Gas dan Industrialisasi

Senin, 19 Januari 2015 - 09:52 WIB
Gas dan Industrialisasi
Gas dan Industrialisasi
A A A
PROF Firmanzah PhD
Rektor Universitas Paramadina, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Rencana pemerintah mengembangkan industri nasional, khususnya nonmigas, sebagai upaya mendorong daya saing industri merupakan langkah strategis yang memerlukan dukungan seluruh pemangku kepentingan.

Pemerintah juga telah menetapkan target pertumbuhan industri nasional 2015 sebesar 6,1% dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 21,2%. Seperti halnya pengalaman sejumlah negara maju, proses industrialisasi dan pembangunan kawasan industri perlu ditopang ketersediaan pasokan energi untuk menjamin proses produksi berjalan secara baik.

Berbeda dengan profil produksi dan cadangan minyak mentah Indonesia, data dari BP Statistic 2014 menunjukkan Indonesia saat ini merupakan negara ke-14 pemilik cadangan gas terbesar di dunia. Cadangan gas alam Indonesia tercatat sebesar 103,3 triliun kaki kubik (TCF). Meskipun Indonesia memiliki cadangan gas alam yang sangat besar, pemanfaatannya bagi aktivitas ekonomi dan rumah tangga masih tergolong terbatas bila dibandingkan dengan sumber energi lainnya, yaitu sebesar 17%.

Sementara minyak, yang Indonesia menjadi net-importer, mendominasi pemanfaatannya sebesar 36% disusul sumber energi lain 27% dan batu bara 20%. Sinkronisasi antara desain pembangunan kawasan industri dengan pemanfaatan gas alam menjadi semakin penting. Hal ini dilakukan agar proses industrialisasi dan hilirisasi tidak menimbulkan persoalan lain seperti kekurangan pasokan energi, mismatch penggunaan sumber energi dan ketersediaan pasokan energi dalam negeri serta persoalan lain seperti defisit neraca perdagangan akibat impor minyak.

Meski saat ini harga minyak mentah dunia merosot akibat persaingan antara negara penghasil utama minyak dalam OPEC dengan penghasil shale-oil di Amerika Serikat, dalam 2- 3 tahun diproyeksikan harga minyak mentah dunia akan kembali normal. Artinya, harga minyak mentah dunia akan menjadi mahal dan gas alam menjadi alternatif penting bagi perekonomian Indonesia.

Terlebih, dalam Rancangan Induk Pembangunan Industri Nasional yang didesain hingga 2035, ditargetkan pembangunan 36 kawasan industri baru. Dari jumlah itu, untuk periode 2014-2019 pemerintah mencanangkan 15 kawasan industri yang akan dibangun hingga 2019 yang 13 di antaranya berlokasi di luar Jawa dan 2 kawasan industri di Pulau Jawa.

Untuk mendukung pengembangan 15 kawasan industri ini, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional merekomendasikan adanya pembangunan infrastruktur pendukung dengan kebutuhan anggaran sebesar Rp47,6 triliun. Anggaran ini dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur pendukung yang terdiri atas bandara, jalan, kereta api, listrik, pelabuhan, dan sumber daya air.

Keterbatasan infrastruktur gas selama ini membuat produksi gas alam nasional diekspor dalam bentuk liquefied natural gas (LNG) melalui mekanisme long-term contract . Tercatat infrastruktur gas yang tersedia baru sekitar 20% atau sepanjang 11.600 km dari seluruh jaringan pemipaan yang direncanakan sepanjang sekitar 68.000 km.

Terkait dengan proses industrialisasi, hal yang paling mendesak dilakukan adalah pembangunan jaringan pemipaan yang menghubungkan wilayah penghasil gas dengan kawasan yang memerlukan gas. Selain itu, dukungan alokasi gas pasokan gas bagi pemenuhan kebutuhan domestik juga perlu terus ditingkatkan. Pemanfaatan gas alam bagi keperluan domestik meningkat tajam sejak 2005.

Pada saat itu, kebutuhan gas alam untuk domestik telah mencapai 1,513 miliar british thermal unit per hari (BBTUD) dan meningkat menjadi 3,774 BBTUD pada 2013. Meski pemanfaatan gas alam bagi domestik telah mencapai 52%, seiring meningkatnya kebutuhan domestik perlu adanya kebijakan dan prioritas pemenuhan kebutuhan domestik.

Pemanfaatan gas alam bagi pembangkit listrik yang dapat memenuhi kebutuhan listrik industri dan kawasan industri juga dapat dilakukan tanpa pembangunan pemipaan. Pembangunan terminal LNG (LNG receiving terminal) di dekat kawasan industri atau pusat-pusat industri, khususnya di luar Pulau Jawa, menjadi salah satu solusi untuk memasok kebutuhan energi pembangkit listrik, baik yang dibangun oleh PLN maupun swasta (independent power produser/IPP).

Kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan bahkan sangat sesuai menggunakan skema ini dan mini-LNG untuk menjamin ketersediaan sumber energi gas alam bagi pembangkit listrik di luar Pulau Jawa. Melalui keterpaduan pembangunan kawasan industri baru, khususnya di luar Pulau Jawa, dengan pasokan gas alam sebagai sumber pembangkit tenaga listrik, akan dapat ditingkatkan daya saing industri nasional.

Selain itu, keberadaan industri di banyak daerah juga akan meningkatkan penciptaan pusat- pusat pertumbuhan ekonomi baru. Selanjutnya, dengan semakin banyaknya industri yang muncul, tidak hanya rantai nilai produksi nasional akan menjadi lebih efisien dan bernilai tambah, tetapi juga akan semakin meningkatkan pemerataan pembangunan nasional.

Industrialisasi dan pembangunan infrastruktur yang terintegrasi tentu telah menjadi komitmen nasional kita selama ini. Jaringan infrastruktur gas alam yang terintegrasi akan memberi insentif besar tidak hanya bagi pemerataan pembangunan nasional, tetapi juga bagi proses industrialisasi yang berdaya saing tinggi.

Infrastruktur gas yang terintegrasi dengan kawasan industri dapat menjaga kesinambungan pasokan energi bagi kawasan industri sehingga industrialisasi dapat terus ditingkatkan. Integrasi infrastruktur gas ini tidak hanya terkait dengan kesinambungan pasokan, tetapi juga mendorong efisiensi distribusi gas ke titik-titik produksi sehingga industri dapat menghasilkan barang-barang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing.

Belajar dari persoalan yang dihadapi Sei Mangkei dan Teluk Bintani, strategi integrasi infrastruktur gas dan listrik untuk mendorong daya saing industri merupakan pilihan yang sulit dihindari. Sejumlah negara maju seperti negara-negara di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan China telah menggunakan strategi ini untuk mempercepat proses industrialisasi dan pembangunan daya saing mereka.

Industri-industri yang menggunakan energi besar (energy-intensive industries) membutuhkan dukungan infrastruktur energi yang memadai. Pada umumnya industri yang berorientasi pada nilai tambah tinggi merupakan industri-industri yang kebutuhan energinya cukup besar.

Strategi mengintegrasikan infrastruktur gas ke pusat-pusat produksi termasuk kawasan industri tentunya membutuhkan komitmen dan dukungan dari semua pemangku kepentingan baik pemerintah pusatdaerah, BUMN-BUMD, sektor swasta maupun masyarakat.

Dengan dukungan dan komitmen ini, kita dapat mendorong upaya mewujudkan perekonomian nasional yang berdaya saing tinggi.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1318 seconds (0.1#10.140)