Resolusi Penerbangan 2015
A
A
A
Musibah menutup catatan dunia penerbangan, khususnya di Tanah Air, pada 2014 kemarin. Pesawat AirAsia QZ8501 hilang kontak saat dalam perjalanan dari Bandara Internasional Juanda Surabaya menuju Bandara Internasional Changi Singapura (28/12).
Berdasarkan dugaan sementara, pesawat low cost carrier tersebut mengalami musibah akibat cuaca buruk, dalam hal ini awan Cumulonimbus. Pilot Kapten Irianto kemungkinan tidak berhasil melewati awan vertikal menjulang yang sangat tinggi, padat, dan disertai petir dengan luas diperkirakan mencapai 10 km2.
Hingga kemudian pesawat tidak terkendali dan menghunjam ke laut. Dugaan ini didasarkan atas laporan terakhir bahwa awak pesawat sempat meminta izin air traffic control di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta untuk menghindari awan dengan menaikkan ketinggian dari 32.000 kaki menjadi 38.000 kaki. Namun, permintaan ini tidak mendapat izin karena pada saat bersamaan ada 6 pesawat lain di atas.
Sejumlah pakar penerbangan menilai, secara teoretis pesawat modern seperti Airbus 320-200 yang digunakan AirAsia bisa mengatasi cuaca ekstrem seperti Cumulonimbus. Tapi teori juga bisa berkata lain jika pesawat tidak stabil dan terjebak turbulensi. Dengan demikian, kecanggihan teknologi yang ada saat ini belum sepenuhnya bisa mengalahkan kekuatan alam.
Daily Mail mencatat, 30 persen kecelakaan pesawat di seluruh dunia akibat cuaca buruk. Berdasar fakta tersebut, dunia penerbangan sangatlah rentan cuaca. Karena itu sudah semestinya kondisi cuaca menjadi pertimbangan utama. Jika benar bahwa AirAsia jatuh karena cuaca, patut diduga adanya unsur kenekatan atau keteledoran, baik dari pihak AirAsia maupun otoritas penerbangan Tanah Air, sehingga menihilkan potensi ancaman Cumulonimbus.
Penting perhatian terhadap kondisi cuaca juga perlu kembali diingatkan karena sempat beredar isu tentang adanya dokumen dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tertanggal 31 Desember 2014 tentang temuan bahwa AirAsia terbang tanpa laporan cuaca BMKG. Hal ini diketahui dari log book di Stasiun BMKG Juanda Surabaya.
AirAsia baru mengambil bahan informasi cuaca pada pukul 07.00 WIB atau sesudah terjadi lost contact QZ 8501, bukan sebelum take off. Apa sebenarnya penyebab kecelakaan, tentu biarkan KNKT yang akan mengungkapnya. Tapi semua berharap tragedi AirAsia menutup rangkaian cerita kelam penerbangan di Tanah Air.
Selama dua dekade terakhir lebih dari 600 lebih jiwa melayang dalam sedikitnya delapan tragedi penerbangan. Bersamaan dengan awal Tahun Baru 2015, hendaknya pelaku industri penerbangan, terutama maskapai dan otoritas penerbangan menjadikan tekad safety first sebagai resolusi 2015.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan sendiri sudah menegaskan tekadnya untuk me-review dan round check bisnis penerbangan Indonesia dengan arah memastikan keselamatan penumpang menjadi prioritas. Langkah mewujudkan safety first juga urgen mengingat pertumbuhan penerbangan dalam negeri rata-rata mencapai 10% per tahun. Peningkatan penerbangan tersebut sudah pasti akan diiringi peningkatan risiko.
Kita berharap langkah tersebut memperhatikan keseluruhan risiko potensial. Sebab, kecelakaan pesawat bukan hanya karena cuaca buruk, tapi juga bisa karena sebab lain seperti kerusakan mesin, terorisme, serangan rudal, dan tentu human error yang menjadi penyebab terbesar dari kecelakaan. Untuk di Indonesia, kabut asap yang sering menutupi wilayah udara Sumatera dan Kalimantan juga patut menjadi perhatian. Begitu pun dampak letusan gunung berapi.
Di sisi lain, review dan round check nantinya tidak berhenti pada aturan, tapi juga konsistensi mengawal dan menegak aturan. Disiplin aturan dan profesionalitas menjalankan aturan perlu mendapat perhatian karena selama ini pelaku dan stakeholders penerbangan masih permisif terhadap pelanggaran. Tanpa disiplin dan profesionalitas, jangan harap resolusi safety first pada dunia penerbangan Tanah Air bisa terwujud.
Berdasarkan dugaan sementara, pesawat low cost carrier tersebut mengalami musibah akibat cuaca buruk, dalam hal ini awan Cumulonimbus. Pilot Kapten Irianto kemungkinan tidak berhasil melewati awan vertikal menjulang yang sangat tinggi, padat, dan disertai petir dengan luas diperkirakan mencapai 10 km2.
Hingga kemudian pesawat tidak terkendali dan menghunjam ke laut. Dugaan ini didasarkan atas laporan terakhir bahwa awak pesawat sempat meminta izin air traffic control di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta untuk menghindari awan dengan menaikkan ketinggian dari 32.000 kaki menjadi 38.000 kaki. Namun, permintaan ini tidak mendapat izin karena pada saat bersamaan ada 6 pesawat lain di atas.
Sejumlah pakar penerbangan menilai, secara teoretis pesawat modern seperti Airbus 320-200 yang digunakan AirAsia bisa mengatasi cuaca ekstrem seperti Cumulonimbus. Tapi teori juga bisa berkata lain jika pesawat tidak stabil dan terjebak turbulensi. Dengan demikian, kecanggihan teknologi yang ada saat ini belum sepenuhnya bisa mengalahkan kekuatan alam.
Daily Mail mencatat, 30 persen kecelakaan pesawat di seluruh dunia akibat cuaca buruk. Berdasar fakta tersebut, dunia penerbangan sangatlah rentan cuaca. Karena itu sudah semestinya kondisi cuaca menjadi pertimbangan utama. Jika benar bahwa AirAsia jatuh karena cuaca, patut diduga adanya unsur kenekatan atau keteledoran, baik dari pihak AirAsia maupun otoritas penerbangan Tanah Air, sehingga menihilkan potensi ancaman Cumulonimbus.
Penting perhatian terhadap kondisi cuaca juga perlu kembali diingatkan karena sempat beredar isu tentang adanya dokumen dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tertanggal 31 Desember 2014 tentang temuan bahwa AirAsia terbang tanpa laporan cuaca BMKG. Hal ini diketahui dari log book di Stasiun BMKG Juanda Surabaya.
AirAsia baru mengambil bahan informasi cuaca pada pukul 07.00 WIB atau sesudah terjadi lost contact QZ 8501, bukan sebelum take off. Apa sebenarnya penyebab kecelakaan, tentu biarkan KNKT yang akan mengungkapnya. Tapi semua berharap tragedi AirAsia menutup rangkaian cerita kelam penerbangan di Tanah Air.
Selama dua dekade terakhir lebih dari 600 lebih jiwa melayang dalam sedikitnya delapan tragedi penerbangan. Bersamaan dengan awal Tahun Baru 2015, hendaknya pelaku industri penerbangan, terutama maskapai dan otoritas penerbangan menjadikan tekad safety first sebagai resolusi 2015.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan sendiri sudah menegaskan tekadnya untuk me-review dan round check bisnis penerbangan Indonesia dengan arah memastikan keselamatan penumpang menjadi prioritas. Langkah mewujudkan safety first juga urgen mengingat pertumbuhan penerbangan dalam negeri rata-rata mencapai 10% per tahun. Peningkatan penerbangan tersebut sudah pasti akan diiringi peningkatan risiko.
Kita berharap langkah tersebut memperhatikan keseluruhan risiko potensial. Sebab, kecelakaan pesawat bukan hanya karena cuaca buruk, tapi juga bisa karena sebab lain seperti kerusakan mesin, terorisme, serangan rudal, dan tentu human error yang menjadi penyebab terbesar dari kecelakaan. Untuk di Indonesia, kabut asap yang sering menutupi wilayah udara Sumatera dan Kalimantan juga patut menjadi perhatian. Begitu pun dampak letusan gunung berapi.
Di sisi lain, review dan round check nantinya tidak berhenti pada aturan, tapi juga konsistensi mengawal dan menegak aturan. Disiplin aturan dan profesionalitas menjalankan aturan perlu mendapat perhatian karena selama ini pelaku dan stakeholders penerbangan masih permisif terhadap pelanggaran. Tanpa disiplin dan profesionalitas, jangan harap resolusi safety first pada dunia penerbangan Tanah Air bisa terwujud.
(bbg)