sudah surplus, dan prospek inflasi bagus karena ditopang oleh penurunan harga minyak. Bahkan, neraca perdagangan Januari 2015 telah surplus. Meski datadata tersebut dinamis, secara umum prospek ke depan diharapkan membaik. Apabila itu diikuti dengan selesainya pekerjaan rumah yang menjadi portofolio pemerintah (seperti yang telah disebutkan di atas), ruang bagi otoritas moneter menurunkan BI Rate makin besar.
Di atas segalanya, baik pemerintah maupun BI mesti terus hati-hati karena tak selamanya yang diprediksi selalu menjadi kenyataan. Sekarang adalah masa di mana ketidaknormalan dianggap kelaziman.
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef
Kebijakan moneter dan fiskal ibarat dua jajaran besi rel yang lurus mengarah pada tujuan yang sama. Meski kedua lajur besi itu tak pernah bersentuhan, mereka memastikan lokomotif dan gerbong kereta yang berjalan di atasnya akan tiba pada tujuan.
Deskripsi itu menunjukkan peran kebijakan moneter dan fiskal dalam perekonomian. Kebijakan moneter memakai instrumen tingkat suku bunga, nilai tukar, jumlah uang beredar, dan lain-lain untuk memengaruhi kegiatan ekonomi. Jika ekonomi ingin digenjot, tingkat suku bunga diturunkan; demikian sebaliknya.
Kebijakan fiskal menggunakan instrumen anggaran negara (APBN) untuk mengelola stabilitas ekonomi. Bila ekonomi hendak dipacu, anggaran didesain defisit; demikian sebaliknya. Tentu saja, irama kebijakan fiskal dan moneter itu diharapkan sama agar tujuan pembangunan bisa dicapai.
Beban Kebijakan Moneter
Beberapa saat lalu pemerintah dan DPR telah menyepakati APBN-P 2015 dengan postur yang dianggap lebih kuat dan sehat ketimbang rencana anggaran sebelumnya. Alokasi anggaran dipakai berdasarkan prioritas sesuai janji presiden terpilih.
Demikian pula belanja infrastruktur digenjot untuk memastikan target pembangunan ekonomi terpenuhi. Salah satu asumsi makroekonomi yang berat untuk dicapai adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7% pada tahun ini. Target itu amat berat karena situasi ekonomi global yang masih muram dan keadaan ekonomi domestik yang rentan. Pembangunan infrastruktur dan perizinan yang efisien tentu akan membantu terwujudnya target itu. Tapi, itu saja tidak cukup.
Oleh karena itu, pengumuman Bank Indonesia yang menurunkan BI Rate (suku bunga panduan) ke level 7,5% pekan lalu laik disambut gembira. Sekurangnya dua hal yang menyebabkan kebijakan itu layak diberikan apresiasi. Pertama, penurunan BI Rate membuat harmoni kebijakan moneter dan fiskal menjadi lebih mungkin dijalankan.
Penurunan BI Rate menyodorkan sinyal bahwa BI hendak melonggarkan kegiatan ekonomi sehingga diharapkan target pertumbuhan ekonomi terwujud. Logika sederhananya: apabila Bi Rate turun, tingkat bunga perbankan (deposito dan kredit) juga turun, yang kemudian berpotensi meningkatkan investasi. Investasi merupakan salah satu sumber penting pertumbuhan ekonomi.
Kedua, kebijakan penurunan BI Rate ”mengakhiri” episode penggunaan kebijakan moneter untuk mengatasi seluruh beban persoalan ekonomi, yang semestinya sebagian dipanggul pemerintah (via kebijakan fiskal). Kinerja pemerintah yang buruk selama ini sebagian terselamatkan oleh kebijakan moneter tersebut.
Kinerja pemerintah yang kurang bagus itu antara lain tecermin dari pembangunan infrastruktur yang macet, iklim investasi yang tak memadai, biaya logistik yang mahal, efisiensi birokrasi yang parah, aturan main yang tak pasti, kelembagaan yang tak komplet, dan sebagainya. Seluruh problem ini membuat sendi ekonomi terganggu sehingga mengakibatkan komplikasi ekonomi seperti defisit neraca perdagangan, inflasi mudah melesat, nilai tukar melemah, dan seterusnya.
Selama ini, persoalan itu sebagian harus ditutup dengan kebijakan moneter tersebut. Dengan begitu, kebijakan penurunan BI Rate ini membuat selaras antara kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan fiskal sudah disusun cukup ekspansif, bukan semata ditunjukkan oleh defisit fiskal, tetapi juga alokasi anggaran yang menohok jantung pergerakan ekonomi, khususnya pembangunan infrastruktur.
Masa Ketidaknormalan
Tentu saja penurunan BI Rate tidak otomatis membuat ekonomi bekerja sesuai dengan harapan. Teramat banyak instrumen kebijakan lain yang perlu diperkuat untuk memastikan kebijakan itu berjalan cepat. Salah satu yang krusial adalah mempercepat sektor perbankan merespons kebijakan itu dengan menurunkan suku bunga. Bi Rate hanyalah suku bunga panduan yang tak memiliki otoritas instruktif sehingga kesadaran dunia perbankan sangat diharapkan. Meskipun tak memiliki kekuatan mengikat, diharapkan BI dan OJK terus menjalin komunikasi dengan perbankan.
Sekurangnya pemerintah bisa membantu dengan memerintahkan bank BUMN memelopori penurunan suku bunga. Ruang ini sangat mungkin dilakukan, tidak saja karena inflasi yang relatif mereda, tetapi juga pemerintah tak lagi meminta deviden yang besar, termasuk kepada bank BUMN. Berikutnya, sampai saat ini terdapat kurang lebih Rp1.000 triliun kredit yang tak terserap (undisbursed loan ) di perbankan.
Maksudnya, kredit itu sebetulnya sudah disetujui oleh perbankan, tapi tak dieksekusi oleh debitor karena aneka sebab. Salah satunya, sebagian investasi yang direncanakan terganjal oleh keterbatasan infrastruktur (misalnya perizinan dan listrik) dan pembebasan lahan. Kredit itu sebagian juga terjadi pada proyek infrastruktur. Oleh karena itu, pemerintah, BI, dan OJK mesti bahu-membahu mengidentifikasi persoalan kredityangtakterseraptersebut( sekitar 30% dari total kredit) dan sigap membenahinya.
Apabila ikhtiar ini jalan, dampaknya sangat besar bagi pergerakan kegiatan ekonomi. Kombinasi dari penurunan tingkat suku bunga dan jaminan pemerintah bakal menghidupkan kembali kredit yang tak terserap tersebut. Di luar itu, ruang penurunan BI Rate ke depan masih terbuka lebar karena kondisi ekonomi yang mulai membaik.
Neraca perdagangan 2014 masih defisit (USD 1,8 miliar) tapi lebih kecil ketimbang 2013 (sekitar USD4 miliar), neraca pembayaran sudah surplus, dan prospek inflasi bagus karena ditopang oleh penurunan harga minyak. Bahkan, neraca perdagangan Januari 2015 telah surplus. Meski datadata tersebut dinamis, secara umum prospek ke depan diharapkan membaik. Apabila itu diikuti dengan selesainya pekerjaan rumah yang menjadi portofolio pemerintah (seperti yang telah disebutkan di atas), ruang bagi otoritas moneter menurunkan BI Rate makin besar.
Di atas segalanya, baik pemerintah maupun BI mesti terus hati-hati karena tak selamanya yang diprediksi selalu menjadi kenyataan. Sekarang adalah masa di mana ketidaknormalan dianggap kelaziman.
(ars)