Peringatan Tsunami dan Renungan Bencana

Jum'at, 26 Desember 2014 - 11:02 WIB
Peringatan Tsunami dan...
Peringatan Tsunami dan Renungan Bencana
A A A
Tepat hari ini, 26 Desember, bangsa ini memperingati 10 tahun gempa dan tsunami Aceh. Seketika ingatan bangsa ini berputar kembali pada peristiwa bencana terbesar pada abad ke-21 dengan segala kedahsyatan dan kepiluan yang ditimbulkan.

Gempa berkekuatan 9,3 SR pada 2004 itu memicu tsunami yang menghantam beberapa wilayah pantai Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan beberapa negara Asia Tenggara hingga Asia Selatan. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bencana dahsyat itu mengakibatkan 173.741 warga Aceh tewas dan 116.368 lainnya hilang.

Gempa dan tsunami juga mengakibatkan ribuan rumah dan bangunan rusak, bahkan hilang tersapu tsunami. Hampir setengah juta warga Serambi Mekkah itu mengungsi. Setelah sepuluh tahun, patut disyukuri, Aceh dalam berbagai dimensi sudah kembali bangkit. Aktivitas masyarakat-ekonomi, sosial, dan pendidikan sudah pulih kembali.

Banda Aceh dan beberapa daerah yang pernah tersapu tsunami sudah berbenah kembali. Tentu saja, trauma yang dirasakan belum bisa sepenuhnya lekang dari ingatan warga setempat yang kehilangan sanak keluarga dan harta benda. Namun, peringatan 10 tahun gempa dan tsunami Aceh jangan berhenti di seremoni dan di wilayah paling utara Sumatera itu saja.

Momentum tersebut harus ditarik secara lebih luas sebagai perenungan bahwa bencana bukan hanya gempa dan tsunami ada di sekeliling kita dan setiap saat akan menerjang. Ancaman tersebut bukan hanyadi Aceh, melainkan juga di semua wilayah dari Sabang sampai Merauke. Perenungan ini sangat relevan karena Indonesia berada di wilayah paling rawan bencana.

Berdasar survei United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) terhadap 265 negara di dunia, Indonesia negara paling rawan gempa dan tsunami. Potensi gempa di Tanah Air bahkan 10 kali lipat dibandingkan Amerika Serikat. Dalam perhitungan lembaga PBB tersebut, kerawanan bencana tersebut mengancam lima juta lebih warga.

Hal tersebut tidak terlepas dari posisi geografis Indonesia yang berada di pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi.

Kondisi demikian berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Fakta tersebut semestinya menyadarkan masyarakat Indonesia bahwa mereka menempati alam yang demikian rawan dan tinggal berdampingan dengan bencana.

Kesadaran ini pun sudah harus menimbulkan kearifan yakni bagaimana masyarakat harus menyesuaikan diri dan menjaga keseimbangan alam sehingga bencana bisa diminimalisasi. Namun, perusakan lingkungan hidup cenderung makin parah. Penebangan hutan dan bakau tidak bisa terkendalikan.

Eksploitasi sumber daya alam juga dilakukan tanpa ukuran. Akhirnya potensi bencana makin kuat dan risiko yang diakibatkan pun makin besar. Tak heran jika bencana banjir, angin puting beliung, tanah longsor, kebakaran hutan, dan musibah hidrometeorologi terus terjadi dan datang silih berganti.

Banyak rumah menimbun penghuninya karena tidak ada antisipasi kerawanan gempa. Tsunami mengempas begitu saja ke perkampungan di pantai karena tidak ada sabuk hijau yang bisa menahan empasan. Berangkat dari pemahaman ini, penanganan bencana tidak bisa sekadar pada ketersediaan early warning system.

Pemerintah perlu mengubah pendekatan ke pembangunan yang prolingkungan hidup sehingga masyarakat tidak bisa seenaknya meluapkan egoisme manusiawinya. Di kawasan ring satu bencana, pemerintah perlu menerapkan mitigasi bencana sehingga potensi jatuh banyak korban jiwa bisa diminimalisasi. Implementasikan. Itu harus diwujudkan secara komprehensif dengan edukasi kepada masyarakat dan penegakan hukum.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0776 seconds (0.1#10.140)