Komnas Perempuan Tolak Eksekusi Mati 6 Terpidana Narkoba
A
A
A
JAKARTA - Rencana Kejaksaan Agung (Kejagung) mengeksekusi lima terpidana mati kasus peredaran narkoba pada Minggu 18 Januari 2015 nanti ditentang Komnas Perempuan.
Sekadar informasi, salah satu dari lima terpidana mati itu adalah Rani Andriani alias Mellisa Aprillia, perempuan asal Cianjur, Jawa Barat.
Menanggapi hukuman mati ini, Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah
menentang hukuman mati dengan beberapa dasar.
"Pertama, konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia," kata Yuniyanti lewat siaran pers, Jumat (16/1/2014).
Yuniyanti mengatakan, konvensi ini diadopsi oleh sidang Majelis Umum PBB melalui resolusi 39/46 pada 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada 26 Juni 1987 dan Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1998 pada 28 September 1998.
"Melalui UU ini Indonesia juga melakukan deklarasi terhadap ketentuan Pasal 20 Ayat (1) Ayat (2), dan Ayat (3) serta melakukan reservasi terhadap ketentuan Pasal 30 Ayat (1)," ujarnya.
Kedua, kata dia, hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup, hukuman seharusnya manusiawi, memberi efek jera yang edukatif.
Ketiga, lanjut dia, Indonesia sudah melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati dan banyak digunakan sebagai alat politik untuk menunjukkan ketegasan negara.
"Yang justru melemahkan posisi moral politis Indonesia sebagai negara yang anti kemanusiaan, kejahatan diperlakukan dengan kejahatan dan kemanusiaan menjadi korban," ungkapnya.
Poin keempat dijelaskan Yuniyanti, banyak buruh migran yang terancam hukuman mati di luar negeri dan salah satunya adalah kasus peredaran narkoba yang ditemukan modus, bahwa perempuan dimanfaatkan untuk menjadi kurir dalam sebuah hubungan pribadi atau dalam perkawinan.
"Kelima, Komnas Perempuan telah memantau sejumlah tahanan migran di perbatasan Malaysia, bahwa mayoritas perempuan yang terancam hukuman mati karena terjebak dalam sindikasi narkoba dan terjebak dalam lingkaran perdagangan manusia," tuturnya.
Kemudian yang keenam, kasus perdagangan narkoba menjadikan perempuan sangat rentan menjadi korban. Karena eksploitasi kepatuhan, ketaatan dalam sindikasi narkoba.
"Di mana yang dimanfaatkan adalah perempuan miskin, lugu, atau dalam keadaan terpaksa dibuat bergantung, dijadikan kekasih atau istri semu untuk menjadi kurir narkoba, yang akan beresiko terhadap nyawanya," jelasnya.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu mendengar pendapat lembaga hak asasi manusia, sebagai lembaga negara dalam membuat keputusan terkait isu hak asasi.
"Negara harus mulai menghentikan hukuman mati untuk membangun keberadaban hak asasi," pungkasnya.
Sekadar informasi, salah satu dari lima terpidana mati itu adalah Rani Andriani alias Mellisa Aprillia, perempuan asal Cianjur, Jawa Barat.
Menanggapi hukuman mati ini, Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah
menentang hukuman mati dengan beberapa dasar.
"Pertama, konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia," kata Yuniyanti lewat siaran pers, Jumat (16/1/2014).
Yuniyanti mengatakan, konvensi ini diadopsi oleh sidang Majelis Umum PBB melalui resolusi 39/46 pada 10 Desember 1984 dan mulai berlaku pada 26 Juni 1987 dan Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1998 pada 28 September 1998.
"Melalui UU ini Indonesia juga melakukan deklarasi terhadap ketentuan Pasal 20 Ayat (1) Ayat (2), dan Ayat (3) serta melakukan reservasi terhadap ketentuan Pasal 30 Ayat (1)," ujarnya.
Kedua, kata dia, hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup, hukuman seharusnya manusiawi, memberi efek jera yang edukatif.
Ketiga, lanjut dia, Indonesia sudah melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati dan banyak digunakan sebagai alat politik untuk menunjukkan ketegasan negara.
"Yang justru melemahkan posisi moral politis Indonesia sebagai negara yang anti kemanusiaan, kejahatan diperlakukan dengan kejahatan dan kemanusiaan menjadi korban," ungkapnya.
Poin keempat dijelaskan Yuniyanti, banyak buruh migran yang terancam hukuman mati di luar negeri dan salah satunya adalah kasus peredaran narkoba yang ditemukan modus, bahwa perempuan dimanfaatkan untuk menjadi kurir dalam sebuah hubungan pribadi atau dalam perkawinan.
"Kelima, Komnas Perempuan telah memantau sejumlah tahanan migran di perbatasan Malaysia, bahwa mayoritas perempuan yang terancam hukuman mati karena terjebak dalam sindikasi narkoba dan terjebak dalam lingkaran perdagangan manusia," tuturnya.
Kemudian yang keenam, kasus perdagangan narkoba menjadikan perempuan sangat rentan menjadi korban. Karena eksploitasi kepatuhan, ketaatan dalam sindikasi narkoba.
"Di mana yang dimanfaatkan adalah perempuan miskin, lugu, atau dalam keadaan terpaksa dibuat bergantung, dijadikan kekasih atau istri semu untuk menjadi kurir narkoba, yang akan beresiko terhadap nyawanya," jelasnya.
Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu mendengar pendapat lembaga hak asasi manusia, sebagai lembaga negara dalam membuat keputusan terkait isu hak asasi.
"Negara harus mulai menghentikan hukuman mati untuk membangun keberadaban hak asasi," pungkasnya.
(maf)