Jerman, Xenophobia , dan Pegida

Rabu, 14 Januari 2015 - 10:59 WIB
Jerman, Xenophobia , dan Pegida
Jerman, Xenophobia , dan Pegida
A A A
Dinna Wisnu, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu



Dunia dikejutkan dengan serangan mematikan yang dilakukan para teroris kepada redaksi majalah Chalie Hebdo di Prancis seminggu yang lalu.

Aksi itu sendiri mengejutkan karena dugaan aksi terorisme yang diramalkan akan muncul di Asia termasuk Indonesia ternyata justru muncul di daratan Eropa. Banyak pihak yang mengutuk serangan tersebut sebagai tindakan pengecut dan barbar. Komunitas muslim di Eropa dan khususnya di Prancis langsung mengutuk serangan itu sebagai tindakan yang tidak mencerminkan semangat Islam yang penuh damai dan kasih.

Namun serangan itu juga telanjur menjadi momentum bagi Komunitas Masyarakat Eropa Anti-Islam untuk menunjukkan garis ideologi mereka dengan melakukan demonstrasi besar seperti yang dilakukan Patriotische Europ aumler gegen die Islamisierung des Abendlandes (Pegida) di Jerman. Pegida melakukan aksi demonstrasi mereka sebagai reaksi atas penembakan di Prancis pada 5 Januari 2015 di Kota Dresden.

Peserta demonstrasi diperkirakan mencapai 18.000 orang. Demonstrasi tersebut dianggap sebagai demonstrasi dengan peserta terbesar dalam sejarah demonstrasi yang pernah mereka lakukan selama ini. Namun yang paling mengejutkan ternyata demonstrasi anti- Pegida justru lebih besar daripada demonstrasi Pegida itu sendiri.

Diperkirakan ada lebih dari 30.000 pengunjuk rasa melakukan aksi di tanggal yang sama di Dresden, Stuttgart, Hamburg, Muenster, Berlin, dan Cologne. Gerakan tersebut tidak terlepas dari peran Kanselir Jerman Angela Merkel yang mengimbau masyarakat Jerman untuk menolak sikap kebencian dari kelompok Pegida.

Seruan itu bukan sekadar menandingi Pegida, tetapi juga untuk menekankan nilai-nilai Jerman yang mendukung demokrasi dan pluralisme. Yang menarik, meskipun dukungan terhadap demokrasi dan pluralisme masih kuat di Jerman dan Eropa pada umumnya, kelompok-kelompok anti-Islam dan antiimigran telah berkembang secara signifikan.

Kelompok Stopp Islamiseringen av Norge (SIAN) di Norwegia, English Defence League di Inggris, Swedish Defence League di Swedia, dan beberapa kelompok lain tumbuh meningkat seiring dengan tindakan-tindakan terorisme seperti yang dilakukan ISIS dan Al-Qaeda.

Kelompok seperti Pegida tidak membutuhkan seorang pemimpin yang cerdas dan berpendidikan untuk bisa berkembang selama dapat memanfaatkan momentum-momentum tersebut dengan baik. Contoh adalah Pegida yang dipimpin Lutz Bachmann, seorang bandarnarkobadanperampokyang pernah melarikan diri ke Afrika Selatan untuk menghindari vonis penjara.

Ia mendirikan kelompok ini pada bulan Oktober 2014 dengan tujuan menggalang sentimen antiimigran tidak hanya di Jerman, tetapi juga di seluruh negara Eropa. Oleh sebab itu, ia menggunakan kata “Des Abendlandes” yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai The Occident yang maknanya lebih terkait dengan Eropa Barat dan bukan kata “Der Western” yang artinya The West atau Barat.

Ia ingin mengatakan bahwa Eropa memiliki budaya yang berbeda dengan negara lain, bahkan dengan Amerika sekalipun. Tumbuhnya kelompok seperti itu semakin memperkuat dan mendorong sentimen xenophobia atau kebencian yang tidak beralasan terhadap seseorang atau komunitas dari negara lain.

Xenophobia dapat juga dikatakan sebagai sebuah perasaan tidak aman atau ketakutan akan hilangnya identitas karena hadirnya kelompok lain. Kelompok xenophobia biasanya curiga bahwa sebuah kegiatan yang dilakukan kelompok dari suku bangsa lain akan menyebabkan nilai-nilai kelompoknya runtuh. Xenophobia ini dapat berkembang menjadi Islamofobia atau Kristenphobia karena mengaitkan suku bangsa atau budaya dengan agama tertentu.

Misalnya asumsi bahwa seluruh orang Timur Tengah pasti beragama Islam atau semua orang pemeluk Kristen pasti mendukung masyarakat Barat. Menariknya bahwa mereka yang mengalami xenophobia umumnya tidak memercayai demokrasi dan pluralisme, termasuk di Jerman.

Merekaberanggapan bahwa demokrasi yang terjadi di Jerman hanya menguntungkan masyarakat pendatang yang berasal dari negaranegara berkembang dan sedang mengalami konflik seperti di Timur Tengah dan Asia. Mereka menuduh para pendatang itu memanfaatkan sistem negara kesejahteraanyangsudahmapan. Di Eropa dan khususnya Jerman, sentimen ini tumbuh kuat.

Jerman sendiri adalah negara kedua tujuan dari para pencari suaka setelah Amerika Serikat. Tahun lalu negara ini menerima 200.000-an pencari suaka yangmayoritasberasaldari Suriah, Irak, negara-negaraTimur Tengah lain, termasuk dari negara-negara EropaTimursepertiBulgaria atau Ukraina. Jumlahnya 4 kali lipat dibandingkan pencari suaka pada 2012. Jumlah imigran tersebut membentuk struktur demografi penduduk Jerman yang berjumlah 80 juta orang.

Dari jumlah tersebut, 15 juta orang lahir bukan beretnik Jerman dan 6,2 juta di antaranya bukanlah warga negara Jerman. (Washington Times , 11/9/14) Tingginya jumlah imigran tersebut berhubungan dengan kebutuhan akan tenaga kerja yang tinggi. Banyak para analis yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Jerman yang relatif stabil dibandingkan dengan negara-negara Eropa lain disebabkan jumlah tenaga kerja imigran yang melimpah itu.

Kelebihan imigran tersebut terutama untuk menutupi kekurangan tenaga kerja akibat rendahnya angkatan kerja. Jerman adalah salah satu negara dari 10 negara dunia yang memiliki penduduk terbanyak berusia di atas 65 tahun, sementara usia harapan hidupnya meningkat dari 77 tahun menjadi 82 tahun.

Di Eropa, Jerman juga adalah negara kedua setelah Monako yang angka kelahirannya terendah. Hal ini membuat beban ekonomi negara semakin bertambah. Sebagai gambaran, di awal tahun 1990-an, setiap tiga pekerja yang produktif menanggung hidup satu orang yang berusia tidak produktif atau berusia di atas 60 tahun. Di awal abad ke- 21, rasionya berubah satu pekerja produktif menanggung 2,2 orang usia lanjut.

Rasionya akan semakin berat pada 10 tahun mendatang seiring dengan ramalan bahwa penduduk Jerman akan berkurang 6,5 juta. Oleh sebab itu, para imigran ini memiliki arti ekonomi yang penting bagi para industrialis dan partai politik di Jerman. Apabila Jerman tidak membuka pintu bagi para imigran, pabrik-pabrik dan industri akan mencari tempat lain di Eropa yang menawarkan jumlah tenaga kerja yang melimpah.

Uraian di atas sekadar menggambarkan bahwa terorisme, xenophobia, dan kepentingan ekonomi memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Gambaran itu juga menunjukkan bahwa dunia semakin lama terintegrasi tidak hanya dari sisi industri, tetapi juga masyarakat dan suku-suku bangsa.

Bagi Indonesia, kejadian di Jerman membawa pelajaran yang menarik mengenai kemampuan suatu pemerintahan dalam menjaga kinerja ekonominya di tengah kecenderungan segmen-segmen dalam masyarakatnya yang mengalami xenophobia. Kondisi Indonesia yang multietnis sangat riskan mengalami konflik akibat pendalaman kesenjangan ekonomi menyusul integrasi ekonomi Indonesia pada ekonomi global.

Dengan demikian, pendekatan untuk mengatasi terorisme dan xenophobia ternyata belum cukup dengansekadarpendekatanreligius karena akar masalahnya sudah lebih kompleks di abad ini.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8148 seconds (0.1#10.140)