Persahabatan untuk Perdamaian
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
Di dalam kehidupan sehari- hari yang makin terasa begitu teknis, dan kering, makna perdamaian kita rasakan sebagai sesuatu yang asing, jauh, terlalu abstrak, dan tidak praktis.
Kita sudah terjerumus terlalu jauh ke dalam apa yang serbapraktis. Rebutan jabatan di suatu partai. Berniat, dengan penuh dendam, menjadi kekuatan oposisi sesudah dikalahkan di dalam suatu pemilihan umum. Desak mendesak, bahkan saling mencakar demi jabatan dalam birokrasi. Dan dengan serakah memasang iklan dan membangun citra positif dari kehidupan yang serbanegatif. Sibuk mengusahakan perpanjangan jabatan sebelum masa jabatan berakhir, termasukjebakanpraktisitu.
Mungkin itu cermin keserakahan orangorang yang tidak punya agenda maupun pemikiran besar. Tak terlalu mengherankan bahwa pemikiran besar, seperti perdamaian– apalagi perdamaian dunia– yang merupakan mandat konstitusi, kita abaikan. Seorang tokoh dunia dari Jepang, Daisaku Ikeda, berdialog dengan Gus Dur. Hasil dialog itu dibukukan, dengan Judul Dialog Peradaban: Untuk Toleransi dan Perdamaian .
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, memperoleh hak menerbitkannya, pada tahun 2010. Daisaku Ikeda memilih Gus Dur dengan alasan yang jelas. Sebagai tokoh dunia, Ikeda menghendaki untuk berdialog dengan tokoh sekaliber dia sendiri. Lama sebelumnya dia sudah mewawancarai banyak tokoh besar dunia. Sejarawan terkemuka, Arnold Toynbee dari Inggris, Majid Tehranian, profesor yang ahli dan menaruh perhatian khusus di bidang perdamaian, dan Presiden Rusia Gorbachev pun sudah diwawancarainya.
Dialog mereka menjadi buku penting yang memberikan tawaran alternatif pemecahan masalah-masalah besar dunia. Bagi Ikeda, Gus Dur tak kalah besar dibanding mereka itu. Dialog dengan Gus Dur, pun dengan tema besar: peradaban dunia. Keduanya memang memiliki agenda besar, dan diam-diam masing-masing merasa ada masalah serius di dalam peradaban kita. Keduanya memiliki keresahan yang sama, dan semangat yang sama pula untuk mencari pemecahan secara damai.
Mereka berbicara mengenai toleransi dan perdamaian. Keduanya yakin bahwa toleransi merupakan landasan membangun perdamaian. Tanpa toleransi tak mungkin lahir perdamaian. Inimerupakanurusan sangat mendesak. Padahal, kita kekurangan kemampuan untuk mengembangkan toleransi. Dengan sendirinya sukar bagi kita untuk menciptakan perdamaian. Sudah agak lama kita mengesampingkan toleransi.
Di negeri kita, bahkan tampak jelas, dari hari ke hari kita berhadapan dengan keruwetan politik, juga politik keagamaan, karena kita tak mampu menghidupkan toleransi di dalam tatanan sosial, politik dan agama. Sebaliknya, makin lama toleransi dianggap tak diperlukan. Watak serba tidak toleran itu malah sengaja dikapitalisasikan untuk menimbulkan kericuhan demi kericuhan pada tingkat yang lebih luas, menjadi suatu kericuhan global yang makin mengerikan.
Kericuhan seperti itu kadang terasa seperti sebuah proyek yang sengaja diciptakan. Ada kalanya sangat terasa, di sana ada bisnispolitikyangbesar, danbisa membikin suasana hiruk-pikuk, yang meneror kedamaian hidup pribadi kita. Kedamaian–setidaknya dalam bayangan kita– merupakan satu-satunya kekayaan yang kita banggakan. Bahkan kedamaian sekadar sebagai ”harapan” yang belum terwujud pun sudah membuat kita merasa agak tenteram.
Tapi perdamaian itu sering dikoyak-koyak dengan segenap kekerasan yang melampaui batas. Sering kekerasan itu dilakukan demi agama, atau demi Tuhan. Kita tidak mampu memikirkan kekerasan demi agama dan demi Tuhan. Tapi kekerasan itu tiba-tiba menjadi akrab dengan kita. Kita mengutuk kekerasan. Tapi kita juga menjadi bagian yang terkutuk karena kita diam.
Dalam situasi seperti itu, kita menyaksikan persahabatan Gus Dur dan Ikeda, yang dibangun dengan agenda perdamaian itu, sebagai fenomena yang demikian anggun, dan layak dikagumi. Sikap itu mengukuhkan posisi masing-masing sebagai tokoh dunia yang sangat peduli terhadap perdamaian.
Kita menyaksikan sendiri, sejak sebelum maupun sesudah masa kepresidenannya, Gus Dur tampil dalam berbagai agenda membangun toleransi yang makin hari makin redup, bahkan makin gelap, dan makin mengecilkan hati orang-orang yang serius memikirkan keutuhan bangsa kita. Pemikiran mengenai keutuhan itu juga gelap. Dalam kegelapan macam itu i, Gus Dur, dengan berani, menyalakan lilin, dan mengabaikan risiko apapun. Musuh Gus Dur banyak sekali.
Sebagian juga datang dari kalangan Islam sendiri. Tak tertutup pula kemungkinan bahwa lawannya juga sebagian orang NU yang wawasan keagamaannya tak sejalan dengan wawasan Gus Dur. Tindakan demi tindakan yang sudah dilakukan Gus Dur menunjukkan bahwa beliau pemberani. Baginya, pemberani itu bukan berarti tak mengenal takut.
Orang yang disebut berani itu juga merasa takut, dan memiliki ketakutan. Tapi dia mampu mengecilkan ketakutan itu dan kemudian melangkah ke depan. Kadang sangat terasa, Gus Dur bukan hanya menyalakan lilin, melainkan bersedia menjadi lilin itu sendiri. Dan siap terbakar. Baginya, itu risiko perjuangan sejati.
Dalam usaha membangun toleransi yang berisiko, dan tak jarang membuatnya babak belur, Gus Dur dipuji, bahkan dikagumi banyak kalangan minoritas. Ada kalangan yang bahkan menganggapnya Dewa. Mungkin ini agak berlebihan tapi mungkin akan tidak bijaksana bila kita melarang ungkapan syukur dari mereka yang merasa dilindungi.
Wajar bahwa kelompok= kelompok yang selama puluhan tahun tertindas, dimarjinalisasikan dan dibuang dari pergaulan, tibatiba tampil tokoh yang memberi mereka bukan hanya pembelaan, melainkan juga perlindungan. Hanya Gus Dur yang mampu berbuat seperti itu. Buktinya nyata sekali, selain beliau, tidak ada, atau hampir tidak ada, orang yang berani, atau bersedia, melakukan tindakan yang sama.
Dan apa yang terjadi sesudah wafatnya? Masih ada yang mengutuknya? Atau mencaci maki sikapnya? Mungkin tidak. Dan biarpun mungkin Gus Dur bukan dewa, tapi kita tahu, beliau, yang sejak masa hidupnya disebut wali, sesudah wafatnya, kewalian itu diteguhkan. Gus Dur membuat umat, bukan hanya kaum nahdliyin, merasa begitu histeris. Dipuji. Dipuja. Dikagumi.
Dan tanah di makamnya dibawa pulang para pengunjung sebagai ekspresi penghormatan tertinggi. Ada pulakah kultus di dalamnya? Mungkin ada meskipun umat paham sepaham pahamnya bahwa kultus itu dilarang. Tapi bagaimana melarang gerak hati sesama manusia, yang kita tak punya saluran organisasinya dan sarana komunikasinya? Memang menjadi jelas bagi kita bahwa Gus Dur didewakan, justru setelah beliau tak ada lagi.
Keberanian dan komitmennya membangun toleransi buat perdamaian dunia itu bukan hanya dilakukannya di sini, di tanah air kita sendiri. Gus Dur juga menyerukan hal yang sama di dunia internasional. Seperti dapat kita baca di halaman 5 buku tersebut, Gus Dur gigih berceramah di Amerika untuk menyebarkan wawasan yang lebih sehat tentang Islam, dan berharap mengurangi salah paham dunia Barat pada Islam.
Di halaman 4 buku itu pula, yaitu pada ”millennium summit ” di PBB tahun 2000, dikisahkan bahwa Gus Dur menyampaikan gagasan tentang betapa mendesaknya dialog yang dapat menciptakan wajah manusia, yang tak membedakan suku, atau etnisitas, budaya dan latar belakang sejarah mereka.
Dialog terbuka yang mengakomodasi semua pihak dan memberi masing-masing posisi yang sama seperti itu, akan dapat membuka jalan untuk meningkatkan nilai-nilai universal dan komitmen global. Gus Dur bukan orang teknis. Beliau tak pernah terjebak ke dalam perkara teknis.
Dan tak pernah pula beliau berurusan dengan apa yang teknis. Pemikiran filosofis Gus Dur besar. Keberaniannya besar. Dan aspirasinya pun besar: perdamaian dunia.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: [email protected]
Di dalam kehidupan sehari- hari yang makin terasa begitu teknis, dan kering, makna perdamaian kita rasakan sebagai sesuatu yang asing, jauh, terlalu abstrak, dan tidak praktis.
Kita sudah terjerumus terlalu jauh ke dalam apa yang serbapraktis. Rebutan jabatan di suatu partai. Berniat, dengan penuh dendam, menjadi kekuatan oposisi sesudah dikalahkan di dalam suatu pemilihan umum. Desak mendesak, bahkan saling mencakar demi jabatan dalam birokrasi. Dan dengan serakah memasang iklan dan membangun citra positif dari kehidupan yang serbanegatif. Sibuk mengusahakan perpanjangan jabatan sebelum masa jabatan berakhir, termasukjebakanpraktisitu.
Mungkin itu cermin keserakahan orangorang yang tidak punya agenda maupun pemikiran besar. Tak terlalu mengherankan bahwa pemikiran besar, seperti perdamaian– apalagi perdamaian dunia– yang merupakan mandat konstitusi, kita abaikan. Seorang tokoh dunia dari Jepang, Daisaku Ikeda, berdialog dengan Gus Dur. Hasil dialog itu dibukukan, dengan Judul Dialog Peradaban: Untuk Toleransi dan Perdamaian .
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, memperoleh hak menerbitkannya, pada tahun 2010. Daisaku Ikeda memilih Gus Dur dengan alasan yang jelas. Sebagai tokoh dunia, Ikeda menghendaki untuk berdialog dengan tokoh sekaliber dia sendiri. Lama sebelumnya dia sudah mewawancarai banyak tokoh besar dunia. Sejarawan terkemuka, Arnold Toynbee dari Inggris, Majid Tehranian, profesor yang ahli dan menaruh perhatian khusus di bidang perdamaian, dan Presiden Rusia Gorbachev pun sudah diwawancarainya.
Dialog mereka menjadi buku penting yang memberikan tawaran alternatif pemecahan masalah-masalah besar dunia. Bagi Ikeda, Gus Dur tak kalah besar dibanding mereka itu. Dialog dengan Gus Dur, pun dengan tema besar: peradaban dunia. Keduanya memang memiliki agenda besar, dan diam-diam masing-masing merasa ada masalah serius di dalam peradaban kita. Keduanya memiliki keresahan yang sama, dan semangat yang sama pula untuk mencari pemecahan secara damai.
Mereka berbicara mengenai toleransi dan perdamaian. Keduanya yakin bahwa toleransi merupakan landasan membangun perdamaian. Tanpa toleransi tak mungkin lahir perdamaian. Inimerupakanurusan sangat mendesak. Padahal, kita kekurangan kemampuan untuk mengembangkan toleransi. Dengan sendirinya sukar bagi kita untuk menciptakan perdamaian. Sudah agak lama kita mengesampingkan toleransi.
Di negeri kita, bahkan tampak jelas, dari hari ke hari kita berhadapan dengan keruwetan politik, juga politik keagamaan, karena kita tak mampu menghidupkan toleransi di dalam tatanan sosial, politik dan agama. Sebaliknya, makin lama toleransi dianggap tak diperlukan. Watak serba tidak toleran itu malah sengaja dikapitalisasikan untuk menimbulkan kericuhan demi kericuhan pada tingkat yang lebih luas, menjadi suatu kericuhan global yang makin mengerikan.
Kericuhan seperti itu kadang terasa seperti sebuah proyek yang sengaja diciptakan. Ada kalanya sangat terasa, di sana ada bisnispolitikyangbesar, danbisa membikin suasana hiruk-pikuk, yang meneror kedamaian hidup pribadi kita. Kedamaian–setidaknya dalam bayangan kita– merupakan satu-satunya kekayaan yang kita banggakan. Bahkan kedamaian sekadar sebagai ”harapan” yang belum terwujud pun sudah membuat kita merasa agak tenteram.
Tapi perdamaian itu sering dikoyak-koyak dengan segenap kekerasan yang melampaui batas. Sering kekerasan itu dilakukan demi agama, atau demi Tuhan. Kita tidak mampu memikirkan kekerasan demi agama dan demi Tuhan. Tapi kekerasan itu tiba-tiba menjadi akrab dengan kita. Kita mengutuk kekerasan. Tapi kita juga menjadi bagian yang terkutuk karena kita diam.
Dalam situasi seperti itu, kita menyaksikan persahabatan Gus Dur dan Ikeda, yang dibangun dengan agenda perdamaian itu, sebagai fenomena yang demikian anggun, dan layak dikagumi. Sikap itu mengukuhkan posisi masing-masing sebagai tokoh dunia yang sangat peduli terhadap perdamaian.
Kita menyaksikan sendiri, sejak sebelum maupun sesudah masa kepresidenannya, Gus Dur tampil dalam berbagai agenda membangun toleransi yang makin hari makin redup, bahkan makin gelap, dan makin mengecilkan hati orang-orang yang serius memikirkan keutuhan bangsa kita. Pemikiran mengenai keutuhan itu juga gelap. Dalam kegelapan macam itu i, Gus Dur, dengan berani, menyalakan lilin, dan mengabaikan risiko apapun. Musuh Gus Dur banyak sekali.
Sebagian juga datang dari kalangan Islam sendiri. Tak tertutup pula kemungkinan bahwa lawannya juga sebagian orang NU yang wawasan keagamaannya tak sejalan dengan wawasan Gus Dur. Tindakan demi tindakan yang sudah dilakukan Gus Dur menunjukkan bahwa beliau pemberani. Baginya, pemberani itu bukan berarti tak mengenal takut.
Orang yang disebut berani itu juga merasa takut, dan memiliki ketakutan. Tapi dia mampu mengecilkan ketakutan itu dan kemudian melangkah ke depan. Kadang sangat terasa, Gus Dur bukan hanya menyalakan lilin, melainkan bersedia menjadi lilin itu sendiri. Dan siap terbakar. Baginya, itu risiko perjuangan sejati.
Dalam usaha membangun toleransi yang berisiko, dan tak jarang membuatnya babak belur, Gus Dur dipuji, bahkan dikagumi banyak kalangan minoritas. Ada kalangan yang bahkan menganggapnya Dewa. Mungkin ini agak berlebihan tapi mungkin akan tidak bijaksana bila kita melarang ungkapan syukur dari mereka yang merasa dilindungi.
Wajar bahwa kelompok= kelompok yang selama puluhan tahun tertindas, dimarjinalisasikan dan dibuang dari pergaulan, tibatiba tampil tokoh yang memberi mereka bukan hanya pembelaan, melainkan juga perlindungan. Hanya Gus Dur yang mampu berbuat seperti itu. Buktinya nyata sekali, selain beliau, tidak ada, atau hampir tidak ada, orang yang berani, atau bersedia, melakukan tindakan yang sama.
Dan apa yang terjadi sesudah wafatnya? Masih ada yang mengutuknya? Atau mencaci maki sikapnya? Mungkin tidak. Dan biarpun mungkin Gus Dur bukan dewa, tapi kita tahu, beliau, yang sejak masa hidupnya disebut wali, sesudah wafatnya, kewalian itu diteguhkan. Gus Dur membuat umat, bukan hanya kaum nahdliyin, merasa begitu histeris. Dipuji. Dipuja. Dikagumi.
Dan tanah di makamnya dibawa pulang para pengunjung sebagai ekspresi penghormatan tertinggi. Ada pulakah kultus di dalamnya? Mungkin ada meskipun umat paham sepaham pahamnya bahwa kultus itu dilarang. Tapi bagaimana melarang gerak hati sesama manusia, yang kita tak punya saluran organisasinya dan sarana komunikasinya? Memang menjadi jelas bagi kita bahwa Gus Dur didewakan, justru setelah beliau tak ada lagi.
Keberanian dan komitmennya membangun toleransi buat perdamaian dunia itu bukan hanya dilakukannya di sini, di tanah air kita sendiri. Gus Dur juga menyerukan hal yang sama di dunia internasional. Seperti dapat kita baca di halaman 5 buku tersebut, Gus Dur gigih berceramah di Amerika untuk menyebarkan wawasan yang lebih sehat tentang Islam, dan berharap mengurangi salah paham dunia Barat pada Islam.
Di halaman 4 buku itu pula, yaitu pada ”millennium summit ” di PBB tahun 2000, dikisahkan bahwa Gus Dur menyampaikan gagasan tentang betapa mendesaknya dialog yang dapat menciptakan wajah manusia, yang tak membedakan suku, atau etnisitas, budaya dan latar belakang sejarah mereka.
Dialog terbuka yang mengakomodasi semua pihak dan memberi masing-masing posisi yang sama seperti itu, akan dapat membuka jalan untuk meningkatkan nilai-nilai universal dan komitmen global. Gus Dur bukan orang teknis. Beliau tak pernah terjebak ke dalam perkara teknis.
Dan tak pernah pula beliau berurusan dengan apa yang teknis. Pemikiran filosofis Gus Dur besar. Keberaniannya besar. Dan aspirasinya pun besar: perdamaian dunia.
(ars)