Mengukur Dampak Quantitative Easing Eropa
A
A
A
Sunarsip
Komisaris PT Bank BRI Syariah
Di tengah hiruk-pikuk situasi perpolitikan di Indonesia, sesungguhnya di luar sana: Eropa, sedang terjadi kejadian yang tak kalah pentingnya untuk dicermati.
Saya katakan tak kalah penting, karena kejadian tersebut dapat dipastikan akan memberikan dampak bagi perekonomian Indonesia, terutama bagi pasar keuangan kita dan khususnya nilai tukar rupiah. Kejadian apa itu? Yaitu keputusan Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ ECB) untuk menerapkan kebijakan Quantitative Easing (QE) pada 22 Januari 2015 kemarin, sebagaimana yang sebelumnya diterapkan Amerika Serikat (AS).
Kebijakan QE ini sederhananya adalah sama dengan ECB mencetak uang. Kemudian, uang tersebut oleh ECB dipakai untuk membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah dan institusi keuangan di Eropa. Bagi lembaga keuangan, uang hasil penjualan obligasi ini digunakan untuk penyaluran kredit.
Sementara bagi pemerintah, uang hasil penjualan obligasi yang dibeli ECB tersebut dipakai untuk membiayai belanja pemerintah. Sebagaimana diumumkan oleh Presiden ECB Mario Draghi, ECB akan membelanjakan dana sebesar 60 miliar euro (atau sekitar USD70 miliar) per bulan mulai Maret 2015 setidaknya hingga September 2016 untuk membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah dan lembaga keuangan di Eropa.
Belanja sebesar 60 miliar euro tersebut rinciannya adalah: 10 miliar euro merupakan program pembelian berupa covered bonds dan asset-backed securities (bentuk utang yang aman yang diterbitkan oleh bank) yang telah lebih dulu dilakukan ECB, sedangkan 50 miliar euro sisanya merupakan program tambahan yang digunakan untuk membeli obligasi pemerintah dan lembaga keuangan di Eropa.
Meski secara prinsip serupa dengan program QE yang dilakukan AS sejak 2008 lalu, mekanisme dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi QE oleh ECB ini lebih rumit. Program QE Eropa ini dilakukan pada 19 negara anggota Euro dengan skala dan persoalan ekonomi yang beragam. Dari 19 negara Euro tersebut, Jerman merupakan negara yang relatif paling stabil perekonomiannya.
Obligasi yang diterbitkan Jerman (sovereign bond) rating-nya paling tinggi, yaitu AAA. Di sisi lain, Yunani merupakan negara dengan krisis yang relatif paling berat dan sovereign bond-nya sudah masuk kategori “junk bond” karena rating-nya Caa1 (menurut Mody’s) di bawah investment grade(BBB-).
Tidak mengherankan bila sebelum kebijakan QE ini diluncurkan, kecurigaan muncul dari anggota Euro yang memiliki kondisi perekonomian yang relatif lebih sehat (terutama Jerman). Kecurigaan tersebut berupa kekhawatiran bahwa negara maju di Eropa yang akan menanggung bila surat utang yang akan dibeli ECB mengalami gagal bayar (default).
Perlu diketahui, ECB merupakan gabungan dari bank sentral dari masing-masing negara Euro dengan sharing berdasarkan modal yang disetorkan di ECB. Jerman saat ini merupakan anggota dengan share tertinggi, yaitu 25,6%. Bila ECB bangkrut, misalnya, maka setiap anggota ECB harus menginjeksi modal sesuai dengan share yang dimilikinya. Itulah kenapa Jerman cenderung menolak bila ECB membeli surat berharga yang rating-nya buruk, seperti obligasi Yunani.
Mekanisme QE Eropa
Mekanisme QE Eropa ini dimulai dengan ECB yang akan membeli seluruh obligasi, yang diterbitkan di Eropa. Selain ECB, bank sentral masing-masing negara Eropa (The national central banks/NCBs) akan membeli obligasi yang diterbitkan pemerintahnya pada Maret 2015.
Meskipun dinyatakan bahwa program ini akan dilakukan sampai September 2016, tidak menutup kemungkinan program ini akan berlanjut bila sasaran inflasi minimal sebesar 2% tidak tercapai. Perlu diketahui, dalam beberapa tahun terakhir ini, inflasi di Eropa berada di bawah nol (deflasi). Deflasi ini telah menurunkan tensi perekonomian Eropa sehingga tidak mampu mengangkat laju pertumbuhan ekonomi, sekalipun suku bunga perbankan sudah sangat rendah.
Besarnya obligasi pemerintah yang dibeli NCBs adalah proporsional dengan skala ekonomi negaranya dibanding kawasan Euro secara keseluruhan. NCBs juga membeli obligasi yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga keuangan di Eropa, seperti European Investment Bank, sekitar 12% dari seluruh obligasi baru yang dibeli. Bagi pembelian obligasi ini, risiko akan dibagi antara ECB dan NCBs. ECB sendiri akan membeli sekitar 8% dari total obligasi pemerintah.
Sehingga secara total, terdapat 20% obligasi yang dibeli dari program QE ini yang risikonya akan dibagi antara ECB dan NCBs. Sisanya, 80%, NCBs yang akan menanggung risiko yang muncul dari program pembelian obligasi tersebut.
Implikasi QE Eropa
Implikasi dari kebijakan QE ini tentunya beragam. Kebijakan QE akan membuat nilai mata uang euro melemah dan tingkat suku bunga menurun. Dilihat dari kepentingan pelaku pasar keuangan, QE akan merugikan investor bila menempatkan dana mereka dalam bentuk euro. Karena itu, pemilik dana akan mencari tempat investasi baru bagi penempatan dana mereka.
Kemungkinan besar para pemilik dana (portofolio) akan menempatkan dananya ke emerging markets, karena saat ini tingkat suku bunga di AS belum bergerak naik, di sisi lain tingkat suku bunga di emerging markets (termasuk Indonesia) relatif tinggi. Pelemahan euro akan mendorong ekspor Eropa menjadi lebih kompetitif. Kebijakan QE Eropa ini akan membuat dolar AS menjadi lebih kuat dibanding euro, sehingga yang terlihat adalah barang dan jasa produksi Eropa lebih murah dibanding produk AS.
Penguatan dolar AS berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan inflasi AS. Dolar AS telah mengalami penguatan 15% terhadap mata uang mitra dagang AS selama 2014 lalu. Penguatan dolar AS memiliki tiga implikasi penting bagi AS. Pertama, menurunkan laju inflasi yang berarti berpotensi mengancam upaya The Fed untuk mewujudkan inflasi mendekati 2%.
Kedua, memperlemah kinerja ekspor dan selanjutnya berdampak pada kinerja pertumbuhan ekonomi AS. Ketiga, penguatan dolar AS akan menaikkan nilai aset keuangan di AS yang berpotensi “memanaskan” pasar dan menimbulkan asset bubbles. Perlu diketahui, The Fed saat ini dalam proses untuk mengakhiri kebijakan QE-nya.
The Fed juga berencana akan menaikkan suku bunga acuannya sekitar April 2015, setelah melihat perkembangan ekonomi AS yang tumbuh relatif baik. Namun dengan diberlakukannya QE di Eropa, kondisi ini berpotensi menjadi “insentif” bagi Bank Sentral AS, The Fed, untuk menunda lebih lama lagi rencana menaikkan tingkat suku bunga acuannya.
Dengan konfigurasi ini, peluang bagi mata uang emerging markets menguat cukup besar. Pasar keuangan Indonesia bisa memanfaatkan kondisi pelemahan nilai mata uang euro ini untuk menarik dana asing sebesar- besarnya baik melalui penerbitan saham maupun obligasi.
Dengan kata lain, kebijakan QE ini relatif lebih menguntungkan posisi Indonesia. Bila situasi fundamental ekonomi dan politik Indonesia membaik, potensi penguatan nilai tukar rupiah lebih terbuka pascakebijakan QE ini. Semoga saja situasi ekonomi dan politik kita saat ini siap menangkap sinyal positif ini!
Komisaris PT Bank BRI Syariah
Di tengah hiruk-pikuk situasi perpolitikan di Indonesia, sesungguhnya di luar sana: Eropa, sedang terjadi kejadian yang tak kalah pentingnya untuk dicermati.
Saya katakan tak kalah penting, karena kejadian tersebut dapat dipastikan akan memberikan dampak bagi perekonomian Indonesia, terutama bagi pasar keuangan kita dan khususnya nilai tukar rupiah. Kejadian apa itu? Yaitu keputusan Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ ECB) untuk menerapkan kebijakan Quantitative Easing (QE) pada 22 Januari 2015 kemarin, sebagaimana yang sebelumnya diterapkan Amerika Serikat (AS).
Kebijakan QE ini sederhananya adalah sama dengan ECB mencetak uang. Kemudian, uang tersebut oleh ECB dipakai untuk membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah dan institusi keuangan di Eropa. Bagi lembaga keuangan, uang hasil penjualan obligasi ini digunakan untuk penyaluran kredit.
Sementara bagi pemerintah, uang hasil penjualan obligasi yang dibeli ECB tersebut dipakai untuk membiayai belanja pemerintah. Sebagaimana diumumkan oleh Presiden ECB Mario Draghi, ECB akan membelanjakan dana sebesar 60 miliar euro (atau sekitar USD70 miliar) per bulan mulai Maret 2015 setidaknya hingga September 2016 untuk membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah dan lembaga keuangan di Eropa.
Belanja sebesar 60 miliar euro tersebut rinciannya adalah: 10 miliar euro merupakan program pembelian berupa covered bonds dan asset-backed securities (bentuk utang yang aman yang diterbitkan oleh bank) yang telah lebih dulu dilakukan ECB, sedangkan 50 miliar euro sisanya merupakan program tambahan yang digunakan untuk membeli obligasi pemerintah dan lembaga keuangan di Eropa.
Meski secara prinsip serupa dengan program QE yang dilakukan AS sejak 2008 lalu, mekanisme dan tantangan yang dihadapi dalam implementasi QE oleh ECB ini lebih rumit. Program QE Eropa ini dilakukan pada 19 negara anggota Euro dengan skala dan persoalan ekonomi yang beragam. Dari 19 negara Euro tersebut, Jerman merupakan negara yang relatif paling stabil perekonomiannya.
Obligasi yang diterbitkan Jerman (sovereign bond) rating-nya paling tinggi, yaitu AAA. Di sisi lain, Yunani merupakan negara dengan krisis yang relatif paling berat dan sovereign bond-nya sudah masuk kategori “junk bond” karena rating-nya Caa1 (menurut Mody’s) di bawah investment grade(BBB-).
Tidak mengherankan bila sebelum kebijakan QE ini diluncurkan, kecurigaan muncul dari anggota Euro yang memiliki kondisi perekonomian yang relatif lebih sehat (terutama Jerman). Kecurigaan tersebut berupa kekhawatiran bahwa negara maju di Eropa yang akan menanggung bila surat utang yang akan dibeli ECB mengalami gagal bayar (default).
Perlu diketahui, ECB merupakan gabungan dari bank sentral dari masing-masing negara Euro dengan sharing berdasarkan modal yang disetorkan di ECB. Jerman saat ini merupakan anggota dengan share tertinggi, yaitu 25,6%. Bila ECB bangkrut, misalnya, maka setiap anggota ECB harus menginjeksi modal sesuai dengan share yang dimilikinya. Itulah kenapa Jerman cenderung menolak bila ECB membeli surat berharga yang rating-nya buruk, seperti obligasi Yunani.
Mekanisme QE Eropa
Mekanisme QE Eropa ini dimulai dengan ECB yang akan membeli seluruh obligasi, yang diterbitkan di Eropa. Selain ECB, bank sentral masing-masing negara Eropa (The national central banks/NCBs) akan membeli obligasi yang diterbitkan pemerintahnya pada Maret 2015.
Meskipun dinyatakan bahwa program ini akan dilakukan sampai September 2016, tidak menutup kemungkinan program ini akan berlanjut bila sasaran inflasi minimal sebesar 2% tidak tercapai. Perlu diketahui, dalam beberapa tahun terakhir ini, inflasi di Eropa berada di bawah nol (deflasi). Deflasi ini telah menurunkan tensi perekonomian Eropa sehingga tidak mampu mengangkat laju pertumbuhan ekonomi, sekalipun suku bunga perbankan sudah sangat rendah.
Besarnya obligasi pemerintah yang dibeli NCBs adalah proporsional dengan skala ekonomi negaranya dibanding kawasan Euro secara keseluruhan. NCBs juga membeli obligasi yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga keuangan di Eropa, seperti European Investment Bank, sekitar 12% dari seluruh obligasi baru yang dibeli. Bagi pembelian obligasi ini, risiko akan dibagi antara ECB dan NCBs. ECB sendiri akan membeli sekitar 8% dari total obligasi pemerintah.
Sehingga secara total, terdapat 20% obligasi yang dibeli dari program QE ini yang risikonya akan dibagi antara ECB dan NCBs. Sisanya, 80%, NCBs yang akan menanggung risiko yang muncul dari program pembelian obligasi tersebut.
Implikasi QE Eropa
Implikasi dari kebijakan QE ini tentunya beragam. Kebijakan QE akan membuat nilai mata uang euro melemah dan tingkat suku bunga menurun. Dilihat dari kepentingan pelaku pasar keuangan, QE akan merugikan investor bila menempatkan dana mereka dalam bentuk euro. Karena itu, pemilik dana akan mencari tempat investasi baru bagi penempatan dana mereka.
Kemungkinan besar para pemilik dana (portofolio) akan menempatkan dananya ke emerging markets, karena saat ini tingkat suku bunga di AS belum bergerak naik, di sisi lain tingkat suku bunga di emerging markets (termasuk Indonesia) relatif tinggi. Pelemahan euro akan mendorong ekspor Eropa menjadi lebih kompetitif. Kebijakan QE Eropa ini akan membuat dolar AS menjadi lebih kuat dibanding euro, sehingga yang terlihat adalah barang dan jasa produksi Eropa lebih murah dibanding produk AS.
Penguatan dolar AS berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan inflasi AS. Dolar AS telah mengalami penguatan 15% terhadap mata uang mitra dagang AS selama 2014 lalu. Penguatan dolar AS memiliki tiga implikasi penting bagi AS. Pertama, menurunkan laju inflasi yang berarti berpotensi mengancam upaya The Fed untuk mewujudkan inflasi mendekati 2%.
Kedua, memperlemah kinerja ekspor dan selanjutnya berdampak pada kinerja pertumbuhan ekonomi AS. Ketiga, penguatan dolar AS akan menaikkan nilai aset keuangan di AS yang berpotensi “memanaskan” pasar dan menimbulkan asset bubbles. Perlu diketahui, The Fed saat ini dalam proses untuk mengakhiri kebijakan QE-nya.
The Fed juga berencana akan menaikkan suku bunga acuannya sekitar April 2015, setelah melihat perkembangan ekonomi AS yang tumbuh relatif baik. Namun dengan diberlakukannya QE di Eropa, kondisi ini berpotensi menjadi “insentif” bagi Bank Sentral AS, The Fed, untuk menunda lebih lama lagi rencana menaikkan tingkat suku bunga acuannya.
Dengan konfigurasi ini, peluang bagi mata uang emerging markets menguat cukup besar. Pasar keuangan Indonesia bisa memanfaatkan kondisi pelemahan nilai mata uang euro ini untuk menarik dana asing sebesar- besarnya baik melalui penerbitan saham maupun obligasi.
Dengan kata lain, kebijakan QE ini relatif lebih menguntungkan posisi Indonesia. Bila situasi fundamental ekonomi dan politik Indonesia membaik, potensi penguatan nilai tukar rupiah lebih terbuka pascakebijakan QE ini. Semoga saja situasi ekonomi dan politik kita saat ini siap menangkap sinyal positif ini!
(ars)