The Man Who Never Meet Strangers

Kamis, 22 Januari 2015 - 10:10 WIB
The Man Who Never Meet...
The Man Who Never Meet Strangers
A A A
ZAINAL ABIDIN
Rektor Institut Kemandirian Dompet Dhuafa,
Direktur Pengawasan dan Kepatuhan TDA

Lepas zuhur di Kemchicks Café, kawasan Kemang. Hanya 1-2 kursi yang kosong. Sebagian pengunjung sedang menikmati makan siang dengan menu masing-masing. Kami: Om Bob Sadino, Pak Marlock, dan saya duduk di meja favorit kami bersama, di depan bar.

Om, seperti biasa, duduk menghadap pintu masuk. Menu istimewa saya sesuai pesanan Om, tak pernah berubah. Tenderloin medium well with frenchfries. Aku minta satu dua potong aja, Jay. Pintu kaca Kemchicks dibuka seseorang. Seorang perempuan muda munculdari balikpintu, diikuti oleh seorang perempuan yang lebih tua. Pasti ibunya, pikir saya. Saya lihat Om melambaikan tangan ke arah dua perempuan anak-beranak itu. Senyum mengembangdibibirnya.

Kedua orang yang awalnya hendak bergerak menuju rak-rak aneka produk, kemudian membelokkan langkahnya ke arah Om. Om bangkit dari kursi, mengulurkan tangannya kepada kedua tamu Kemchicks yang baru datang, lalu cipika-cipiki. Si ibu menanyakan kabar dan kesehatan Om. Akrab sekali. Dilanjutkan dengan basa-basi sejenak, kedua tamu itu diperkenalkan kepada kami sebelum melangkah menuju ruang belanja. Ahaaaai, cuma salaman doang ...

Om duduk kembali, dan saya bertanya. “Siapa, Om?” “Nggak tahu, jawab Om sambil menggelengkan kepalanya. Gantian saya yang menggelengkan kepala. Bagaimana mungkinorangyang nggakkenal, bisa akrab bicara, bahkan sampai cipika-cipiki. Tapi belakangan saya tahu persis, begitulah adanya. Om memang orang yang mudah akrab, dengan siapa saja.

Bagi saya, Omadalah themanwho never meet strangers. Bisa jadi, kemampuan komunikasinya itulah yang membuat pelanggan Kemchicks datang dan datang lagi, tak bisa pindah ke lain toko. Belum pernah saya melihat pemilik Gelael, Hero, Alfa, Indomaret atau minimarket lain yang menyambut dengan ramah kehadiran para pelanggannya. Tapi di Kemchicks, hal seperti itu saya jumpai setiap kali saya ke sana. Dan, beliau bisa bicara dalam banyak bahasa.

Bukan cuma bahasa asing, tapi juga bahasa daerah. Om lancar bicara bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Mandarin, Korea, dan Jepang. Sayangnya, saya tidak pernah dengar beliau bicara bahasa Arab. Beberapa bahasa daerah juga dikuasainya, seperti bahasa Padang, Jawa, Sunda, dan Bali. Waktu di Pontianak, saya sempat dengar beliau lontarkan beberapa kosakata bahasa Dayak. Karena Om tahu saya orang Betawi, beliau juga enak sekali bicara lu-gue dengan saya.

Sekitar 18 tahunan saya mengenal Om Bob. Dari tidak kenal, lalu berkenalan di sebuah seminar dalam perkenalan yang tidak umum. Saat seminar, saya bertanya soal apa yang harus dilakukan oleh sarjana peternakan yang mau mulai usaha. Jawabannya bukan nasihat, tapi sebuah kata yang menggelegar bagai petir di siang bolong. “Goblok!” Ilmunya kamu punya, tapi praktiknya lebih banyak yang saya lakukan! Itu jawaban sang legenda, Om Bob Sadino.

Sederhana, tapi dalam menusuk sampai ke dasar hati. Kata orang sekarang, sakitnya tuh di sini ... Beliau tahu persis kepada siapa satu kata itu diarahkan. Bertahun-tahun mendampingi beliau dalam banyak seminar, saya jadi sedikit tahu salah satu kriteria orang yang pantas dapat ucapan itu: orang yang banyak pengetahuan, tapi sedikit bertindak! Siangnya, kami makan bersama.

Dan perkenalan pun berlanjut, sampai kami dekat bukan hanya secara pribadi, tapi juga melibatkan keluarga. Setelah saya menulis buku Monyet Aja Bisa Cari Duit tahun 2009, Om lebih suka menyapa saya dengan Nyet daripada nama saya. Almarhumah tante, lebih sering menanyakan kabar istri saya dengan Bu monyet ke mana?

Satu hal yang sering dititiptanyakan teman-teman saya di Dompet Dhuafa, adalah soal yang berkaitan dengan celana buntung dan hem tanpa lengan yang menjadi pakaian kebangsaan Om. Dengan pakaian seperti itu, memunculkan persepsi bahwa Om bukanlah orang yang religius.

‘Wong pakaiannya saja mengumbar aurat!’ Kedekatan yang cukup lama, mendampingi Om di dalam dan luar negeri membuat saya menyimpulkan, bahwa Om memang berkehendak dipersepsikan seperti itu. Beberapa kali saat di kamar by safeweb">hotel di luar kota, saya ‘pergoki’ beliau sedang salat, dengan caranya sendiri. Pakai sarung, duduk di kursi dan salat dengan isyarat.

Sejak tante meninggal dunia pertengahan Ramadan 2014, kondisi kesehatan Om menurun drastis, walau tidak ada penyakit spesifik. Beberapa kali Om keluar- masuk rumah sakit. Senin dinihari, pukul01.20,19Januari 2015, sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Om kritis di RSPI. Denyut jantungnya melemah. Lantunan surah Yasin yang dibaca beberapa orang yang menunggui terdengar pelan. Agaknya malaikat maut sudah harus menjalankan tugasnya.

Menjelang masuk waktu magrib, di redupnya langit Jakarta, Om mengembuskan napas terakhir. Pelan. Tenang. Di antara orangorang tercintanya, Om pergi menghadap Sang Pencipta. Isak tangis pun pecah di ruangan perawatan di RSPI. Saya tulis sebuah SMS ke istri saya: Om sudah berangkat ... Selamat jalan, our mentor, The Legend, Bob Sadino. Semoga ilmu yang Om ajarkan menjadi pemberat timbangan akal kebajikan, seperti tasbih yang tidak pernah berhenti berhitung ...
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0748 seconds (0.1#10.140)