Jurus Pendekar Mabuk

Rabu, 11 Februari 2015 - 10:40 WIB
Jurus Pendekar Mabuk
Jurus Pendekar Mabuk
A A A
Di era demokrasi sekarang ini tentu ada sensitivitas publik terhadap peristiwa yang diyakini bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Di antara nilai hakiki demokrasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat, tanpa rasa takut, bebas dari intimidasi dan provokasi. Apalagi jika ungkapan itu terkait dengan upaya pemberantasan korupsi yang telah sangat meresahkan.

Baik Deklarasi HAM Sedunia maupun kovenan internasional atas hak-hak sipil dan politik yang tertuang dalam Undang- Undang No 12 Tahun 2005 mewajibkan negara untuk menjamin adanya hak mengemukakan pendapat. Kebebasan berekspresi bukan hanya karena esensi atas hak itu sendiri, tetapi ia penting apabila hakhak asasi lainnya ingin dicapai.

Saat ini Indonesia sudah pada tahapan darurat korupsi. Hampir tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari praktik korupsi. Itu sebabnya para koruptor bersorak gembira dengan kondisi hukum Indonesia saat ini, terutama di saat KPK tidak berdaya. Kini perdebatan nasional justru soal perseteruan KPK versus Polri saja. Padahal isu sesungguhnya adalah upaya bangsa ini memerangi korupsi.

Topiknya justru beralih dan sering kali perdebatan melebar ke mana-mana. Dalam acara diskusi di Kantor YLBHI Jakarta, Minggu (1/2/2015), mantan Wamenkumham Denny Indrayana (DI) menyebut bahwa langkah Komjen Budi Gunawan (BG) mengajukan praperadilan KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mirip pendekar mabuk. Langkah itu tidak memiliki dasar hukum. Akibat dari pernyataan ini, DI dilaporkan ke polisi.

Soal Praperadilan

Mengutip DI, dasar hukum yang diajukan oleh pihak BG untuk mengajukan praperadilan tidak ada, asal-asalan. Atas dasar penilaian itulah, dengan tegas dianalogikan bahwa Komjen BG mempertontonkan jurus pendekar mabuk. Memang soal praperadilan Komjen BG ini memunculkan pembicaraan dan reaksi cukup luas.

Bangsa kita yang demokratis mestinya memaklumi saja ketika ada pihak yang pro atau kontra dengan langkah ini. Jangan ada pihak yang memaksakan pendapatnya sebagai yang paling benar sehingga antipati dengan pendapat orang lain. Mereka yang kontra dengan langkah praperadilan Komjen BG menilai bahwa apa yang dilakukan itu sebagai tindakan yang mengada-ada saja.

Pihak yang kontra dengan langkah BG berpendapat bahwa KUHAP telah secara rigid menentukan hal-hal yang dapat dipraperadilankan, yaitu: (1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, (2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan (pasal 77 huruf a)

(3) sah atau tidaknya pemasukan rumah, penggeledahan dan atau penyitaan (Pasal 82 ayat 1 huruf b jo Pasal 95 ayat 2 KUHAP), dan (4) terkait dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau pada tingkat penuntutan (Pasal 77 huruf b KUHAP).

Tidak terkait dengan status tersangka. Mungkin ini yang membuat Denny menyebut langkah Komjen BG menggunakan jurus pendekar mabuk. Namun mereka yang pro dengan langkah Komjen BG juga memiliki argumentasi, tidak sepenuhnya baseless. Dalam suatu dialog di media, Eggi Sudjana sebagai salah seorang pengacara Komjen BG pernah membeberkan argumentasinya mengajukan praperadilan.

Mereka berpatokan pada KUHAP dan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal 63 (1) UU KPK menegaskan: ”Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh KPK, bertentangan dengan Undang-Undang (KPK) atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.”

Adapun Pasal 63 (2) gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan jika terdapat alasan-alasan pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam perbedaan ini, paling tepat menjadi wasitnya adalah hakim yang pada posisi harus menerima permohonan praperadilan.

Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa/ mengadili suatu perkara yang diajukan dengan alasan hukum tidak/kurang jelas, hukumnya tidak ada, tidak lengkap atau tidak sempurna (Pasal 16 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman). Dalam kondisi ini, sebaiknya menunggu putusan hakim tunggal Sarpin Rizaldi walaupun dia mendapat sorotan di antaranya karena pernah diadukan atas sejumlah kasus ke KY.

Implikasi Kriminalisasi

Ada banyak hasil dari gerakan reformasi yang telah menelan banyak korban di negeri ini. Salah satu kenikmatan luar biasa dari reformasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat yang tidak dimiliki oleh banyak masyarakat di muka bumi ini. Di masa lalu Indonesia dikenal sebagai negara yang otoriter, penguasa yang sensitif atas kritikan.

Bahkan pembredelan terhadap media cetak dengan mudah dilakukan apabila dinilai suatu media terlalu kritis terhadap penguasa. Luar biasa buah dari reformasi yang diperjuangkan dengan susah payah oleh berbagai elemen dengan mahasiswa sebagai motor utamanya itu, kini Indonesia memiliki media yang sangat dinamis, sulit ditandingi oleh negara-negara tetangga.

Muncul kaum intelektual cerdas, kritis, dan berani menawarkan berbagai solusi. Semua ini terjadi dikarenakan adanya keberanian mengeluarkan pendapat dan penguasa tidak alergi dengan pendapat-pendapat kritis sekalipun. Ada beberapa implikasi dari tindakan mengepolisikan DI yang menganalogikan langkah BG sebagai jurus pendekar mabuk.

Implikasi pertama, adanya penilaian publik bahwa di era sekarang ini masih ada sekelompok masyarakat yang tetap memelihara pola pikirnya yang jauh ke belakang dalam soal kebebasan berpendapat. Salah seorang menteri saja ”berani berucap” bahwa mereka yang mendukung KPK adalah rakyat yang tidak jelas. Tapi reaksi publik tergolong ”biasa-biasa saja” dan malah dibalas dengan berbagai joke .

Implikasi kedua, tindakan mengkriminalisasi tersebut dapat mematikan sikap kritis banyak orang yang dalam porsi masing-masing telah memberikan sumbangsih bagi kemajuan negeri ini. Ada potensi, kriminalisasi itu diadopsi orang lain yang akan dengan mudah menggunakan pasal pencemaran nama baik. Padahal selama ini justru laporan masyarakat berkontribusi terhadap pemberantasan korupsi.

Masyarakat yang kritis juga berkontribusi dalam menciptakan good governance. Kriminalisasi dapat membuat publik ”takut,” seperti diwantiwanti akan dikepolisikan. Memang materi laporan terhadap DI belum tentu pidana. Mestinya, polisi tidak main ”pukul rata” terhadap setiap laporan yang terkait dengan BG agar tidak pula dinilai menggunakan jurus mabuk.

Di era Indonesia yang demokratis dan dinamis ini akan selalu ada potensi pencemaran nama baik. Mestinya bangsa kita sudah terbiasa dengan silang pendapat dalam berbagai rupa.

Prof Amzulian Rifai PHD
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6026 seconds (0.1#10.140)