Dewan Pers Diminta Atasi Maraknya Jurnalis Gadungan

Senin, 23 Februari 2015 - 01:45 WIB
Dewan Pers Diminta Atasi Maraknya Jurnalis Gadungan
Dewan Pers Diminta Atasi Maraknya Jurnalis Gadungan
A A A
JAKARTA - Ketua Komisi Kompetensi Wartawan PWI Pusat Kamsul Hasan meminta Dewan Pers mengatasi maraknya pers abal-abal atau gadungan.

“Sekarang ini bercampur baur antara pers profesional dengan yang abal-abal seperti sinyalemen Ketua Dewan Pers,” ujar Kamsul di acara Diskusi yang diselenggarakan Dewan Kehormatan PWI Jaya dengan Lembaga Studi Informasi Strategis (LSIS), Minggu 22 Februari 2015.

Menurut Kamsul, diskusi tersebut bermaksud mencari jalan keluar untuk menghadapi makin maraknya wartawan tanpa surat kabar atau yang lazim dikenal 'bodrex', yang kini menjadi pers abal-abal.

“Harus ada penjelasan definisi dan kriteria yang dimaksud pers abal-abal,” kata PL Tobing, salah seorang peserta diskusi.

Mantan anggota Dewan Pers yang kini menjadi Redpel Majalah Prisma Agus Sudibyo mengatakan, yang dimaksud abal-abal bisa jurnalis yang melakukan penyimpangan dalam kegiatan jurnalistiknya.

"Seperti meminta uang bahkan memeras, yang hal ini dapat juga dilakukan oleh perusahaan pers abal-abal. Intinya mereka tidak profesional dan menyalahgunakan profesi wartawan,” tuturnya.

Menurut Agus Sudibyo, wartawan abal-abal awalnya adalah residu dari kebebasan pers. Sejak 1999, mendirikan media begitu mudah, tidak lagi mensyaratkan SIUPP.

Menjadi wartawan juga sangat mudah, tidak harus menjadi anggota asosiasi profesi, bahkan tidak berinduk ke media tertentu. Akibatnya, jumlah media secara nasionalmeningkat tajam, melebihi daya beli masyarakat serta potensi iklan yang ada.

“Jumlah wartawan juga meledak melebihi kemampuan industri media untuk menjadi menggaji mereka secara layak,” ujarnya.

Karena itu, menurut dia, muncul fenomena wartawan atau media abal-abal. Mereka memanfaatkan iklim kebebasan pers untuk mengambil keuntungan ekonomi dengan cara-cara yang tidak profesional, tidak etis dan mengarah ke premanisme.

"Lalu persoalannya, belakangan yang residual itu semakin menjadi sistemik," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5919 seconds (0.1#10.140)