11 Tahun KPK
A
A
A
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, 29 Desember 2014 lalu, tepat berusia 11 tahun. Keberadaan lembaga antikorupsi yang berdiri pada akhir tahun 2013 ini telah menjadi harapan bagi seluruh rakyat Indonesia yang sudah lama frustrasi atas merebaknya korupsi di negeri ini.
Meski pada awal berdiri muncul banyak pesimisme, perlahan tapi pasti KPK mulai menjadi institusi yang ditakuti atau setidaknya menjadi ancaman bagi para koruptor. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh komisi antirasuah ini telah menyentuh hampir semua lini, mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif hingga kelompok bisnis.
Wilayah kerjanya mulai dari pusat hingga daerah. Sudah ratusan koruptor yang berhasil dijerat KPK dan dijebloskan ke penjara. Selama 11 tahun kinerjanya memberantas korupsi, dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) terdapat sejumlah prestasi yang berhasil diraih KPK. Di antaranya seluruh kasus korupsi yang disidik dan dituntut oleh KPK pada akhirnya divonis bersalah oleh pengadilan.
Tidak ada satu pun koruptor yang divonis bebas ketika prosesnya sudah sampai ke pengadilan. Prestasi KPK lainnya yang tidak dimiliki lembaga lain adalah berhasil menjerat praktik korupsi yang dilakukan antara lain oleh tiga menteri aktif di era pemerintahan SBY, yaitu Andi Mallarangeng, Jero Wacik, dan Suryadharma Ali.
KPK juga telah memproses kasus korupsi yang melibatkan jenderal polisi aktif, yaitu Irjen Pol Djoko Susilo, dan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Sejak KPK beroperasi hingga kini tercatat uang negara Rp249 triliun berhasil diselamatkan. Dalam aspek penindakan, KPK telah melakukan sejumlah terobosan,
antara lain dengan sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) pelaku korupsi, menjerat dan memiskinkan pelaku korupsi secara berlapis dengan regulasi antikorupsi dan regulasi antipencucian uang, menangkap koruptor yang melarikan diri ke luar negeri dan menuntut pencabutan hak politik untuk pelaku korupsi.
Namun ibarat pepatah ”tak ada gading yang tidak retak”, KPK juga bukan institusi yang sempurna. Dengan segudang prestasi dan kewenangan besar yang dimiliki, KPK juga memiliki sejumlah catatan atau kekurangan yang perlu diperbaiki. Dalam lima tahun terakhir mulai terjadi pelunakan perlakuan KPK terhadap tersangka korupsi.
Meski berstatus tersangka KPK, tidak semua pelaku korupsi langsung segera ditahan. Hingga akhir 2014 ini, ICW mencatat sedikitnya 11 tersangka KPK yang lebih dari tiga bulan berstatus tersangka tetapi belum juga ditahan. Bahkan terdapat tersangka korupsi yang sudah lebih dari tiga tahun belum juga ditahan. Selain muncul pelunakan terhadap koruptor, jika dicermati kembali faktanya masih banyak perkara korupsi yang ditangani belum sepenuhnya dituntaskan KPK.
Artinya, meski sudah ada proses hukum yang dilakukan, masih ada aktor lain yang belum tersentuh. Dalam catatan ICW, terdapat sedikitnya 11 kasus korupsi yang belum 100% dituntaskan meski telah dilakukan penyidikan. Fenomena ”membongkar tetapi belum menuntaskan”. Misalnya saja dalam perkara suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia atau dikenal dengan kasus cek pelawat.
KPK sejauh ini hanya menjerat penerima (anggota DPR) dan perantara suap (Nunung Nurbaeti) serta pihak yang diuntungkan (Miranda Goeltom). Namun hingga kini belum terungkap siapa bandar atau penyandang dana yang memberikan suap melalui cek pelawat tersebut. Selain sejumlah kasus korupsi yang belum selesai di tahap penyidikan, pada tahap penyelidikan KPK juga belum menyelesaikan penanganan perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Tim khusus penanganan kasus korupsi BLBI sudah mulai dibentuk sejak KPK dipimpin AntasariAzhar. Meski KPK telah meminta keterangan sejumlah mantan menteri dan melakukan pencekalan, hingga saat ini proses hukumnya masih tetap dalam tahap penyelidikan dan belum beranjak ke tahap penyidikan.
KPK juga perlu dikritik karena hingga 11 tahun terakhir ini belum menyentuh empat hal, yaitu pelaku korupsi yang berasal dari korporasi, korupsi di sektor pengadaan alat pertahanan atau melibatkan pelaku dari kalangan militer, korupsi di sektor pengeluaran keuangan negara, dan pelaku pasif pencucian uang yang berasal dari korupsi.
Di luar prestasi dan upaya yang gencar dalam memberantas korupsi, sudah barang tentu terdapat pihak yang dirugikan atau tidak suka dengan keberadaan KPK, yaitu koruptor dan para pendukungnya. Masifnya upaya pelemahan terhadap KPK kemudian memunculkan istilah perlawanan balik terhadap koruptor (corruptor fight back ). Beberapa pelemahan yang menonjol antara lain pengajuan permohonan uji materi (judicial review ) UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sedikitnya tujuh uji materiUU KPK yang berpotensi melemahkan KPK diajukan ke MK. Terakhir adalah uji materi UU KPK oleh Akil Mochtar, mantan Ketua MK, khususnya mengenai kewenangan KPK dalam menuntut pelaku korupsi dengan UU Pencucian Uang. Akil meminta hakim MK untuk menyatakan KPK tidak berwenang menuntut perkara pencucian uang yang berasal dari korupsi.
Cara lain adalah pengusulan atau pembahasan regulasi oleh DPR maupun pemerintah. Sejumlah rancangan undang-undang (RUU) pernah diusulkan untuk dibahas di DPR meskipun substansinya dinilai berpotensi melemahkan KPK. Misalnya Revisi UU KPK, RUU KUHP, dan RUU KUHAP. Meski banyak mengalami upaya pelemahan, hingga tahun ke-11 KPK masih membuktikan diri sebagai lembaga yang paling dipercaya publik dalam upaya pemberantasan korupsi.
KPK tetap menjadi ancaman bagi para koruptor maupun pendukungnya. Sejauh ini sejumlah upaya pelemahan terhadap KPK pada akhirnya gagal dilakukan karena adanya dukungan banyak pihak termasuk dari rakyat dan media. Agar tetap didukung, sudah seharusnya KPK meningkatkan prestasi yang diperolehnya dan memperbaiki kekurangan yang ada.
Perlu ada keberanian KPK dalam melakukan segala upaya agar koruptor jera dan menuntaskan kasus korupsi yang dinilai belum tuntas. KPK juga harus tetap menjadi lembaga independen dan memperkuat fungsi kordinasi dan supervisi dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian.
Langkah pencegahan juga perlu menjadi fokus utama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemberantasan korupsi. Tahun 2015 adalah tahun paling krusial untuk eksistensi KPK di masa mendatang. Upaya pembajakandanpelemahanKPK berpotensi terus terjadi, terutama melalui pemilihan calon pimpinan KPK dan pembahasan sejumlah rancangan regulasi bidang hukum di DPR seperti RUU KUHAP dan RUU KUHP.
Pada sisi lain, janji maupun program Presiden Jokowi untuk selalu mendukung KPK perlu terus dikawal. Selama masih berkuasa, Presiden Jokowi harus memastikan tidak boleh ada upaya pelemahan terhadap KPK.
Meski pada awal berdiri muncul banyak pesimisme, perlahan tapi pasti KPK mulai menjadi institusi yang ditakuti atau setidaknya menjadi ancaman bagi para koruptor. Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh komisi antirasuah ini telah menyentuh hampir semua lini, mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif hingga kelompok bisnis.
Wilayah kerjanya mulai dari pusat hingga daerah. Sudah ratusan koruptor yang berhasil dijerat KPK dan dijebloskan ke penjara. Selama 11 tahun kinerjanya memberantas korupsi, dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) terdapat sejumlah prestasi yang berhasil diraih KPK. Di antaranya seluruh kasus korupsi yang disidik dan dituntut oleh KPK pada akhirnya divonis bersalah oleh pengadilan.
Tidak ada satu pun koruptor yang divonis bebas ketika prosesnya sudah sampai ke pengadilan. Prestasi KPK lainnya yang tidak dimiliki lembaga lain adalah berhasil menjerat praktik korupsi yang dilakukan antara lain oleh tiga menteri aktif di era pemerintahan SBY, yaitu Andi Mallarangeng, Jero Wacik, dan Suryadharma Ali.
KPK juga telah memproses kasus korupsi yang melibatkan jenderal polisi aktif, yaitu Irjen Pol Djoko Susilo, dan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Sejak KPK beroperasi hingga kini tercatat uang negara Rp249 triliun berhasil diselamatkan. Dalam aspek penindakan, KPK telah melakukan sejumlah terobosan,
antara lain dengan sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) pelaku korupsi, menjerat dan memiskinkan pelaku korupsi secara berlapis dengan regulasi antikorupsi dan regulasi antipencucian uang, menangkap koruptor yang melarikan diri ke luar negeri dan menuntut pencabutan hak politik untuk pelaku korupsi.
Namun ibarat pepatah ”tak ada gading yang tidak retak”, KPK juga bukan institusi yang sempurna. Dengan segudang prestasi dan kewenangan besar yang dimiliki, KPK juga memiliki sejumlah catatan atau kekurangan yang perlu diperbaiki. Dalam lima tahun terakhir mulai terjadi pelunakan perlakuan KPK terhadap tersangka korupsi.
Meski berstatus tersangka KPK, tidak semua pelaku korupsi langsung segera ditahan. Hingga akhir 2014 ini, ICW mencatat sedikitnya 11 tersangka KPK yang lebih dari tiga bulan berstatus tersangka tetapi belum juga ditahan. Bahkan terdapat tersangka korupsi yang sudah lebih dari tiga tahun belum juga ditahan. Selain muncul pelunakan terhadap koruptor, jika dicermati kembali faktanya masih banyak perkara korupsi yang ditangani belum sepenuhnya dituntaskan KPK.
Artinya, meski sudah ada proses hukum yang dilakukan, masih ada aktor lain yang belum tersentuh. Dalam catatan ICW, terdapat sedikitnya 11 kasus korupsi yang belum 100% dituntaskan meski telah dilakukan penyidikan. Fenomena ”membongkar tetapi belum menuntaskan”. Misalnya saja dalam perkara suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia atau dikenal dengan kasus cek pelawat.
KPK sejauh ini hanya menjerat penerima (anggota DPR) dan perantara suap (Nunung Nurbaeti) serta pihak yang diuntungkan (Miranda Goeltom). Namun hingga kini belum terungkap siapa bandar atau penyandang dana yang memberikan suap melalui cek pelawat tersebut. Selain sejumlah kasus korupsi yang belum selesai di tahap penyidikan, pada tahap penyelidikan KPK juga belum menyelesaikan penanganan perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Tim khusus penanganan kasus korupsi BLBI sudah mulai dibentuk sejak KPK dipimpin AntasariAzhar. Meski KPK telah meminta keterangan sejumlah mantan menteri dan melakukan pencekalan, hingga saat ini proses hukumnya masih tetap dalam tahap penyelidikan dan belum beranjak ke tahap penyidikan.
KPK juga perlu dikritik karena hingga 11 tahun terakhir ini belum menyentuh empat hal, yaitu pelaku korupsi yang berasal dari korporasi, korupsi di sektor pengadaan alat pertahanan atau melibatkan pelaku dari kalangan militer, korupsi di sektor pengeluaran keuangan negara, dan pelaku pasif pencucian uang yang berasal dari korupsi.
Di luar prestasi dan upaya yang gencar dalam memberantas korupsi, sudah barang tentu terdapat pihak yang dirugikan atau tidak suka dengan keberadaan KPK, yaitu koruptor dan para pendukungnya. Masifnya upaya pelemahan terhadap KPK kemudian memunculkan istilah perlawanan balik terhadap koruptor (corruptor fight back ). Beberapa pelemahan yang menonjol antara lain pengajuan permohonan uji materi (judicial review ) UU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sedikitnya tujuh uji materiUU KPK yang berpotensi melemahkan KPK diajukan ke MK. Terakhir adalah uji materi UU KPK oleh Akil Mochtar, mantan Ketua MK, khususnya mengenai kewenangan KPK dalam menuntut pelaku korupsi dengan UU Pencucian Uang. Akil meminta hakim MK untuk menyatakan KPK tidak berwenang menuntut perkara pencucian uang yang berasal dari korupsi.
Cara lain adalah pengusulan atau pembahasan regulasi oleh DPR maupun pemerintah. Sejumlah rancangan undang-undang (RUU) pernah diusulkan untuk dibahas di DPR meskipun substansinya dinilai berpotensi melemahkan KPK. Misalnya Revisi UU KPK, RUU KUHP, dan RUU KUHAP. Meski banyak mengalami upaya pelemahan, hingga tahun ke-11 KPK masih membuktikan diri sebagai lembaga yang paling dipercaya publik dalam upaya pemberantasan korupsi.
KPK tetap menjadi ancaman bagi para koruptor maupun pendukungnya. Sejauh ini sejumlah upaya pelemahan terhadap KPK pada akhirnya gagal dilakukan karena adanya dukungan banyak pihak termasuk dari rakyat dan media. Agar tetap didukung, sudah seharusnya KPK meningkatkan prestasi yang diperolehnya dan memperbaiki kekurangan yang ada.
Perlu ada keberanian KPK dalam melakukan segala upaya agar koruptor jera dan menuntaskan kasus korupsi yang dinilai belum tuntas. KPK juga harus tetap menjadi lembaga independen dan memperkuat fungsi kordinasi dan supervisi dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti kejaksaan dan kepolisian.
Langkah pencegahan juga perlu menjadi fokus utama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemberantasan korupsi. Tahun 2015 adalah tahun paling krusial untuk eksistensi KPK di masa mendatang. Upaya pembajakandanpelemahanKPK berpotensi terus terjadi, terutama melalui pemilihan calon pimpinan KPK dan pembahasan sejumlah rancangan regulasi bidang hukum di DPR seperti RUU KUHAP dan RUU KUHP.
Pada sisi lain, janji maupun program Presiden Jokowi untuk selalu mendukung KPK perlu terus dikawal. Selama masih berkuasa, Presiden Jokowi harus memastikan tidak boleh ada upaya pelemahan terhadap KPK.
(bbg)