Banjarnegara, Kearifan Lokal dan Kecerdasan Ekologis
A
A
A
Menjelang berakhirnya tutup tahun 2014, bencana tanah longsor terjadi di Banjarnegara. Hingga Kamis (18/12), sudah 87 korban tewas ditemukan, puluhan masihhilangsertalainnya mengungsi karena 108 rumah mereka roboh.
Seperti diketahui, tebing yang longsor mengubur rumahrumah warga dan menyapu apa pun yang melintas di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah, Jumat (12/12). Jumlah korban jiwa masih mungkin bertambah, karena masih terus dilakukan upaya pencarian korban. Kita pasti merasa negeri menyimak detik-detik longsor Banjarnegara di YouTube.
Kita sungguh berdukacita dengan para korban dan keluarga mereka. Menyikapi bencana tersebut, ada beragam respons. Ada yang pasrah akibat dukacita mendalam. Ada pula yang bersikap biasa, karena menganggap bencana sebagai hal yang biasa. Atau ada juga yang masa bodoh, karena bagi mereka, ada “bencana” lain yang lebih mendesak.
Misalnya “bencana” semakin mahalnya harga sembako bagi wong cilik atau tarif dasar listrik yang kian mencekik para pengusaha. Terlebih hari-hari ini rupiah juga terpuruk mendekati Rp13.000 per dolar Amerika, terburuk sejak 1999. Syukurlah ada juga yang sadar. Menurut pakar geologi sekaligus Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Dwikorita Karnawati, longsor di Banjarnegara, disebabkan faktor alam dan kesalahan pengelolaan kawasan.
Dwikorita menjelaskan, faktor alam itu adalah adanya sejumlah jalur patahan di Karangkobar yang memiliki tekstur daratan berbukit yang memiliki lereng curam dan tegak. Efek patahan itulah yang memudahkan terjadinya longsor, terlebih pada musim hujan.
Kearifan Lokal
Pada masa lalu, kearifan lokal membuat warga Banjarnegara yang notabene orang Jawa tak berani membangun rumah di perbukitan. Tapi entahlah, kemudian kawasan longsor tersebut didiami banyak orang, setelah bukit-bukit di sana sukses ditanami salak. Padahal mendiami kawasan rawan longsor, jelas mengganggu keseimbangan antara alam empiris dan alam meta empiris.
Seperti diketahui, dalam kosmologi Jawa, alam terdiri atas alam empiris yang menjadi kediaman manusia dan alam di balik realitas-empiris atau metaempiris. Alam empiris selalu berhubungan dengan alam metaempiris. Setiap peristiwa di dunia empiris, dipengaruhi oleh alammetaempiris(FransMagnis Suseso, Etika Jawa , 2001).
Pada halaman 86 buku Etika Jawa, Romo Magnis menulis:”..pengalaman-pengalaman ..pengalaman-pengalaman empiris’ orang Jawa tidak pernah empiris semata-mata. Alam metaempiris yang angker dan mengasyikkan menjadi isi pengalaman itu sendiri. Alam empiris selalu diresapi oleh alam gaib.” Jadi apa yang ada pada alam, seperti bukit, gunung, sungai, semuanya berpenghuni.
Maka ada sakralisasi alam. Alam ini sakral sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Kalau alam tidak dijaga atau dilestarikan, keseimbangan bisa terganggu. Apalagi kalau manusia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peran dan tempatnya, harmoni bisa melahirkan disharmoni, bahkan bencana. Ini terbukti dari berubah fungsinya perbukitan di Banjarnegara, yang pada masa lalu tidak pernah menjadi tempat tinggal atau perumahan.
Kebutuhan akan tempat tinggal memaksa sebagian orang berani mendirikan tempat tinggal atau perumahan di daerah perbukitan yang rawan longsor. Kebutuhan itu mendorong mereka berani melanggar kearifan lokal yang dahulu diyakini nenek moyang mereka. Pada zaman Belanda pun, sudah ada larangan warga untuk membangun rumah di atas bukit.
Tapi, coba simak, dalam empat puluh tahun terakhir, semakin banyak rumah dibangun di atas bukit-bukit. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada 49 juta jiwa dari 250 juta penduduk negeri ini, tinggal di daerah yang rawan longsor Akibatnya, tipologi bukit pun berubah. Bukit-bukit juga tidak mampu menanggung beban lagi saking banyaknya perumahan di atasnya.
Perubahan itu tentu sangat berisiko dan kita sudah melihatnya sendiri akibatnya. Maka terjadilah “ecological suicide “ atau bunuh diri lingkungan, yang melahirkan bencana seperti longsor di Banjarnegara kali ini. Namun, kesalahan tidak hanya pantas diarahkan kepada manusia yang membangun rumah perbukitan.
Bagaimanapun, pemerintah atau instansi yang punya wewenang pemberian izin (seperti IMB) seharusnya sejak dini membuat larangan tegas. Kalau pemerintah kolonial saja bisa melarang, mengapa pemerintah sekarang tidak? Jelas hal itu merupakan “dosa ekologis”, yang sekarang sudah sangat terlambat untuk disesali. Padahal pada masa lalu, tidak ada orang yang berani bertempat tinggal di daerah perbukitan.
Maka ketika bencana sudah telanjur terjadi akibat eksploitasi yang mendorong terjadinya perubahan fungsi lahan perbukitan jadi perumahan, hal ini tidak akan bisa dicarikan solusinya lewat ritual “selamatan”. Mengapa tak bisa? Karena eksploitasi itu sudah meminggirkan kearifan lokal, yang diwarisi orang Jawa dari para leluhurnya.
Tata dunia atau alam empiris telah berubah fungsinya, sehingga para makhluk di alam meta empiris yang jadi penunggu bukit, pohon, dan sungai atau pohon tak bisa diajak berdamai mengingat “tempat tinggal”-nya sudah dirusak oleh tangan manusia yang doyan membangun rumah di atas perbukitan. Maka aktivis lingkungan dan penulis Jack Rogers menekankan pentingnya kembali interelasi yang harmonis antara Sang Pencipta, manusia dan alam semesta.
Segala bentuk eksploitasi atau destruksi, seperti pembabatan hutan atau mengubah fungsi bukit atau lahana menjadi tempat tinggal, tak akan bisa memulihkan “equilibrio ecologico“ (keseimbangan ekologi). Maka kita jangan terlalu percaya pada cara pandang yang sangat antroposentrisme, bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna, yang dengan kesempurnaan itu, boleh berbuat apa pun termasuk mengubah fungsi bukit menjadi perumahan. Cara pandang antroposentrisme merupakan cara pandang merusak (destroyer paradigm).
Kecerdasan Ekologis
Apalagi menurut Paul Elrich dalam The End of Afflence -nya, dalam diri manusia terdapat sifat rakus (materialisme). Dorongan ini makin menjadi ketika manusia menyadari bahwa ternyata membangun rumah di atas bukit tidak jadi masalah. Satu atau dua rumah ternyata tidak menimbulkan masalah.
Namun begitu, banyak rumah didirikan di atas bukit, daya beban daerah perbukitan pun kita berat. Dan dengan mudah, ini bisa menjadi bencana, ketika hujan turun. Maka longsor yang disebabkan oleh dosa ekologis ini, harus membuat kita berefleksi dan membuat langkah nyata ke depan untuk menghentikan hasrat terus membangun tempat tinggal di perbukitan, yang berbuah malapetaka.
Kini yang dibutuhkan bukan hanya kecerdasan otak (IQ) atau kecerdasan emosional (EQ), tapi juga EnQ atau enviro intelligence atau kecerdasan ekologis. Untuk itu, harus segera dibuat langkah cepat, tepat, dan terkoordinasi sebagai bentuk antisipasi terlebih pada jutaan warga kita yang bertempat tinggal di atas daerah rawan longsor.
Saat ini ada 114 titik longsor di negeri ini. Bukit-bukit yang gundul harus ditanami pohon. Langkah proteksi dan persuasi harus ditempuh agar warga yang mendiami kawasan rawan longsor rela direlokasi. Hukum juga harus ditegakkan agar ke depan tak ada yang berani membangun rumah di atas bukit yang rawan longsor.
Seperti diketahui, tebing yang longsor mengubur rumahrumah warga dan menyapu apa pun yang melintas di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah, Jumat (12/12). Jumlah korban jiwa masih mungkin bertambah, karena masih terus dilakukan upaya pencarian korban. Kita pasti merasa negeri menyimak detik-detik longsor Banjarnegara di YouTube.
Kita sungguh berdukacita dengan para korban dan keluarga mereka. Menyikapi bencana tersebut, ada beragam respons. Ada yang pasrah akibat dukacita mendalam. Ada pula yang bersikap biasa, karena menganggap bencana sebagai hal yang biasa. Atau ada juga yang masa bodoh, karena bagi mereka, ada “bencana” lain yang lebih mendesak.
Misalnya “bencana” semakin mahalnya harga sembako bagi wong cilik atau tarif dasar listrik yang kian mencekik para pengusaha. Terlebih hari-hari ini rupiah juga terpuruk mendekati Rp13.000 per dolar Amerika, terburuk sejak 1999. Syukurlah ada juga yang sadar. Menurut pakar geologi sekaligus Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Dwikorita Karnawati, longsor di Banjarnegara, disebabkan faktor alam dan kesalahan pengelolaan kawasan.
Dwikorita menjelaskan, faktor alam itu adalah adanya sejumlah jalur patahan di Karangkobar yang memiliki tekstur daratan berbukit yang memiliki lereng curam dan tegak. Efek patahan itulah yang memudahkan terjadinya longsor, terlebih pada musim hujan.
Kearifan Lokal
Pada masa lalu, kearifan lokal membuat warga Banjarnegara yang notabene orang Jawa tak berani membangun rumah di perbukitan. Tapi entahlah, kemudian kawasan longsor tersebut didiami banyak orang, setelah bukit-bukit di sana sukses ditanami salak. Padahal mendiami kawasan rawan longsor, jelas mengganggu keseimbangan antara alam empiris dan alam meta empiris.
Seperti diketahui, dalam kosmologi Jawa, alam terdiri atas alam empiris yang menjadi kediaman manusia dan alam di balik realitas-empiris atau metaempiris. Alam empiris selalu berhubungan dengan alam metaempiris. Setiap peristiwa di dunia empiris, dipengaruhi oleh alammetaempiris(FransMagnis Suseso, Etika Jawa , 2001).
Pada halaman 86 buku Etika Jawa, Romo Magnis menulis:”..pengalaman-pengalaman ..pengalaman-pengalaman empiris’ orang Jawa tidak pernah empiris semata-mata. Alam metaempiris yang angker dan mengasyikkan menjadi isi pengalaman itu sendiri. Alam empiris selalu diresapi oleh alam gaib.” Jadi apa yang ada pada alam, seperti bukit, gunung, sungai, semuanya berpenghuni.
Maka ada sakralisasi alam. Alam ini sakral sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Kalau alam tidak dijaga atau dilestarikan, keseimbangan bisa terganggu. Apalagi kalau manusia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan peran dan tempatnya, harmoni bisa melahirkan disharmoni, bahkan bencana. Ini terbukti dari berubah fungsinya perbukitan di Banjarnegara, yang pada masa lalu tidak pernah menjadi tempat tinggal atau perumahan.
Kebutuhan akan tempat tinggal memaksa sebagian orang berani mendirikan tempat tinggal atau perumahan di daerah perbukitan yang rawan longsor. Kebutuhan itu mendorong mereka berani melanggar kearifan lokal yang dahulu diyakini nenek moyang mereka. Pada zaman Belanda pun, sudah ada larangan warga untuk membangun rumah di atas bukit.
Tapi, coba simak, dalam empat puluh tahun terakhir, semakin banyak rumah dibangun di atas bukit-bukit. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada 49 juta jiwa dari 250 juta penduduk negeri ini, tinggal di daerah yang rawan longsor Akibatnya, tipologi bukit pun berubah. Bukit-bukit juga tidak mampu menanggung beban lagi saking banyaknya perumahan di atasnya.
Perubahan itu tentu sangat berisiko dan kita sudah melihatnya sendiri akibatnya. Maka terjadilah “ecological suicide “ atau bunuh diri lingkungan, yang melahirkan bencana seperti longsor di Banjarnegara kali ini. Namun, kesalahan tidak hanya pantas diarahkan kepada manusia yang membangun rumah perbukitan.
Bagaimanapun, pemerintah atau instansi yang punya wewenang pemberian izin (seperti IMB) seharusnya sejak dini membuat larangan tegas. Kalau pemerintah kolonial saja bisa melarang, mengapa pemerintah sekarang tidak? Jelas hal itu merupakan “dosa ekologis”, yang sekarang sudah sangat terlambat untuk disesali. Padahal pada masa lalu, tidak ada orang yang berani bertempat tinggal di daerah perbukitan.
Maka ketika bencana sudah telanjur terjadi akibat eksploitasi yang mendorong terjadinya perubahan fungsi lahan perbukitan jadi perumahan, hal ini tidak akan bisa dicarikan solusinya lewat ritual “selamatan”. Mengapa tak bisa? Karena eksploitasi itu sudah meminggirkan kearifan lokal, yang diwarisi orang Jawa dari para leluhurnya.
Tata dunia atau alam empiris telah berubah fungsinya, sehingga para makhluk di alam meta empiris yang jadi penunggu bukit, pohon, dan sungai atau pohon tak bisa diajak berdamai mengingat “tempat tinggal”-nya sudah dirusak oleh tangan manusia yang doyan membangun rumah di atas perbukitan. Maka aktivis lingkungan dan penulis Jack Rogers menekankan pentingnya kembali interelasi yang harmonis antara Sang Pencipta, manusia dan alam semesta.
Segala bentuk eksploitasi atau destruksi, seperti pembabatan hutan atau mengubah fungsi bukit atau lahana menjadi tempat tinggal, tak akan bisa memulihkan “equilibrio ecologico“ (keseimbangan ekologi). Maka kita jangan terlalu percaya pada cara pandang yang sangat antroposentrisme, bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna, yang dengan kesempurnaan itu, boleh berbuat apa pun termasuk mengubah fungsi bukit menjadi perumahan. Cara pandang antroposentrisme merupakan cara pandang merusak (destroyer paradigm).
Kecerdasan Ekologis
Apalagi menurut Paul Elrich dalam The End of Afflence -nya, dalam diri manusia terdapat sifat rakus (materialisme). Dorongan ini makin menjadi ketika manusia menyadari bahwa ternyata membangun rumah di atas bukit tidak jadi masalah. Satu atau dua rumah ternyata tidak menimbulkan masalah.
Namun begitu, banyak rumah didirikan di atas bukit, daya beban daerah perbukitan pun kita berat. Dan dengan mudah, ini bisa menjadi bencana, ketika hujan turun. Maka longsor yang disebabkan oleh dosa ekologis ini, harus membuat kita berefleksi dan membuat langkah nyata ke depan untuk menghentikan hasrat terus membangun tempat tinggal di perbukitan, yang berbuah malapetaka.
Kini yang dibutuhkan bukan hanya kecerdasan otak (IQ) atau kecerdasan emosional (EQ), tapi juga EnQ atau enviro intelligence atau kecerdasan ekologis. Untuk itu, harus segera dibuat langkah cepat, tepat, dan terkoordinasi sebagai bentuk antisipasi terlebih pada jutaan warga kita yang bertempat tinggal di atas daerah rawan longsor.
Saat ini ada 114 titik longsor di negeri ini. Bukit-bukit yang gundul harus ditanami pohon. Langkah proteksi dan persuasi harus ditempuh agar warga yang mendiami kawasan rawan longsor rela direlokasi. Hukum juga harus ditegakkan agar ke depan tak ada yang berani membangun rumah di atas bukit yang rawan longsor.
(bbg)