Hormati Putusan Hakim
A
A
A
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45,
Makassar
Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan atas penetapannya sebagai tersangka, selain bisa menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi, juga dapat menuai gelombang gugatan praperadilan di kepolisian dan kejaksaan.
Kendati begitu, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan itu tetap dihormati sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap, kecuali pihak termohon melakukan upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Tapi tidak berarti hal itu tidak boleh didiskusikan, sebab indikasi dari putusan tersebut bisa memicu terjadinya gelombang gugatan praperadilan. Semua yang ditetapkan sebagai tersangka yang belum masuk ke pemeriksaan pengadilan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan terbuka peluang untuk digugat.
Padahal, tujuan praperadilan dalam KUHAP pada hakikatnya untuk mengoreksi syarat administrasi dan kemungkinan pengabaian hak-hak tersangka dalam proses penyidikan dan penuntutan. Sebab dalam tahap penyidikan dan penuntutan, penyidik dan jaksa penuntut umum diberi wewenang melakukan ”upaya paksa” seperti penangkapan, penahanan, atau penyitaan barang bukti yang potensial melanggar hak-hak hukum seseorang.
Maka itu, pembuat undang-undang dalam Pasal 77 juncto Pasal 95 KUHAP tidak menggolongkan ”penetapan tersangka” sebagai objek praperadilan karena dianggap bukan upaya paksa yang potensial melanggar hak-hak asasi manusia (HAM). Keberatan atas penetapan tersangka dan pasal yang tidak diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap terhadap tindak pidana yang didakwakan (Pasal 143 ayat 2 huruf-b KUHAP) dapat dilakukan saat eksepsi oleh terdakwa atau pengacaranya setelah surat dakwaan dibacakan dalam sidang pengadilan.
Apabila eksepsi diterima karena pasal-pasal yang didakwakan tidak jelas dan cermat atau terjadi kesalahan atas subjek hukum, hakim dalam putusan sela menolak surat dakwaan sehingga pemeriksaan perkara tidak dilanjutkan. Pada konteks itulah sebetulnya terdakwa mempersoalkan penetapannya sebagai tersangka, bukan dengan gugatan praperadilan.
Dalam Rancangan Perubahan KUHAP diatur mengenai hakim komisaris atau hakim pengawas, antara lain mengoreksi dan memberikan persetujuan jika seseorang akan dikenai penahanan, termasuk penetapan tersangka. Hakim komisaris meneliti apakah permintaan pengenaan penahanan atau penetapan tersangka dari penyidik sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Tapi keberadaan hakim komisaris dalam Rancangan Perubahan KUHAP dari berbagai pemberitaan justru ditolak oleh kepolisian.
Gelombang Gugatan
KUHAP selaku hukum formil (hukum acara) yang mengatur tata cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil yang dilanggar, oleh banyak pakar hukum, dianggap sebagai aturan yang tidak boleh diinterpretasi secara luas. Apalagi menyimpang dari rumusan pasal yang diatur secara limitatif, sebab hukum formal hanya mengatur tata cara dan prosedur jika ada yang melanggar hukum materiil.
Konsekuensi dari interpretasi hukum yang sebetulnya sudah diatur secara jelas dan limitatif dapat menghambat, bahkan mengacaukan prosedur penyelesaian perkara. Berbeda pada hukum materiil yang bisa ditafsirkan secara progresif dengan asumsi menghargai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan praperadilan itu setidaknya dapat menimbulkan dua persoalan.
Pertama, putusan itu akan berdampak luas bagi penyidik kepolisian lantaran dapat menuai gelombang gugatan praperadilan terhadap orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Bukan hanya perkara korupsi, melainkan juga perkara lain seperti narkoba, terorisme, dan kriminal jalanan yang begitu marak.
Dalam kasus narkoba misalnya, penyidik selalu menggunakan hasil tes urine dan pemeriksaan darah dari laboratorium forensik (labfor) milik kepolisian untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Bisa jadi tersangka kasus narkoba yang begitu banyak itu mengajukan gugatan praperadilan karena tidak percaya pada hasil tes labfor penyidik kepolisian.
Tersangka bisa meminta labfor independen yang ada di kampus-kampus untuk melakukan tes urine dan darah sebagai bahan perbandingan. Kemungkinan itu didukung dengan seringnya muncul tudingan bahwa oknum polisi selaku aparat penegak hukum (penyelidik dan penyidik) diduga menjebak seseorang yang kemudian dijadikan dasar penetapan tersangka. Dapat dipastikan, pihak kepolisian yang akan merasakan dampak langsung dari pembenaran dan perluasan objek praperadilan sampai pada penetapan tersangka.
Upaya Hukum
Lantaran putusan sudah dijatuhkan, KPK dapat melakukan langkah hukum untuk mencegah putusan itu berdampak luas terhadap pemberantasan korupsi. Pertama, karena putusan praperadilan bersifat final dan mengikat sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi, maka KPK dapat menempuh upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).
Syaratnya harus menemukan keadaan baru (novum) yang belum terungkap dalam sidang praperadilan (Pasal 263 ayat 2 KUHAP). Bisa juga karena berbagai dasar dalam putusan praperadilan, ternyata telah bertentangan satu dengan lainnya. Atau putusan itu jelas-jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim.
Sebab fungsi lembaga praperadilan adalah melakukan koreksi terhadap pelaksanaan penyidikan dan penuntutan yang diberi wewenang melakukan upaya paksa. Sepanjang prosedur-prosedur dan modus operandinya dilaksanakan sesuai ketentuan hukum acara yang diatur secara rigid, hasilnya bisa saja diterima. Kedua, KPK harus mencari dasar argumentatif untuk mematahkan putusan hakim bahwa tidak semua anggota Polri dikategorikan aparat penegak hukum.
Padahal, dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 2/2002 tentang Polri, untuk mengabdikan diri sebagai ”alat negara penegak hukum”, setiap anggota Polri harus menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tecermin dalam sikap dan perilakunya. Begitu pula Pasal 1 butir-4 KUHAP juncto Pasal 1 butir-8 UU Kepolisian mengartikan ”penyelidik” adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penyelidikan.
Adapun pejabat kepolisian adalah anggota kepolisian yang berdasarkan undangundang memiliki wewenang umum kepolisian (Pasal 1 butir- 3 UU Kepolisian). Artinya, semua anggota Polri mulai dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi merupakan aparat ”penyelidik” sebagai langkah awal dilakukannya penyidikan. Dengan demikian, semua anggota Polri adalah aparat penegak hukum lantaran diberi wewenang melakukan penyelidikan.
Berbeda pada penyidik dan penyidik pembantu yang ditentukan pangkatnya dalam Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 58/ 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 27/1981 tentang Pelaksanaan KUHAP, bahwa untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Polri harus minimal berpangkat inspektur dua polisi dan berpendidikan sarjana strata satu atau yang sederajat. Maka itu, meskipun tetap menghormati putusan praperadilan, perlu dilakukan koreksi oleh MA lantaran hakim melampaui kewenangan yang diberikan KUHAP.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45,
Makassar
Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan atas penetapannya sebagai tersangka, selain bisa menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi, juga dapat menuai gelombang gugatan praperadilan di kepolisian dan kejaksaan.
Kendati begitu, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan itu tetap dihormati sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap, kecuali pihak termohon melakukan upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Tapi tidak berarti hal itu tidak boleh didiskusikan, sebab indikasi dari putusan tersebut bisa memicu terjadinya gelombang gugatan praperadilan. Semua yang ditetapkan sebagai tersangka yang belum masuk ke pemeriksaan pengadilan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan terbuka peluang untuk digugat.
Padahal, tujuan praperadilan dalam KUHAP pada hakikatnya untuk mengoreksi syarat administrasi dan kemungkinan pengabaian hak-hak tersangka dalam proses penyidikan dan penuntutan. Sebab dalam tahap penyidikan dan penuntutan, penyidik dan jaksa penuntut umum diberi wewenang melakukan ”upaya paksa” seperti penangkapan, penahanan, atau penyitaan barang bukti yang potensial melanggar hak-hak hukum seseorang.
Maka itu, pembuat undang-undang dalam Pasal 77 juncto Pasal 95 KUHAP tidak menggolongkan ”penetapan tersangka” sebagai objek praperadilan karena dianggap bukan upaya paksa yang potensial melanggar hak-hak asasi manusia (HAM). Keberatan atas penetapan tersangka dan pasal yang tidak diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap terhadap tindak pidana yang didakwakan (Pasal 143 ayat 2 huruf-b KUHAP) dapat dilakukan saat eksepsi oleh terdakwa atau pengacaranya setelah surat dakwaan dibacakan dalam sidang pengadilan.
Apabila eksepsi diterima karena pasal-pasal yang didakwakan tidak jelas dan cermat atau terjadi kesalahan atas subjek hukum, hakim dalam putusan sela menolak surat dakwaan sehingga pemeriksaan perkara tidak dilanjutkan. Pada konteks itulah sebetulnya terdakwa mempersoalkan penetapannya sebagai tersangka, bukan dengan gugatan praperadilan.
Dalam Rancangan Perubahan KUHAP diatur mengenai hakim komisaris atau hakim pengawas, antara lain mengoreksi dan memberikan persetujuan jika seseorang akan dikenai penahanan, termasuk penetapan tersangka. Hakim komisaris meneliti apakah permintaan pengenaan penahanan atau penetapan tersangka dari penyidik sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Tapi keberadaan hakim komisaris dalam Rancangan Perubahan KUHAP dari berbagai pemberitaan justru ditolak oleh kepolisian.
Gelombang Gugatan
KUHAP selaku hukum formil (hukum acara) yang mengatur tata cara mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil yang dilanggar, oleh banyak pakar hukum, dianggap sebagai aturan yang tidak boleh diinterpretasi secara luas. Apalagi menyimpang dari rumusan pasal yang diatur secara limitatif, sebab hukum formal hanya mengatur tata cara dan prosedur jika ada yang melanggar hukum materiil.
Konsekuensi dari interpretasi hukum yang sebetulnya sudah diatur secara jelas dan limitatif dapat menghambat, bahkan mengacaukan prosedur penyelesaian perkara. Berbeda pada hukum materiil yang bisa ditafsirkan secara progresif dengan asumsi menghargai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan praperadilan itu setidaknya dapat menimbulkan dua persoalan.
Pertama, putusan itu akan berdampak luas bagi penyidik kepolisian lantaran dapat menuai gelombang gugatan praperadilan terhadap orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Bukan hanya perkara korupsi, melainkan juga perkara lain seperti narkoba, terorisme, dan kriminal jalanan yang begitu marak.
Dalam kasus narkoba misalnya, penyidik selalu menggunakan hasil tes urine dan pemeriksaan darah dari laboratorium forensik (labfor) milik kepolisian untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Bisa jadi tersangka kasus narkoba yang begitu banyak itu mengajukan gugatan praperadilan karena tidak percaya pada hasil tes labfor penyidik kepolisian.
Tersangka bisa meminta labfor independen yang ada di kampus-kampus untuk melakukan tes urine dan darah sebagai bahan perbandingan. Kemungkinan itu didukung dengan seringnya muncul tudingan bahwa oknum polisi selaku aparat penegak hukum (penyelidik dan penyidik) diduga menjebak seseorang yang kemudian dijadikan dasar penetapan tersangka. Dapat dipastikan, pihak kepolisian yang akan merasakan dampak langsung dari pembenaran dan perluasan objek praperadilan sampai pada penetapan tersangka.
Upaya Hukum
Lantaran putusan sudah dijatuhkan, KPK dapat melakukan langkah hukum untuk mencegah putusan itu berdampak luas terhadap pemberantasan korupsi. Pertama, karena putusan praperadilan bersifat final dan mengikat sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi, maka KPK dapat menempuh upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).
Syaratnya harus menemukan keadaan baru (novum) yang belum terungkap dalam sidang praperadilan (Pasal 263 ayat 2 KUHAP). Bisa juga karena berbagai dasar dalam putusan praperadilan, ternyata telah bertentangan satu dengan lainnya. Atau putusan itu jelas-jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dari hakim.
Sebab fungsi lembaga praperadilan adalah melakukan koreksi terhadap pelaksanaan penyidikan dan penuntutan yang diberi wewenang melakukan upaya paksa. Sepanjang prosedur-prosedur dan modus operandinya dilaksanakan sesuai ketentuan hukum acara yang diatur secara rigid, hasilnya bisa saja diterima. Kedua, KPK harus mencari dasar argumentatif untuk mematahkan putusan hakim bahwa tidak semua anggota Polri dikategorikan aparat penegak hukum.
Padahal, dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 2/2002 tentang Polri, untuk mengabdikan diri sebagai ”alat negara penegak hukum”, setiap anggota Polri harus menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tecermin dalam sikap dan perilakunya. Begitu pula Pasal 1 butir-4 KUHAP juncto Pasal 1 butir-8 UU Kepolisian mengartikan ”penyelidik” adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penyelidikan.
Adapun pejabat kepolisian adalah anggota kepolisian yang berdasarkan undangundang memiliki wewenang umum kepolisian (Pasal 1 butir- 3 UU Kepolisian). Artinya, semua anggota Polri mulai dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi merupakan aparat ”penyelidik” sebagai langkah awal dilakukannya penyidikan. Dengan demikian, semua anggota Polri adalah aparat penegak hukum lantaran diberi wewenang melakukan penyelidikan.
Berbeda pada penyidik dan penyidik pembantu yang ditentukan pangkatnya dalam Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 58/ 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 27/1981 tentang Pelaksanaan KUHAP, bahwa untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Polri harus minimal berpangkat inspektur dua polisi dan berpendidikan sarjana strata satu atau yang sederajat. Maka itu, meskipun tetap menghormati putusan praperadilan, perlu dilakukan koreksi oleh MA lantaran hakim melampaui kewenangan yang diberikan KUHAP.
(bbg)