Satir Versus Teror

Selasa, 13 Januari 2015 - 11:53 WIB
Satir Versus Teror
Satir Versus Teror
A A A
IVAN HADAR
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe), pernah mukim di Eropa selama 15 tahun

Dalam perjalanan pulang dari Kuala Lumpur dengan Garuda Indonesia, saya sempat menonton film 99 Cahaya di Langit Eropa , sebuah kisah nyata terkait perjalanan tentang pencarian peradaban Islam di Eropa.

Dalam sebuah adegan, Fatma (yang diperankan dengan baik oleh Ralin Syah), mengajarkan anak dan temannya agar membalas dengan kasih sayang ketika dihina atau bahkan diperlakukan secara kasar oleh (sebagian) penduduk Eropa yang rasis dan intoleran. Perilaku rasis dan intoleran ada di mana-mana, di negeri ini pun ada, juga di Eropa.

Di Jerman, tepatnya di Kota Dresden sejak akhir Oktober lalu, misalnya, dimulai sebuah kelompok yang menyebut dirinya PEGIDA–sebuah singkatan dari Patriotische Europäer Gegen die Islamisierung des Abendlandes , yang artinya kurang lebih ”Kaum Patriotis Melawan Islamisasi Eropa”.

Harus diakui bahwa ketika mengalami economic boom pada tahun 70-80an, Jerman cukup banyak mendatangkan pekerja (kasar) dari Turki, yang umumnya beragama Islam. Setelah itu, terutama akibat perang di Afganistan, Irak dan kemudian Suriah, semakin banyak pencari suaka dari Timur Tengah ke negara-negara Eropa.

Hal tersebut, antara lain, telah menimbulkan ”kecemasan” terutama bagi kelompok masyarakat terbawah yang terancam menganggur serta kelompok rasis dan intoleran. Selain Jerman, beberapa negara Eropa juga mengalami ”ketegangan” antara penduduk asli dan pendatang yang memiliki kebudayaan dan agama yang berbeda.

Swedia. Misalnya, sebuah negara kesejahteraan Eropa yang akhir-akhir ini paling banyak menerima peminta suaka dari Timur Tengah, juga mengalami ketegangan dan kekerasan, termasuk berupa pembakaran rumah ibadah para pendatang. Ketegangan, dengan berbagai alasan tersebut, harus diakui sudah cukup lama terjadi.

Kasus pembantaian 17 orang, termasuk anggota redaksi dan pemimpin Mingguan Charlie Hebdo di Paris, baru-baru ini dilakukan oleh empat (tiga di Mingguan Charlie Hebdo dan satu di supermarket) pelaku teror berasal dari kelompok Islam garis keras.

Sebenarnya, sudah cukup lama mingguan ini memperoleh ancaman teror, bahkan pada 2011 kantornya pernah dilempar bom molotov hingga terbakar, meski tanpa korban jiwa dan cidera.

Pada tahun 2006, sebagai bagian dari solidaritas, Charlie Hebdo memuat kembali karikatur harian Denmark, Jyllands-Posten, yang (dianggap) menghina Nabi Muhammad ditambah dengan karikatur Nabi Muhammad yang menggunakan bom sebagai sorban.

Beberapa organisasi Islam di Prancis menuntut Charlie Hebdo ke pengadilan, namun proses pengadilan berakhir dengan putusan tak bersalah dengan alasan masih dalam batas kebebasan pers. Karikatur dalam bentuk satire, terus dipertahankan.

Awal 2013, pemimpin redaksi Charlie Hebdo, Stéphane Charbonnier (Charb), memublikasikan sebuah ”Biografi Nabi Muhammad” dalam bentuk komik satire yang mendulang banyak kritik. Pada hari pembantaian, Charlie Hebdo menjadikan penulis Michel Houellebecq sebagai berita utama, terkait publikasi novel terbarunya ”subjugation” dengan skenario Islamisasi Prancis.

Bagi Charb, berbagai karikatur Charlie Hebdo hanya memprovokasi kelompok garis keras, sama sekali tidak ditujukan kepada mayoritas umat Islam. Hal yang sama juga ditujukan kepada kelompok agama lain, termasuk ketika membuat karikatur satire terkait Paus dan Gereja.

Charb juga terkenal sebagai pendukung organisasi antirasialisme. Salah satu karikaturnya, menggambarkan seorang bos kulit putih ketika menolak calon pegawai kulit hitam: ”Saya ingin menerima Anda, tapi saya tidak menyukai warna..eehhh...warna dasi Anda.”

Pembantaian di kantor Charlie Hebdo dilakukan oleh kelompok garis keras. Sementara itu, hampir semua organisasi dan pemuka agama Islam di seluruh dunia, mengutuk pembantaian tersebut. Conseil Français du Culte Musulman (CFCM), yang berkedudukan di Paris dan memiliki sekitar lima juta anggota di Prancis, menyebutnya sebagai ”tindakan biadab” dan ” serangan terhadap demokrasi dan kebebasan pers”.

Imam paling terkenal di Prancis, Hassen Chalghoumi, yang berasal dari kelompok Ikhwanul Muslimin, mengatakan ”kebiadaban para teroris, sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam.” Kutukan juga berdatangan dari Imam Al-Azhar (Kairo), juga dari Presiden Partai Islam Ennahda (Tunisia), El Rachid Ghannouchi, yang menyebut pembantaian tersebut sebagai ”tindakan kriminal pengecut dan harus dihukum.

(Taz , 7/1) Pada saat yang sama, Presiden CFCM Daili Boubakeur mengatakan ”Dalam sebuah konteks internasional yang dipenuhi ketegangan politik, dipanasi oleh kelompok teroris gila yang secara salah menyebut dirinya Islam, kami menghimbau semua pihak yang mendukung nilai-nilai demokrasi, agar tidak melakukan provokasi yang bisa menjadi siraman bensin ke dalam api.

” (Taz, 8/1) Namun, bagi Charb, dalam melawan provokasi kelompok fundamentalis yang sedang terjadi di berbagai penjuru dunia, karikatur satire dalam bentuk provokasi yang ”memalukan dan mempermalukan” sekalipun akan selalu dilakukannya.

Salah satu yang bisa menjadi ”pertanda” adalah dalam publikasi Charlie Hebdo yang rencananya akan terbit sehari setelah pembantaian. Karikatur yang dibuat sendiri oleh Charb, menggambarkan seorang pejuang Islam garis keras dengan senjata di punggung.

Di atasnya terdapat tulisan, ”Hingga kini tidak ada serangan teroris di Prancis”. Sebagai jawaban, Sang Pejuang Islam garis keras mengatakan: ”Orang masih bisa menginginkan sesuatu pada tahun baru ini, hingga akhir Januari - Tunggu saja!”

Ketika semua anggota redaksi Charlie Hebdo sedang membahas bahan-bahan yang akan dicetak, terjadi pembantaian yang seolah berupa ”keinginan” yang terkabulkan. Charb adalah salah satu yang menjadi korban.
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3383 seconds (0.1#10.140)