Status Tersangka dan Perlindungan HAM
A
A
A
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Kecuali karena tertangkap tangan, pada umumnya untuk seseorang dinyatakan jadi tersangka harus melalui kegiatan penyelidikan, atau pengumpulan bahan keterangan yang dapat berawal dari laporan, pengaduan, keadaan, maupun rangkaian peristiwa. KUHAP tidak menjelaskan pengertian bukti permulaan. Juga tidak mempersyaratkan berapa banyak jumlah dan jenis bukti permulaan tersebut.
KUHAP bahkan tidak menjelaskan atau menentukan berapa lama seseorang menyandang status tersangka, baru akan dilimpahkan ke tahapan penuntutan. Yang diatur oleh KUHAP adalah kecukupan dan kelengkapan alat bukti sebagai persyaratan dilimpahkan dari tahapan penuntutan untuk diperiksa dalam sidang pengadilan, serta lamanya penahanan kepada tersangka atau terdakwa pada setiap tahapan pemeriksaan.
Bukti permulaan tidak sama dengan alat bukti. Bukti permulaan pada saat penyelidikan dapat saja berubah dengan alat bukti yang lain sejalan dengan perkembangan penyidikan. Mengingat diskresi, kewenangan dan subjektivitas yang besar kepada penegak hukum dapat berpengaruh secara langsung terhadap kebebasan asasi dan status hukum seseorang, maka mutlak perlu ada instrumen hukum, acuan, prosedur tetap, protokol dan pedoman yang mengikat dan dapat diuji serta dipertanggungjawabkan secara profesional, internal maupun eksternal kepada publik.
Beberapa aturan yang baik dan mengikuti logika berpikir tersebut dalam criminal justice system dikemukakan sebagai contoh. Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) diatur dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02- KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP- 076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/ 04/III/1984.
Di Kepolisian ada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Di lingkungan Kejaksaan Agung ada Peraturan Jaksa Agung RI No Per- 036/A/JA/ 09/2011tentang Standar Operasi Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Ada juga Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung RI No. Kep 1/1121/2005 dan Kep. IAIJ.A1121/2005.
Namun, ini lebih pada kerja sama institusional dalam rangka implementasi pelaksanaan tugas dan kewenangan seperti pelatihandanpertukaraninformasi, dan bukan dalam kaitannya dengan teknis penanganan perkara. Pada perkara pidana umum, ruang perlindungan pengujian atas hak-hak tersangka relatif lebih luas, karena ada persebaran kewenangan dan internal check antara instansi kepolisian pada lingkup penyelidikan hingga penyidikan dan kejaksaan pada lingkup penuntutan dan pelimpahan perkaranya ke pengadilan.
Gelar perkara, pemberian petunjuk oleh penuntut umum (kejaksaan) kepada penyidik (kepolisian) untuk melengkapi dan menyempurnakan berkas perkara, pelibatan penasihat hukum pada setiap tahapan pemeriksaan, mekanisme praperadilan adalah bagian dari due process of law dalam criminal justice system yang diatur oleh KUHAP.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan tugas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Adapun tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Undang-undang ini juga memberikan kewenangan dalam rangka pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan untuk melakukan penyadapan dan perekaman. Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang kurangnya dua alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik. atau optik.
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Kalau dalam KUHAP dibedakan institusi yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Undang- Undang KPK menyatukannya di dalam institusi tersebut.
Tidak disebutkan dalam undang- undang bahwa apabila bukti permulaan yang cukup telah terpenuhi maka seseorang akan otomatis atau pasti akan menjadi tersangka. Yang disebutkan adalah jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. (pasal 44).
Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan undang- undang ini (pasal 46).
Namun tidak dijelaskan prosedur khusus seperti apa yang akan berlaku. Kembali kepada pokok tulisan ini, mengingat penetapan seseorang menjadi tersangka tidak ada batas waktunya, maka adalah penting untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia serta demi kepastian hukum, ada aturan yang mengikat dan memberi akibat hukum baik terhadap para penegak hukum, dan instansinya.
Itulah juga salah satu implementasi esensi asas praduga tak bersalah. Perbaikan KUHAP yang akan datang hendaknya mengatur hal tersebut. Asas fundamental universal hak-hak asasi manusia menyatakan bahwa segala kuasa, hak, kewenangan, dan diskresi yang diberikan kepada suatu institusi atau perorangan yang membatasi dan mengekang hak asasi orang lain, harus ditetapkan dengan peraturan publik/perundang-undangan.
Catatan penting lainnya adalah, dalam hal ada suatu hal yang diatur oleh undang-undang lain dikesampingkan atau tidak diberlakukan berdasarkan undang-undang yang khusus, maka pengaturannya juga harus dengan undang-undang. Tidak boleh suatu pengecualian dari undang-undang, akan diatur oleh aturan yang lebih rendah dari undang-undang. Itulah esensi asas lex specialist derogates lex generalist. Penulis, Pemerhati Hukum - Alumni Pendidikan Reguler Lemhannas RI Jakarta, awalPebruari 2015.
Sampe L Purba
Pemerhati Hukum, Alumni Pendidikan Reguler Lemhanas RI.
Kecuali karena tertangkap tangan, pada umumnya untuk seseorang dinyatakan jadi tersangka harus melalui kegiatan penyelidikan, atau pengumpulan bahan keterangan yang dapat berawal dari laporan, pengaduan, keadaan, maupun rangkaian peristiwa. KUHAP tidak menjelaskan pengertian bukti permulaan. Juga tidak mempersyaratkan berapa banyak jumlah dan jenis bukti permulaan tersebut.
KUHAP bahkan tidak menjelaskan atau menentukan berapa lama seseorang menyandang status tersangka, baru akan dilimpahkan ke tahapan penuntutan. Yang diatur oleh KUHAP adalah kecukupan dan kelengkapan alat bukti sebagai persyaratan dilimpahkan dari tahapan penuntutan untuk diperiksa dalam sidang pengadilan, serta lamanya penahanan kepada tersangka atau terdakwa pada setiap tahapan pemeriksaan.
Bukti permulaan tidak sama dengan alat bukti. Bukti permulaan pada saat penyelidikan dapat saja berubah dengan alat bukti yang lain sejalan dengan perkembangan penyidikan. Mengingat diskresi, kewenangan dan subjektivitas yang besar kepada penegak hukum dapat berpengaruh secara langsung terhadap kebebasan asasi dan status hukum seseorang, maka mutlak perlu ada instrumen hukum, acuan, prosedur tetap, protokol dan pedoman yang mengikat dan dapat diuji serta dipertanggungjawabkan secara profesional, internal maupun eksternal kepada publik.
Beberapa aturan yang baik dan mengikuti logika berpikir tersebut dalam criminal justice system dikemukakan sebagai contoh. Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) diatur dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02- KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP- 076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/ 04/III/1984.
Di Kepolisian ada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Di lingkungan Kejaksaan Agung ada Peraturan Jaksa Agung RI No Per- 036/A/JA/ 09/2011tentang Standar Operasi Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Ada juga Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung RI No. Kep 1/1121/2005 dan Kep. IAIJ.A1121/2005.
Namun, ini lebih pada kerja sama institusional dalam rangka implementasi pelaksanaan tugas dan kewenangan seperti pelatihandanpertukaraninformasi, dan bukan dalam kaitannya dengan teknis penanganan perkara. Pada perkara pidana umum, ruang perlindungan pengujian atas hak-hak tersangka relatif lebih luas, karena ada persebaran kewenangan dan internal check antara instansi kepolisian pada lingkup penyelidikan hingga penyidikan dan kejaksaan pada lingkup penuntutan dan pelimpahan perkaranya ke pengadilan.
Gelar perkara, pemberian petunjuk oleh penuntut umum (kejaksaan) kepada penyidik (kepolisian) untuk melengkapi dan menyempurnakan berkas perkara, pelibatan penasihat hukum pada setiap tahapan pemeriksaan, mekanisme praperadilan adalah bagian dari due process of law dalam criminal justice system yang diatur oleh KUHAP.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan tugas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Adapun tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Undang-undang ini juga memberikan kewenangan dalam rangka pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan untuk melakukan penyadapan dan perekaman. Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang kurangnya dua alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik. atau optik.
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Kalau dalam KUHAP dibedakan institusi yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Undang- Undang KPK menyatukannya di dalam institusi tersebut.
Tidak disebutkan dalam undang- undang bahwa apabila bukti permulaan yang cukup telah terpenuhi maka seseorang akan otomatis atau pasti akan menjadi tersangka. Yang disebutkan adalah jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. (pasal 44).
Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan undang- undang ini (pasal 46).
Namun tidak dijelaskan prosedur khusus seperti apa yang akan berlaku. Kembali kepada pokok tulisan ini, mengingat penetapan seseorang menjadi tersangka tidak ada batas waktunya, maka adalah penting untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia serta demi kepastian hukum, ada aturan yang mengikat dan memberi akibat hukum baik terhadap para penegak hukum, dan instansinya.
Itulah juga salah satu implementasi esensi asas praduga tak bersalah. Perbaikan KUHAP yang akan datang hendaknya mengatur hal tersebut. Asas fundamental universal hak-hak asasi manusia menyatakan bahwa segala kuasa, hak, kewenangan, dan diskresi yang diberikan kepada suatu institusi atau perorangan yang membatasi dan mengekang hak asasi orang lain, harus ditetapkan dengan peraturan publik/perundang-undangan.
Catatan penting lainnya adalah, dalam hal ada suatu hal yang diatur oleh undang-undang lain dikesampingkan atau tidak diberlakukan berdasarkan undang-undang yang khusus, maka pengaturannya juga harus dengan undang-undang. Tidak boleh suatu pengecualian dari undang-undang, akan diatur oleh aturan yang lebih rendah dari undang-undang. Itulah esensi asas lex specialist derogates lex generalist. Penulis, Pemerhati Hukum - Alumni Pendidikan Reguler Lemhannas RI Jakarta, awalPebruari 2015.
Sampe L Purba
Pemerhati Hukum, Alumni Pendidikan Reguler Lemhanas RI.
(ftr)