Menyoal Ideologi Khilafah

Minggu, 18 Januari 2015 - 09:46 WIB
Menyoal Ideologi Khilafah
Menyoal Ideologi Khilafah
A A A
Wacana pemberlakuan ‘negara Islam’ kini menjadi isu yang banyak diperdebatkan dan dikaji oleh masyarakat Indonesia. Berbicara gagasan khilafah, maka pikiran kita akan tertuju kepada kelompok Hizbut Tahrir Indonesia, yang selama ini selalu mem-booming-kan khilafah islamiyah, tetapi fenomena akhir-akhir ini, gagasan itu muncul dengan ‘wajah ganas’, ekstrem dan radikalisme, yang dibawa kelompok Islamic State of Iraqandal-Sham (ISIS).

Wacana pemberlakuan ‘negara Islam’ kini menjadi isu yang banyak diperdebatkan dan dikaji oleh masyarakat Indonesia. Berbicara gagasan khilafah, maka pikiran kita akan tertuju kepada kelompok Hizbut Tahrir Indonesia, yang selama ini selalu mem-booming-kan khilafah islamiyah, tetapi fenomena akhirakhir ini, gagasan itu muncul dengan ‘wajah ganas’, ekstrem dan radikalisme, yang dibawa kelompok Islamic State of Iraqandal-Sham (ISIS).

Dalam Buku Kontroversi Khilafah Islam, Negara, dan Pancasila, tiga belas penulis, Haidar Bagir, Akhmad Sahal, Zuhairi Misrawi, Masdar Faried Mas’udi, Ahmad Najib Burhani, Komaruddin Hidayat, Nardisyah Hosen, Fajar Riza Ul Haq, M Amin Abdullah, Trias Kucahyono, Azyumardi Azra, dan, Yudi Latif ini mencoba mengurai, membahas dan merespons gagasan-gagasan seputar khilafah yang berkembang dalam ruang dan ladang demokrasi.

Buku ini dengan tegas, “menolak lahirnya paham yang dapat merusak komitmen Negara-Bangsa Indonesia, UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika. Indonesia, bagi mereka, tidak kondusif bagi tumbuhnya gagasan khilafah, baik yang damai apalagi kekerasan” (cover belakang).

Ketiga belas penulis menawarkan berbagai argumentasi yang cukup rasional dan bisa menjadi referensi dalam kajiankajian seputar khilafah, baik yang mendukung khilafah maupun yang anti-khilafah. Fuad Jabali mengatakan, bahwasanya khilafah merupakan sebuah sistem politik yang bias atau kental akan kesukuan.

Nabi Muhammad Saw diutus Allah ke muka bumi, untuk menghilangkan sekat-sekat kesukuan, yang menjadikan mereka berani mati demi kepentingan suku dan golongan mereka atau dalam bahasa Fuad Jabali, nabi melakukan detribalisasi. Tatkala ia wafat, gejolak sukuisme kembali menguak ke permukaan. Karenanya, dalam Islam dikenal dengan Piagam Madinah.

Fungsinya agar semua masyarakat di wilayah itu mempunyai hak dan kewajiban yang sama, dan bermuara kepada keadilan dan kesetaraan. Lebih lanjut, Fuad mengatakan, “khilafah sepeninggal Ali adalah khilafah yang mengakar pada kesukuan murni. Setelah berhasil merebut kekuasaan dari Ali, Muawiyah mendirikan sistem kekuasaan murni berbasis kesukuan” (Hlm. 33). Sampai pada akhir sistem ‘khilafah’ itu tidak digunakan lagi, ulama-ulama yang hidup dalam arus baru memikirkan sistem yang terbaik untuk masyarakatnya.

Perdebatan-perdebatan antar-ulama mengenai khilafah kian muncul, namun pendapat IbnuTaimiyah dalam hal ini perlu dikemukakan, bahwa untuk menegakkan kembali khilafah merupakan sesuatu yang sudah tidak relevan lagi. Menurutnya, khilafah hanyalah sebuah instrumen, ada pun yang terpenting yakni menegakkan siyasahsyar’iyyah atau pemerintahan syari’ah. Akhmad Sahal menyebut, dalam hal ini dibutuhkan adanya “realisme fiqih” (Hlm. 57-60).

Artinya, dituntut saat ini adalah bagaimana nilai-nilai yang ada dalam agama dimasukkan ke dalam undang-undang atau hal semisalnya ke dalam sebuah pemerintahan. Karena, jika tetap bersikukuh pada konsep khilafah maka hal itu sangat utopis. Mengapa utopis? Melihat negaranegara yang dikatakan negara Islam (bukan Indonesia) saja tidak bisa menerapkan sistem khilafah, apalagi Indonesia.

Nardisyah Hosen dalam buku ini juga mengatakan, bahwa sistem khilafah posisinya sama dengan sistem demokrasi yang tidak sempurna, ia merupakan produk sejarah. Seandainya, khilafah ditegakkan maka dunia tidak ada damai (Hlm. 161) Dalam buku setebal 280 halaman ini gagasan khilafiah dikupas tuntas oleh para intelektual muslim Indonesia.

Dengan membacanya, kita akan ditarik oleh salah satu kesimpulan bahwa khilafah itu penting sebagaimana yang digaung-gaungkan oleh penggiat khilafah tidak mempunyai legitimasi yang kokoh. Negara Indonesia yang multikulturalisme, berbagai suku, ras dan ideologi kepercayaan yang ada, sangat nihil untuk menerapkan sistem khilafah.

Masyarakat harus selalu kritis terhadap dalildalil yang berbau politik, yang selalu dijadikan legitimasi oleh penggiat khilafah. Para pendiri bangsa meng-iya-kan sistem demokrasi bukan sesuatu yang gegabah. Dan, demokrasi Pancasila merupakan jalan tengah dari semua sistem yang ada, termasuk khilafah.

Muhammad Makmun Rasyid,
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir di Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur’an Al-Hikam Depok.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0940 seconds (0.1#10.140)