Ra Popo Itu Mantra Sakti

Senin, 02 Februari 2015 - 10:36 WIB
Ra Popo Itu Mantra Sakti
Ra Popo Itu Mantra Sakti
A A A
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: dandanggula
@hotmail.com


Pasangan Jokowi-JK telah memenangkan kontes politik yang disebut pemilihan umum dengan anggun, tapi dibuat ruwet oleh berbagai orang dengan berbagai kepentingan.

Dalam masa penuh ketegangan waktu itu, pikiran dan perasaan bangsa Indonesia terkuras. Ada orang yang tak merasa malu, yang memperpanjang ketegangan itu dengan berbagai ulah politik. Tapi, menang adalah menang. Pasangan Jokowi-JK menunjukkan dengan baik bahwa mereka menang.

Jokowi difitnah secara keji lewat jalur umat Islam, tapi beliau tidak bereaksi. Ketika wartawan bertanya, jawabnya pendek: “ra popo“, Prinsipnya, tidak apa-apa, tidak ada masalah. Difitnah bahwa dirinya bukan muslim, reaksi beliau sama: “ra popo “. Banyak tuduhan, yang bersifat fitnah, dijawab dengan kalem: “ra popo “ tadi.

Saat itu fenomena “ra popo“ itu tampak menonjol. Sikap percaya diri beliau sangat besar. Sikap pemaafnya agak luar biasa. Sesudah kemenangannya bisa diterima oleh mereka yang kalah, beliau betul-betul “ra popo“.Ini berarti beliau sehat, selamat, dan bahagia. Ada tokoh yang tak setuju dengan sikap serba-”ra popo“ itu. Baginya, ini dianggap meremehkan persoalan penting.

Seorang pemimpin, kata tokoh tersebut, tak boleh sebentarsebentar berkata “ra popo“. Baginya, ada persoalan-persoalan yang harus dihadapi dengan sikap lebih serius dan menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar. Sikap serba- ”ra popo “ itu dianggap tidak pantas. Tapi, pendapat itu bukan satu-satunya kebenaran.

Orang yang lapang dada dan berjiwa besar mengapa tak boleh bersikap rileks, serileks-rileksnya, sehingga semua persoalan lalu dihadapi dengan sikap “ra popo“? Apa serius dan rasa tanggung jawab itu berarti bahwa fitnah harus dibalas fitnah? Apa bedanya tukang fitnah dengan orang baik, yang punya keluhuran dalam politik? Mengapa marah harus dibalas marah?

Dalam mitologi Jawa, ada tokoh bernama Puntadewa. Ini tokoh serbatulus dan hidupnya damai lahirbatin. Sikap Jokowi yang damai itu membuat konstelasi politik masa itu menjadi lebih damai. Kalau menghadapi “serangan” lawan Jokowi ganti “menyerang”, suasana kehidupan politik jelas akan bertambah panas.

Para empu kehidupan yaitu para tokoh dunia rohani berpendapat, kalau suatu persoalan disikapi sebagai bukan persoalan, niscaya dia akan benarbenar menjadi bukan persoalan. Menghadapi keruwetan hidup dengan sikap “ra popo “ itu memiliki dua kemungkinan: pertama, itu menjadi “doa” yang dikabulkan, dan kedua, merupakan “mantra”. Boleh jadi bahkan merupakan “mantra sakti”.

Orang baik dan tulus jiwanya selalu diberi keistimewaan untuk memiliki sejenis “mantra sakti” itu. Kesaktian mantra itu bisa dibuktikan, tiap sabda menjadi fakta, tiap jenis citacita bisa dicapai, dan apa pun yang diciptanya terwujud. Ini kearifan dan corak kesaktianorang- orangzamandulu.

Apakah Jokowi punya warisan darah orang arif-bijaksana dari masa lalu? Mengapa tiap yang ditanggapidengansikap“rapopo “ lalu betul-betul “ra popo “ dan tidak menjadi masalah sama sekali? Pak Presiden, ini daya energi macam apa? Sekarang persoalannya agak lain. Ketika kebijakan beliau disorot publik dan di antara mereka ada pula para pendukung setianya, Presiden dimohon mendengar suara rakyat yang tulus memihak kepadanya.

Jangan dengarkan menteri yang menganggap rakyat itu sesuatu yang tak jelas. Presiden punya sikap sendiri yang lebih bagus dan lebih bijaksana. Orang baik, bersih, dan bijaksana itu mahal sekali. Hebat. Tapi, pemimpin bangsa tidak cukup sekadar baik, bersih, dan bijaksana. Posisi moral politiknya harus jelas. Pemihakannya pada kebenaran tak perlu diragukan.

Maka, bila ada orang yang terindikasi apalagi sudah terbukti korup, pemimpin wajib menghadapinya dengan tegas. Bahkan harus lebih tegas dibanding siapa pun di kolong langit ini. Orang baik, bersih, dan bijaksana, serta tegas sikapnya, tak perlu dinasihati orang lain karena sudah mampu menasihati diri sendiri. Beliau pun tak perlu diberi saran orang lain karena sudah ahli memberi saran bagi dirinya sendiri.

Di masyarakat pun tak perlu ada keluhan karena beliau sudah mendengar sebelum orang mengeluh. Pendeknya, beliau sudah mendengar apa yang tak terdengar. Ini memang pekerjaan berat dan terasa agak istimewa. Ketika ada keluhan, orang yang korup jangan dijadikan pejabat negara, jawabnya harus jelas: “memang tidak”. Boleh pula ditambah: “dan saya tak berniat menjadikannya pejabat”.

Syukur bila kemudian berpidato untuk memberi penegasan: “Jangan khawatir. Apa yang anda semua pikirkan juga hal yang saya pikirkan.” Wah, kalau begini keadaannya, betapa mentereng pemimpin kita. Tapi, kalau menghadapi keluhan tadi diam-diam jawabnya “ra popo “, saat itu beliau bukan lagi “tulodho“, bukan teladan yang wajib didengar. Ini ibarat Subali yang sudah ditinggalkan oleh Wisnu, yang semula, sejak lama, ada di dalam dirinya.

Kita tahu, Subali ditinggalkan Wisnu berarti kehilangan kedewataan. Watak dewa pada makhluk biasa itu pendeknya tidak ada lagi. Kita juga tahu, kehilangan kedewataan itu tinggal ibarat “kayu growong kanggonan tekek“, ibarat pohon besar berlubang yang ditempati tokek. Ini kayu yang tak ada gunanya.

Sesudah 100 hari memerintah, Jokowi disorot mata publik, dengan pertanyaan, dengan keraguan, dengan kritik, dan bahkan dengan kemarahan dan rasa kecewa. Tapi, ada juga yang tetap berharap dengan sikap mendukung. Jangan risau Pak Presiden, mereka berhak berbuat begitu. Tapi, 100 hari itu belum apaapa.

Prestasi seseorang belum bisa ditentukan dalam masa sependek itu. Mungkin ada jawaban psikologis yang menyenangkan: jangan jadi Subali yang ditinggalkan Wisnu. Jangan menjadi “kayu growong dinggoni tekek “ tadi. Orang baik, bersih, dan bijaksana, yang sudah belajar bersikap tegas, niscaya tak khawatir menghadapi apa yang bisa dianggap “tim penilai” tadi. Silakan menilai, “ra popo“.

Lakukan saja. Jangan lupa, “ra popo “ itu seonggok kata yang memiliki kekuatan mantra sakti seperti sudah terbukti pada masa pemilu tempo hari. “Ra popo “ bukan sembarang kata. Dia punya pengaruh, dia punya wibawa. Tapi, saat ini, ketika keadaan terasa agak genting dan mencemaskan, kata sebagai sekadar kata tak cukup.

Suara rakyat harus didengar. Kalau ada menteri bilang: rakyat yang tak jelas jangan didengar, Pak Presiden boleh bilang: “ra popo “. Saya mendoakan, semoga “ra popo “ ini menjadi kekuatan “mantra sakti”.
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0891 seconds (0.1#10.140)