Penegakan Hukum Belum Menunjukkan Sinyal Perubahan
A
A
A
Tahun 2014 baru saja berakhir, namun tanda-tanda bahwa akan ada perubahan signifikan dalam penegakan hukum di Tanah Air belum juga terlihat sampai saat ini.
Perlu dibahas mengapa tandatanda perubahan tersebut belum terlihat sejak akhir Oktober 2014, ketika Jokowi dilantik sebagai presiden ke-7 Republik Indonesia menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono. Sepak terjang dari pemerintahan Jokowi adalah dengan adanya penerbitan tiga kartu sakti Jokowi, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang dalam penerbitannya sangat terburu- buru dan tidak didukung dengan perencanaan anggaran dan payung hukum yang matang sehingga menimbulkan begitu banyak pro-kontra dalam masyarakat.
Kemudian, adanya pengesahan munas partai politik yang pemerintah seperti terlalu turut ikut campur dalam urusan rumah tangga partai politik tersebut. Juga terdapat program pemerintah untuk membawa kembali kejayaan Indonesia di laut seperti pada masa Kejayaan Sriwijaya yang ditandai dengan tindakan menenggelamkan kapal- kapal asing pencuri ikan.
Tujuan penenggelaman kapal tersebut tentunya sebagai shock therapy dan ingin menimbulkan efekjera, namunternyatahaltersebut malah mengisyaratkan penegakan hukum secara kekerasan di Indonesia. Menenggelamkan kapal pencuri ikan di perairan Republik Indonesia sebagai premium remedium adalah bertentangan dengan UU Kelautan kita yang menggunakan ultimum remedium berupa denda, perampasan kapal pencuri, dan pengembalian pencuri ikan ke negara asal.
Kekerasan yang bernadakan pembalasan ini mengingatkan kita kepada konsep “Petrus” atau “penembak misterius” di zaman Orde Baru di mana pemberantasan kejahatan dilakukan secara “extrajudicial“, yaitu tanpa melalui proses hukum dan yang dicari adalah pembalasan dengan kekerasan yang bersifat “trigger happy“ dari aparat penegak hukum.
Bentuk pembalasan seperti ini tidak akan menyelesaikan persoalan kejahatan, tetapi akan menimbulkan komplikasi ketegangan diplomasi dan tudingan pelanggaran hak asasi manusia dari masyarakat internasional. Terkait penerapan hukuman mati dan penolakan grasi terhadap pengedar narkoba yang dikomentari oleh Uskup Jakarta Ignatius Suharyo yang menyatakan dalam pesan Natal, bahwa menghukum mati pengedar narkoba tidak akan menyelesaikan persoalan.
Pernyataan tersebut juga didukung dengan adanya data yang menunjukkan negara-negara yang telah lama menerapkan hukuman mati seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Iran, dan negara-negara Timur Tengah tidak menunjukkan penurunan angka kejahatan dan malahan sebaliknya. Penolakan Presiden Joko Widodo atas 22 permohonan grasi terpidana narkoba, dari total 64 terpidana narkoba, akan mengalami hal yang sama.
Apalagi jika tereksekusi mati telah menjalani hukuman penjara lebih dari 10 tahun, Indonesia berpotensi dituding menerapkan standar ganda. Ketimbang menerapkan hukuman mati sebaiknya pemerintah yang baru bekerja selama hampir tiga bulan ini mencari sumber kejahatan narkoba dan memperbaiki penyakit masyarakat berupa kemiskinan (pauperism), kebodohan, pengangguran, dan pelacuran; dengan memperbaiki sistem pendidikan, memberantas korupsi, reformasi birokrasi, menghapuskan inefisiensi, dan penanggulangan pajak tidak resmi yang membebani masyarakat yang menjadikan ekonomi biaya tinggi.
Memang penanggulangan kejahatan akan berlangsung lama dan melelahkan tetapi kalau berhasil akan dapat mengurangi angka kejahatan (crime rate ) secara signifikan di Indonesia. Penunjukan dan pengangkatan jabatan-jabatan hukum penting seperti menteri hukum dan hak asasi manusia, Jaksa Agung RI, dan kapolri terlihat tidak profesional di mana tidak dilakukan fit and proper test yang transparan sehingga diduga sarat kepentingan politis.
Selain hal-hal di atas, juga masih terdapat ketidakjelasan dari keputusan pemerintah da-lam pemberian ganti rugi bagi para korban dalam kasus Lapindo, ini menimbulkan pertanyaan apakah yang dibantu itu Lapindo atau rakyat karena pemerintah malah mengambil alih pembayaran ganti rugi kepada rakyat yang menjadi korban Lapindo. Belum ada jaminan bahwa Lapindo akan melunasi dana talangan tersebut dalam kurun waktu empat tahun.
Padahal, rakyat sudah dibebani dengan kenaikan BBM yang dilakukan untuk menutupi defisit APBN dan alokasi pembangunan nasional. Penggunaan APBN untuk menalangi ganti rugi korban Lapindo tidaklah fair, karena itu jelas merupakan tanggung jawab perdata Lapindo terhadap korban luapan lumpur Lapindo. Kebijakan ini sama sekali tidak menjamin kepastian hukum bagi semua pihak yang dirugikan.
Intoleransi Agama Sebagai Ancaman Nyata
Selama 10 tahun pemerintahan SBY, fenomena yang sangat mengkhawatirkan adalah terjadinya intoleransi agama, khususnya hak menjalankan ibadah di berbagai daerah di Nusantara. Hal tersebut dapat menjadi ancaman riil atas keutuhan NKRI.
Padahal, hak beribadah merupakan hak konstitusional setiap WNI yang dijamin dalam Pasal 28 E UUD 1945. Yang paling menyadari terhadap ancaman tersebut dalam hal ini adalah para aktivis pluralisme, masyarakat sipil, serta para pencinta dan penggagas konsep NKRI. Oleh karena itu, harus ada sikap tegas dari pemerintahan Jokowi atas ancaman intoleransi beragama yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini.
Mungkin merayakan Natal di Papua Barat bagi Presiden Jokowi adalah baik, tetapi menyelesaikan masalah larangan beribadah bagi umat Kristen seperti yang terjadi pada umat Gereja Yasmin (Bogor) dan HKBP Philadelphia (Bekasi) tentunya lebih penting untuk dilakukan. Kalau saja Presiden merayakan Natal dan menemui para majelis gereja dari Gereja Yasmin dan HKBP Philadelphia di Istana Merdeka, kejadian seperti itu dapat menjadi simbol toleransi dalam beragama dan pluralisme yang diusung oleh sang presiden selama kampanye Pemilu Presiden 2014 dan menjadi bentuk nyata dari pemenuhan janji-janji beliau selama kampanye Pemilu Presiden 2014.
Apalagi jika ada upaya nyata dari pemerintah di mana permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Yasmin dan HKBP Philadelphia dapat terselesaikan dengan segera. Jangan sampai terjadi sebagaimana yang dikatakan oleh peribahasa lama, yaitu semut di seberang lautan terlihat, tetapi gajah di pelupuk mata tidak terlihat.
Sikap nyata dari pemerintah akan melambangkan persamaan di hadapan hukum dan keadilan bagi semua orang yang menjadi “core“ dari suatu negara hukum (rechtsstaat) serta pernyataan gamblang dan tegas bahwa Republik Indonesia adalah bukan negara kekuasaan (machtstaat), melainkan adalah negara hukum (rechtsstaat) yang melindungi semua umat beragama tanpa adanya diskriminasi.
Tahun 2015 merupakan tahun baru dan awal yang baru bagi Indonesia. Semoga ke depan lompatan besar yang dilakukan pemerintah dapat meyakinkan rakyat Indonesia, bahwa pemerintah sekarang adalah berbeda dan serius dalam menegakkan hukum bagi semua orang tanpa adanya diskriminasi baik secara rasial, agama, atau untuk kepentingan-kepentingan golongan atau partai tertentu.
Frans H Winarta
Ketua Umum Peradin dan Dosen Fakultas Hukum UPH
Perlu dibahas mengapa tandatanda perubahan tersebut belum terlihat sejak akhir Oktober 2014, ketika Jokowi dilantik sebagai presiden ke-7 Republik Indonesia menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono. Sepak terjang dari pemerintahan Jokowi adalah dengan adanya penerbitan tiga kartu sakti Jokowi, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang dalam penerbitannya sangat terburu- buru dan tidak didukung dengan perencanaan anggaran dan payung hukum yang matang sehingga menimbulkan begitu banyak pro-kontra dalam masyarakat.
Kemudian, adanya pengesahan munas partai politik yang pemerintah seperti terlalu turut ikut campur dalam urusan rumah tangga partai politik tersebut. Juga terdapat program pemerintah untuk membawa kembali kejayaan Indonesia di laut seperti pada masa Kejayaan Sriwijaya yang ditandai dengan tindakan menenggelamkan kapal- kapal asing pencuri ikan.
Tujuan penenggelaman kapal tersebut tentunya sebagai shock therapy dan ingin menimbulkan efekjera, namunternyatahaltersebut malah mengisyaratkan penegakan hukum secara kekerasan di Indonesia. Menenggelamkan kapal pencuri ikan di perairan Republik Indonesia sebagai premium remedium adalah bertentangan dengan UU Kelautan kita yang menggunakan ultimum remedium berupa denda, perampasan kapal pencuri, dan pengembalian pencuri ikan ke negara asal.
Kekerasan yang bernadakan pembalasan ini mengingatkan kita kepada konsep “Petrus” atau “penembak misterius” di zaman Orde Baru di mana pemberantasan kejahatan dilakukan secara “extrajudicial“, yaitu tanpa melalui proses hukum dan yang dicari adalah pembalasan dengan kekerasan yang bersifat “trigger happy“ dari aparat penegak hukum.
Bentuk pembalasan seperti ini tidak akan menyelesaikan persoalan kejahatan, tetapi akan menimbulkan komplikasi ketegangan diplomasi dan tudingan pelanggaran hak asasi manusia dari masyarakat internasional. Terkait penerapan hukuman mati dan penolakan grasi terhadap pengedar narkoba yang dikomentari oleh Uskup Jakarta Ignatius Suharyo yang menyatakan dalam pesan Natal, bahwa menghukum mati pengedar narkoba tidak akan menyelesaikan persoalan.
Pernyataan tersebut juga didukung dengan adanya data yang menunjukkan negara-negara yang telah lama menerapkan hukuman mati seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat China, Iran, dan negara-negara Timur Tengah tidak menunjukkan penurunan angka kejahatan dan malahan sebaliknya. Penolakan Presiden Joko Widodo atas 22 permohonan grasi terpidana narkoba, dari total 64 terpidana narkoba, akan mengalami hal yang sama.
Apalagi jika tereksekusi mati telah menjalani hukuman penjara lebih dari 10 tahun, Indonesia berpotensi dituding menerapkan standar ganda. Ketimbang menerapkan hukuman mati sebaiknya pemerintah yang baru bekerja selama hampir tiga bulan ini mencari sumber kejahatan narkoba dan memperbaiki penyakit masyarakat berupa kemiskinan (pauperism), kebodohan, pengangguran, dan pelacuran; dengan memperbaiki sistem pendidikan, memberantas korupsi, reformasi birokrasi, menghapuskan inefisiensi, dan penanggulangan pajak tidak resmi yang membebani masyarakat yang menjadikan ekonomi biaya tinggi.
Memang penanggulangan kejahatan akan berlangsung lama dan melelahkan tetapi kalau berhasil akan dapat mengurangi angka kejahatan (crime rate ) secara signifikan di Indonesia. Penunjukan dan pengangkatan jabatan-jabatan hukum penting seperti menteri hukum dan hak asasi manusia, Jaksa Agung RI, dan kapolri terlihat tidak profesional di mana tidak dilakukan fit and proper test yang transparan sehingga diduga sarat kepentingan politis.
Selain hal-hal di atas, juga masih terdapat ketidakjelasan dari keputusan pemerintah da-lam pemberian ganti rugi bagi para korban dalam kasus Lapindo, ini menimbulkan pertanyaan apakah yang dibantu itu Lapindo atau rakyat karena pemerintah malah mengambil alih pembayaran ganti rugi kepada rakyat yang menjadi korban Lapindo. Belum ada jaminan bahwa Lapindo akan melunasi dana talangan tersebut dalam kurun waktu empat tahun.
Padahal, rakyat sudah dibebani dengan kenaikan BBM yang dilakukan untuk menutupi defisit APBN dan alokasi pembangunan nasional. Penggunaan APBN untuk menalangi ganti rugi korban Lapindo tidaklah fair, karena itu jelas merupakan tanggung jawab perdata Lapindo terhadap korban luapan lumpur Lapindo. Kebijakan ini sama sekali tidak menjamin kepastian hukum bagi semua pihak yang dirugikan.
Intoleransi Agama Sebagai Ancaman Nyata
Selama 10 tahun pemerintahan SBY, fenomena yang sangat mengkhawatirkan adalah terjadinya intoleransi agama, khususnya hak menjalankan ibadah di berbagai daerah di Nusantara. Hal tersebut dapat menjadi ancaman riil atas keutuhan NKRI.
Padahal, hak beribadah merupakan hak konstitusional setiap WNI yang dijamin dalam Pasal 28 E UUD 1945. Yang paling menyadari terhadap ancaman tersebut dalam hal ini adalah para aktivis pluralisme, masyarakat sipil, serta para pencinta dan penggagas konsep NKRI. Oleh karena itu, harus ada sikap tegas dari pemerintahan Jokowi atas ancaman intoleransi beragama yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini.
Mungkin merayakan Natal di Papua Barat bagi Presiden Jokowi adalah baik, tetapi menyelesaikan masalah larangan beribadah bagi umat Kristen seperti yang terjadi pada umat Gereja Yasmin (Bogor) dan HKBP Philadelphia (Bekasi) tentunya lebih penting untuk dilakukan. Kalau saja Presiden merayakan Natal dan menemui para majelis gereja dari Gereja Yasmin dan HKBP Philadelphia di Istana Merdeka, kejadian seperti itu dapat menjadi simbol toleransi dalam beragama dan pluralisme yang diusung oleh sang presiden selama kampanye Pemilu Presiden 2014 dan menjadi bentuk nyata dari pemenuhan janji-janji beliau selama kampanye Pemilu Presiden 2014.
Apalagi jika ada upaya nyata dari pemerintah di mana permasalahan yang dihadapi oleh Gereja Yasmin dan HKBP Philadelphia dapat terselesaikan dengan segera. Jangan sampai terjadi sebagaimana yang dikatakan oleh peribahasa lama, yaitu semut di seberang lautan terlihat, tetapi gajah di pelupuk mata tidak terlihat.
Sikap nyata dari pemerintah akan melambangkan persamaan di hadapan hukum dan keadilan bagi semua orang yang menjadi “core“ dari suatu negara hukum (rechtsstaat) serta pernyataan gamblang dan tegas bahwa Republik Indonesia adalah bukan negara kekuasaan (machtstaat), melainkan adalah negara hukum (rechtsstaat) yang melindungi semua umat beragama tanpa adanya diskriminasi.
Tahun 2015 merupakan tahun baru dan awal yang baru bagi Indonesia. Semoga ke depan lompatan besar yang dilakukan pemerintah dapat meyakinkan rakyat Indonesia, bahwa pemerintah sekarang adalah berbeda dan serius dalam menegakkan hukum bagi semua orang tanpa adanya diskriminasi baik secara rasial, agama, atau untuk kepentingan-kepentingan golongan atau partai tertentu.
Frans H Winarta
Ketua Umum Peradin dan Dosen Fakultas Hukum UPH
(ars)