Korea Utara dan KAA
A
A
A
Konferensi Asia Afrika (KAA) akan diselenggarakan pada 19-24 April 2015 di Bandung. Selain untuk ajang berkumpul negara-negara anggota, konferensi kali ini sekaligus memperingati 60 tahun terselenggaranya acara yang sama di tempat yang sama.
Konferensi ini mengandung makna historis mendalam karena ia dimulai sebagai ajang untuk mendorong gerakan dekolonisasi oleh 29 negara dan pada akhirnya KAA menghimpun lebih dari 100 negara di dunia. Tambahan lagi, KAA juga menggerakkan kegiatan solidaritas negara-negara berkembang yang miskin dan terhimpit oleh pertarungan kepentingan antara dua negara besar, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Banyak pihak yang melihat bahwa konferensi ini kemungkinan hanya sebatas seremonial belaka, karena dalam kenyataannya negaranegara Asia dan Afrika tidak lagi sama postur politik dan ekonominya dibandingkan 60 tahun yang lalu. Ada negara-negara Asia dan Afrika yang berkembang dan maju seperti Republik Rakyat China, Jepang, India, Indonesia, Thailand, tetapi ada juga yang masih tertinggal seperti Etiopia, Sudan, Laos, dan juga termasuk Korea Utara.
Korea Utara adalah negara yang cukup kontroversial pada saat ini, karena tingkah laku politik luar negeri yang terus memancing perhatian dunia dan meresahkan, khususnya bagi Amerika Serikat dan tetangganya, Korea Selatan. Negara-negara Barat telah mengeluarkan puluhan sanksi ekonomi, politik, dan militer kepada Korea Utara, namun hingga kini negara tersebut tetap bergeming sesuai yang diinginkan.
Tekanan terakhir setelah meninggalnya Kim Jong-il adalah sanksi dari Dewan Keamanan PBB No UNSCR 2094/2013 sebagai reaksi atas percobaan nuklir bawah tanah. Sanksi ini sendiri memuat tentang larangan atau pembekuan aset terhadap individu dan perusahaan untuk melakukan bisnis mereka di Eropa dan Amerika serta negaranegara lain.
Rangkaian sanksi tersebut memiliki tujuan untuk mengisolasi Korea Utara dari pergaulan dengan negara-negara lain, terutama dalam perdagangan dan politik luar negeri. Terkait dengan tujuan tersebut, rencana kedatangan Korea Utara ke Bandung pada bulan pelaksanaan KAA telah mengundang perhatian banyak pihak terutama dari diplomat Barat.
Mereka memiliki harapan supaya Indonesia juga dapat memberikan tekanan kepada Korea Utara agar seirama dengan tekanan yang dilakukan oleh dunia internasional. Apakah pemerintah Indonesia memiliki keinginan untuk turut serta menekan Korea Utara untuk mengubah perilakunya? Sejauh mana tekanan itu bermanfaat dan apa dampaknya bagi kepentingan strategi di masa depan?
Sejauh ini pemerintah Indonesia tampaknya akan tetap mengundang Korea Utara dalam konferensi di Bandung. Dalam sejarahnya, pemerintah Korea Utara memiliki hubungan baik dengan Indonesia. Megawati Soekarnoputri adalah presiden pertama di Asia yang mengunjungi Korea Utara setelah negara itu disebut sebagai Poros Setan oleh Presiden Amerika Serikat George Bush.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tahun lalu juga menghabiskan tiga harinya di Korea Utara untuk mendiskusikan peningkatan kerja sama ekonomi di antara kedua negara. Fakta-fakta ini bisa menjadi petunjuk bahwa Indonesia lebih menyukai diplomasi Timur yang lebih luwes. Diplomasi yang luwes terhadap negara-negara tertentu seperti Iran dan Suriah, juga dilakukan oleh Indonesia.
Saya berpendapat bahwa diplomasi semacam ini bisa menjadi penyeimbang dari diplomasi yang menuntut tekanan dan sanksi. Dalam sejarah, sanksi dan tekanan terhadap sebuah negara jarang yang membuahkan hasil positif. Efektivitas sanksi kadangkadang tidak menimbulkan reaksi yang diharapkan bahkan justru merugikan warga di dalam negerinya.
Contohnya terkait dengan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara, Hugh Griffiths dari Stockholm International Peace Institute yang menyelidiki sanksi terhadap Korea Utara, menemukan bahwa sanksi ekonomi diragukan efektivitasnya. Perusahaan yang mendapat sanksi memang mendapat kesulitan, tetapi masih banyak perusahaan negeri itu yang tercatat di luar negeri.
Mereka bisa menggunakan identitas lain dan akan tetap bertahan. Sebanyak 75% entitas bisnis dan individu terdaftar di luar badan hukum Korea Utara, demikian informasi dalam laporan tersebut. Ada pula dugaan bahwa sanksi ekonomi itu juga lebih banyak merugikan warga Korea Utara, sementara kaum elite tetap dapat bertahan.
Hal ini menimbulkan dampak lain berupa krisis kemanusiaan di mana warga Korea Utara justru dirugikan. Centre for Research on Globalization (CRG) menemukan juga bahwa isi sejumlah resolusi sanksi terhadap Korea Utara sangat luas interpretasinya, sehingga barang-barang yang menyangkut kesehatan atau fasilitas sarana yang dibutuhkan agar warga negara dapat bertahan hidup juga mendapat embargo.
Lembaga riset itu memberi contoh: penggunaan kata ”dapat (could) ” secara berlebihan terusmenerus terlihat dalam ketentuan sanksi, di mana kata tersebut berarti dapat dipakainya suatu instrumen tertentu (sebagai bentuk sanksi) dan di sini ketentuan maknanya samar-samar (vague ), sebatas ada ”reasonable grounds to believe ” (alasan yang masuk akal untuk meyakini sesuatu), sehingga tidak diperlukan standar bukti yang tinggi atau bukti-bukti nyata apa pun, semata bergantung pada keyakinan (belief ) yang subjektif yang dapat didasarkan pada atau dipengaruhi oleh distorsi akibat bias politik (Global Research, 10/1/2014).
Kritik terhadap sanksi sebetulnya juga pernah disampaikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan. Ia dalam sebuah seminar Perdamaian Internasional di Kanada tahun 2000 berpendapat bahwa ”sama seperti kita mengenali pentingnya sanksi sebagai cara menjalankan kehendak masyarakat internasional, kita juga patut mengenali bahwa sanksi merupakan instrumen kebijakan yang tumpul, yang merugikan sejumlah besar orang yang justru bukan merupakan target kebijakan itu sendiri.”
Sejak pidato tersebut, ada upaya untuk menjatuhkan smart-sanctions, yaitu sanksi terbatas terhadap individu atau perusahaan. Namun seperti yang diungkapkan oleh CRG, bahasa dalam sanksi begitu luas dan lentur untuk diinterpretasikan.
Walaupun ada juga analis yang mengatakan bahwa semua sanksi pasti menimbulkan biaya yang tidak diinginkan, Daniel Drezner (2010) mengutip pernyataan Michael Brzoska yang menyatakan bahwa embargo senjata menyebabkan biaya pencarian senjata meningkat dan mengurangi juga anggaran kesejahteraan warganya.
Larangan terhadap transportasi laut dan udara juga mengakibatkan lalu lintas perdagangan obat-obatan dan makanan menjadi terhambat. Dengan kata lain, mereka ingin mengatakan bahwa tidak ada yang dapat mengontrol sejauh mana sanksi menimbulkan konsekuensi. Smart atau tidak smart sama-sama merugikan non-targeted sektor.
Hal-hal seperti ini patut dikomunikasikan secara lebih luas sebagai dasar pilihan sikap Indonesia, baik sebagai suatu negara maupun sebagai anggota dan pelopor KAA. Semoga dengan demikian, baik Indonesia maupun KAA justru membawa angin segar bagi relasi antar negara!
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
Konferensi ini mengandung makna historis mendalam karena ia dimulai sebagai ajang untuk mendorong gerakan dekolonisasi oleh 29 negara dan pada akhirnya KAA menghimpun lebih dari 100 negara di dunia. Tambahan lagi, KAA juga menggerakkan kegiatan solidaritas negara-negara berkembang yang miskin dan terhimpit oleh pertarungan kepentingan antara dua negara besar, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Banyak pihak yang melihat bahwa konferensi ini kemungkinan hanya sebatas seremonial belaka, karena dalam kenyataannya negaranegara Asia dan Afrika tidak lagi sama postur politik dan ekonominya dibandingkan 60 tahun yang lalu. Ada negara-negara Asia dan Afrika yang berkembang dan maju seperti Republik Rakyat China, Jepang, India, Indonesia, Thailand, tetapi ada juga yang masih tertinggal seperti Etiopia, Sudan, Laos, dan juga termasuk Korea Utara.
Korea Utara adalah negara yang cukup kontroversial pada saat ini, karena tingkah laku politik luar negeri yang terus memancing perhatian dunia dan meresahkan, khususnya bagi Amerika Serikat dan tetangganya, Korea Selatan. Negara-negara Barat telah mengeluarkan puluhan sanksi ekonomi, politik, dan militer kepada Korea Utara, namun hingga kini negara tersebut tetap bergeming sesuai yang diinginkan.
Tekanan terakhir setelah meninggalnya Kim Jong-il adalah sanksi dari Dewan Keamanan PBB No UNSCR 2094/2013 sebagai reaksi atas percobaan nuklir bawah tanah. Sanksi ini sendiri memuat tentang larangan atau pembekuan aset terhadap individu dan perusahaan untuk melakukan bisnis mereka di Eropa dan Amerika serta negaranegara lain.
Rangkaian sanksi tersebut memiliki tujuan untuk mengisolasi Korea Utara dari pergaulan dengan negara-negara lain, terutama dalam perdagangan dan politik luar negeri. Terkait dengan tujuan tersebut, rencana kedatangan Korea Utara ke Bandung pada bulan pelaksanaan KAA telah mengundang perhatian banyak pihak terutama dari diplomat Barat.
Mereka memiliki harapan supaya Indonesia juga dapat memberikan tekanan kepada Korea Utara agar seirama dengan tekanan yang dilakukan oleh dunia internasional. Apakah pemerintah Indonesia memiliki keinginan untuk turut serta menekan Korea Utara untuk mengubah perilakunya? Sejauh mana tekanan itu bermanfaat dan apa dampaknya bagi kepentingan strategi di masa depan?
Sejauh ini pemerintah Indonesia tampaknya akan tetap mengundang Korea Utara dalam konferensi di Bandung. Dalam sejarahnya, pemerintah Korea Utara memiliki hubungan baik dengan Indonesia. Megawati Soekarnoputri adalah presiden pertama di Asia yang mengunjungi Korea Utara setelah negara itu disebut sebagai Poros Setan oleh Presiden Amerika Serikat George Bush.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tahun lalu juga menghabiskan tiga harinya di Korea Utara untuk mendiskusikan peningkatan kerja sama ekonomi di antara kedua negara. Fakta-fakta ini bisa menjadi petunjuk bahwa Indonesia lebih menyukai diplomasi Timur yang lebih luwes. Diplomasi yang luwes terhadap negara-negara tertentu seperti Iran dan Suriah, juga dilakukan oleh Indonesia.
Saya berpendapat bahwa diplomasi semacam ini bisa menjadi penyeimbang dari diplomasi yang menuntut tekanan dan sanksi. Dalam sejarah, sanksi dan tekanan terhadap sebuah negara jarang yang membuahkan hasil positif. Efektivitas sanksi kadangkadang tidak menimbulkan reaksi yang diharapkan bahkan justru merugikan warga di dalam negerinya.
Contohnya terkait dengan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara, Hugh Griffiths dari Stockholm International Peace Institute yang menyelidiki sanksi terhadap Korea Utara, menemukan bahwa sanksi ekonomi diragukan efektivitasnya. Perusahaan yang mendapat sanksi memang mendapat kesulitan, tetapi masih banyak perusahaan negeri itu yang tercatat di luar negeri.
Mereka bisa menggunakan identitas lain dan akan tetap bertahan. Sebanyak 75% entitas bisnis dan individu terdaftar di luar badan hukum Korea Utara, demikian informasi dalam laporan tersebut. Ada pula dugaan bahwa sanksi ekonomi itu juga lebih banyak merugikan warga Korea Utara, sementara kaum elite tetap dapat bertahan.
Hal ini menimbulkan dampak lain berupa krisis kemanusiaan di mana warga Korea Utara justru dirugikan. Centre for Research on Globalization (CRG) menemukan juga bahwa isi sejumlah resolusi sanksi terhadap Korea Utara sangat luas interpretasinya, sehingga barang-barang yang menyangkut kesehatan atau fasilitas sarana yang dibutuhkan agar warga negara dapat bertahan hidup juga mendapat embargo.
Lembaga riset itu memberi contoh: penggunaan kata ”dapat (could) ” secara berlebihan terusmenerus terlihat dalam ketentuan sanksi, di mana kata tersebut berarti dapat dipakainya suatu instrumen tertentu (sebagai bentuk sanksi) dan di sini ketentuan maknanya samar-samar (vague ), sebatas ada ”reasonable grounds to believe ” (alasan yang masuk akal untuk meyakini sesuatu), sehingga tidak diperlukan standar bukti yang tinggi atau bukti-bukti nyata apa pun, semata bergantung pada keyakinan (belief ) yang subjektif yang dapat didasarkan pada atau dipengaruhi oleh distorsi akibat bias politik (Global Research, 10/1/2014).
Kritik terhadap sanksi sebetulnya juga pernah disampaikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan. Ia dalam sebuah seminar Perdamaian Internasional di Kanada tahun 2000 berpendapat bahwa ”sama seperti kita mengenali pentingnya sanksi sebagai cara menjalankan kehendak masyarakat internasional, kita juga patut mengenali bahwa sanksi merupakan instrumen kebijakan yang tumpul, yang merugikan sejumlah besar orang yang justru bukan merupakan target kebijakan itu sendiri.”
Sejak pidato tersebut, ada upaya untuk menjatuhkan smart-sanctions, yaitu sanksi terbatas terhadap individu atau perusahaan. Namun seperti yang diungkapkan oleh CRG, bahasa dalam sanksi begitu luas dan lentur untuk diinterpretasikan.
Walaupun ada juga analis yang mengatakan bahwa semua sanksi pasti menimbulkan biaya yang tidak diinginkan, Daniel Drezner (2010) mengutip pernyataan Michael Brzoska yang menyatakan bahwa embargo senjata menyebabkan biaya pencarian senjata meningkat dan mengurangi juga anggaran kesejahteraan warganya.
Larangan terhadap transportasi laut dan udara juga mengakibatkan lalu lintas perdagangan obat-obatan dan makanan menjadi terhambat. Dengan kata lain, mereka ingin mengatakan bahwa tidak ada yang dapat mengontrol sejauh mana sanksi menimbulkan konsekuensi. Smart atau tidak smart sama-sama merugikan non-targeted sektor.
Hal-hal seperti ini patut dikomunikasikan secara lebih luas sebagai dasar pilihan sikap Indonesia, baik sebagai suatu negara maupun sebagai anggota dan pelopor KAA. Semoga dengan demikian, baik Indonesia maupun KAA justru membawa angin segar bagi relasi antar negara!
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(ftr)