Problem Demokratisasi Partai Politik

Jum'at, 20 Februari 2015 - 10:06 WIB
Problem Demokratisasi...
Problem Demokratisasi Partai Politik
A A A
AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga,
Juru Bicara Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan

Pada banyak peristiwa politik, sebagian besar orang hanya asyik melihat apa yang berlangsung di permukaan panggung kekuasaan, namun melupakan dimensi substansial yang ada di balik setiap peristiwa politik.

Dalam perhatian yang lebih besar pada gejala tanpa melihat akar persoalan inilah, peristiwa politik kerap datang dan pergi tanpa kita paham akar persoalan dan terapi untuk merehabilitasinya. Menelisik sampai ke akar persoalan politik termasuk gegar politik antara kubu PDIP dan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam kasus KPK versus kepolisian saat ini, satu hal yang patut untuk direnungkan bahwa dominasi oligarki di internal partai politik adalah pokok utama dari karut-marut politik Indonesia sejak jatuhnya Soeharto (post-authoritarianism ).

Tulisan ini selanjutnya akan mendiskusikan bagaimana karakter dominasi elite politik di internal partai memiliki konsekuensi pada dinamika eksternal politik, khususnya pada karakter politik Indonesia. Untuk memahami persoalan politik Indonesia pada era post-authoritarianism, problem potensi krisis koalisi di internal pemerintahan Joko Widodo sebenarnya hanyalah salah satu contoh dari problem oligarki di dalam tubuh partai politik di Indonesia.

Kebutuhan penyegaran partai politik di dalam parpol sepertinya menjadi tantangan bagi seluruh partai politik di Indonesia. Setelah Pilpres 2014 usai, sampai sekarang kita hanya sibuk menyaksikan ketegangan antara kekuatan pemerintah dan oposisi. Sementara itu, kita lupa bahwa dinamika politik yang sehat dalam proses demokrasi di Indonesia tak terlepas dari performa partai politik sebagai tulang punggung demokrasi di Indonesia.

Apabila kita tarik akar persoalannya, untuk menuju pada perubahan politik yang lebih baik, demokratisasi partai dalam pengertian rotasi kepemimpinan yang ajek, pemahaman partai politik akan agenda dan aspirasi akar rumput, maupun kesadaran akan dinamika sosial yang bergerak dan membutuhkan respons yang sigap terhadapnya.

Ada pelajaran menarik yang kita dapat ambil dari pengalaman Partai Kongres India. Turunnya pamor IndiaIndias Congress Party dan kegagalan dalam pertarungan elektoral melawan Bharatiya Janata Party (BJP) tidak dapat dilepaskan dari problem internal partai politik baik dalam keengganan dari kekuatan elite lama untuk merespons dinamika sosial yang terus berubah maupun dominasi mereka yang demikian kuat sehingga menolak tampilnya kekuatan-kekuatan baru untuk menyegarkan partai politik.

Seperti diutarakan oleh Subrata Kumar Mitra (1994) dalam Party Organization and Policy Making in a Changing Environment: The Indian National Congress jauh-jauh hari sebelumnya bahwa kelambanan pergerakan Partai Kongres India dalam konstelasi politik disebabkan kekuatan dominan konservatif di dalam partai (karena disebabkan oleh kepentingan politik yang cenderung elitis, maupun hambatan-hambatan organisasional) tidak mampu menangani isu-isu keadilan sosial dan operasi politik secara tepat dan terukur.

Sementara itu, loyalitas personal kepada elite daripada komitmen untuk mengembangkan partai menjadi penentu rekrutmen kepemimpinan politik maupun mobilitas politik dari setiap kader-kadernya. Problem politik di atas kemudian memanifes dalam bentuk terganjalnya rotasi kepemimpinan secara ajek dan terlembagakan dalam tubuh Partai Kongres India.

Apabila kita refleksikan kasus di atas, problem yang dialami Partai Kongres India di atas juga tengah dialami sebagian besar partai-partai di Indonesia. Secara umum partai-partai di Indonesia mengalami persoalan besar terkait problem demokratisasi partai, terutama sehubungan dengan problem rotasi dan rekrutmen kepemimpinan maupun mekanisme keterlibatan kader dalam pengambilan kebijakan.

Perubahan Politik

Selanjutnya kita akan mengambil contoh dua partai politik yang saat ini akan menjalankan kongres dalam waktu dekat yaitu PDI Perjuangan pada April 2015 dan Partai Amanat Nasional (PAN) pada Maret 2015. Pada kasus pertama setelah kekalahan politik dalam Pilpres 2004, PDI Perjuangan selama sepuluh tahun terakhir menjalankan strategi politik oposisional yang brilian dan efektif.

PDI Perjuangan dalam peran oposisionalnya memproduksi beberapa agensi pemimpin organik di tingkat lokal dan menjadi penyeimbang (counterpart ) bagi koalisi penguasa. Terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden pada 2014 adalah buah dari kerja keras tersebut. Kendati demikian, krisis politik justru saat PDI Perjuangan berkuasa.

Benturan antara kepentingan konservatif kekuatan oligarki dan kehendak pemerintah dan elemen-elemen progresif lainnya terartikulasi dalam krisis politik terkini. Berbeda dengan PDI Perjuangan, meskipun tidak terlepas dari problem karakter oligarki partai, PAN memiliki tradisi rotasi kepemimpinan politik yang cukup baik.

Sejak dilahirkan, partai ini melembagakan regenerasi dan pergantian kepemimpinan tiap satu periode (Amien Rais 1998-2005, Soetrisno Bachir 2005-2010, dan Hatta Rajasa 2010-2015). Dengan melembagakan regenerasi kepemimpinan politik, secara bertahap partai akan dapat memecahkan tantangan kelembaman birokratisasi partai. Meski demikian, PAN juga memiliki problem internalnya sendiri.

Perolehan suara pada Pemilu 2014 (47 kursi) dari Pemilu 2009 (42 kursi) dapat diapandang kurang memuaskan bila dibandingkan dengan perolehan partai-partai lain yang pada Pemilu 2009 berada pada posisi yang hampir setara (Partai Gerindra naik dari 26 menjadi 73 kursi, maupun PKB dari 28 menjadi 47 kursi). Ke depan PAN harus meneruskan tradisi rotasi kepemimpinan yang ajek seperti yang menjadi tradisi kepemimpinan yang telah dibangun.

Kepemimpinan partai saat ini harus menyadari bahwa kemajuan partai lebih penting dari ambisi kepentingan dalam jangka pendek. Sebagai sebuah agenda politik ke depan adalah menarik tawaran dari Ketua DPP PAN Zulkifli Hasan untuk memperkenalkan mekanisme konvensi calon presiden sebagai sebuah respons cerdas dari internal partai terhadap desakan perubahan politik dari luar.

Demikianlah bahwa dalam konteks berbagai peristiwa politik yang berlangsung di Indonesia, arus permukaan konflik, krisis, maupun negosiasi politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari proses dialektika yang berlangsung di internal setiap partai politik. Dalam kondisi demikian, seruan untuk melakukan demokratisasi di internal partai politik menjadi bagian penting bagi agenda reformasi politik di Indonesia.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0745 seconds (0.1#10.140)