Menyimak Kearifan Lokal

Kamis, 18 Desember 2014 - 10:27 WIB
Menyimak Kearifan Lokal
Menyimak Kearifan Lokal
A A A
Kita berduka akibat bencana longsor di Banjarnegara pekan lalu. Sampai tadi malam baru 80-an korban yang berhasil ditemukan. Lebih dari seratus orang diperkirakan terkubur di bawah longsoran selain tentu harta benda mereka seperti rumah, mobil, sepeda motor, dan lainnya.

Begitulah kalau alam sudah murka. Bagaimana longsor itu bisa terjadi? Pasti ada banyak faktor. Misalnya, jenis tanahnya yang tidak sanggup menahan air. Lalu, ada banyak pohon besar yang menghilang dari atas bukit.

Padahal, pohon-pohon itu bukan hanya berfungsi menahan air, melainkan dengan akarnya yang dalam dan menyebar akan mampu mengikat tanah. Saya kira masih banyak faktor lain. Penyelidikan ke arah penyebab belum dilakukan karena saat ini semua sibuk melakukan evakuasi korban, baik yang meninggal dunia maupun luka-luka ringan atau berat.

Kearifan Lokal

Bicara soal hilangnya pohon-pohon besar dari atas bukit, saya jadi teringat dengan cerita-cerita masa lalu yang di dalamnya terkandung kearifan lokal. Untuk menjaga agar pohonpohon besar tetap terpelihara, kakek-nenek atau orang-orang tua dahulu mengembangkan berbagai cerita yang bagi sebagian orang mungkin terkesan mistis. Mereka bilang, ”Jangan main-main ke atas bukit. Di sana angker, banyak penunggunya. Mereka bersarang di pohon-pohon besar yang ada di sana.” Bukan hanya itu.

Sebagian dari orang-orang tua kita bahkan ada yang secara periodik menaruh sesajen di pohon-pohon besar tersebut. Ini membuat kesan mistis menjadi semakin kuat. Dengan cara seperti, kita tentu tak berani main-main ke atas bukit. Apalagi mengganggu pepohonan yang ada di sana. Hasilnya, pepohonan itu mampu menjalankan fungsinya dengan baik.

Kala musim hujan mereka mampu menampung air yang tercurah dari langit dan membuat pasokan air tetap terjaga, bahkan saat musim kemarau sekalipun. Kemudian pohon-pohon itu juga mampu mengikat tanah sehingga tidak longsor. Karena itulah, belum lama ini bekerja sama dengan komunitas Sanggabuana, kami menanam pohon bambu betung di bantaran Kali Ciliwung.

Selain untuk pelestarian alam, ya pasti untuk mencegah erosi sungai. Dari seorang kawan yang melakukan tissue culture saya diberi tahu upayanya itu baru dilakukan kembali di negeri ini setelah Belanda pergi. Bayangkan, puluhan tahun kita abaikan bambu betung yang punya cerita tentang kearifan lokal yang amat kuat di Tanah Air.

Konon, para jawara mengambil air dari mata air dekat akar bambu untuk mengusir roh jahat. Begitulah kearifan lokal yang berkembang masa lalu yang berperan penting dalam menjaga lingkungan kita. Jadi, jangan hanya dilihat dari sisi cerita mistisnya. Bicara tentang ini, mungkin Anda masih ingat dengan cerita tentang sebatang pohon besar yang tumbuh di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat.

Kabarnya, pohon ini angker karena memiliki beberapa penghuni sehingga upaya untuk menebangnya selalu gagal. Kemudian orang-orang jadi takut mencobanya. Lalu, dengan gagahnya serombongan orang dari sekelompok organisasi massa keagamaan mendatangi pohon tersebut. Untuk membuktikan mereka tidak takut dengan keangkerannya, mereka menebang pohon tersebut dengan garangnya.

Kita pun kehilangan pohon itu. Meski hanya sebatang, setidak- tidaknya pohon tersebut menyerap gas CO2 yang dikeluarkan oleh knalpot kendaraan yang lalu lalang di jalan tersebut. Begitulah kalau kita kurang bijak menyikapi kearifan lokal yang tersembunyi di balik cerita-cerita mistik tentang pohon besar.

Emisi Karbon

Baiklah, kini saya ajak Anda untuk melihat ke isu-isu yang lebih besar terkait lingkungan kita. Kita di Indonesia, dan masyarakat dunia, sebetulnya tengah menghadapi masalah lingkungan yang sangat serius. Masalah itu tentang pemanasan global.

Akibat dari pemanasan ini, es-es di kutub utara dan selatan mencair sehingga memicu banjir di sejumlah negara yang sebelumnyatidakpernahterjadi. Pemanasan global juga menyebabkan volume air yang menguap juga terus meningkat. Ini menyebabkan konsentrasi uap air di langit kita menjadi begitu tinggi.

Akibat itu, curah hujan menjadi sangat tinggi. Di beberapa negara badai salju bahkan menggila. Jauh lebih tinggi ketimbang tahun-tahun silam. Kondisi semacam ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Beberapa negara dan kota yang tidak siap pun menjadi kewalahan menghadapi itu. Contohnya, Kota New York di Amerika Serikat bahkan sempat lumpuh akibat badai salju.

Di negara kita, perubahan cuaca ini menyebabkan musim penghujan datang begitu terlambat. Musim kemarau menjadi terasa terlalu berkepanjangan. Apa pemicu dari pemanasan global tersebut sehingga berdampak pada perubahan cuaca yang begitu ekstrem? Pemicunya adalah peningkatan emisi gas CO2. Mengapa emisi gas ini bisa meningkat? Sederhananya begini.

Jumlah penduduk bumi terus meningkat. Begitu pula kegiatan mereka pun ikut meningkat. Kombinasi dari dua faktor tersebut menyebabkan konsumsi energi juga meningkat. Cobalah Anda amati. Pernahkah permintaan akan bahan bakar minyak (BBM) berkurang? Jelas tidak. Malah yang terjadi permintaannya semakin meningkat akibat terus bertambahnya jumlah kendaraan bermotor.

Pernahkah permintaan tenaga listrik berkurang? Juga tidak. Sebaliknya, terus meningkat. Betapa tidak. Di negara kita jumlah mal terus bertambah. Permintaan akan rumah dan hunian juga tak pernah berkurang. Orang juga semakin sibuk dan banyak yang kerja hingga larut malam. Semua itu menyebabkan permintaan tenaga listrik terus meningkat.

Kini orang juga semakin sering berbicara, terutama melalui media sosial. Untuk membuat kita senantiasa terkoneksi, baterai gadget atau smartphone harus selalu penuh. Untuk mencharge gadget tersebut tentu butuh tenaga listrik. Apakah Anda tahu pembangkit listrik kita masih banyak yang menggunakan bahan baku fosil seperti minyak dan batu bara? Ini membuat emisi karbon tak pernah berkurang.

Dilema

Itu pada satu sisi. Mari kita lihat sisi lainnya. Peningkatan emisi karbon selalu identik dengan kemajuan suatu negara. Artinya, makin kencang laju pembangunan di suatu negara, emisi karbonnya pun akan terus meningkat. Saya kutip saja data dari US Department of Energys Carbon Dioxide Information Analysis Center untuk 2012.

Emisi CO2 negara Amerika Serikat mencapai 16,16% dari total karbon dunia. Di China mencapai 24,46%. India yang terus membangun, emisi CO2-nya mencapai 5,98%. Bandingkan dengan emisi karbon di negara-negara yang relatif tertinggal seperti Bhutan yang bahkan 0%, Laos 0,01%, Sri Lanka yang 0,04%, atau negara kita yang 1,29%.

Jadi, kalau kita mau menjadi negara maju, memang ada harga yang harus kita bayar. Itulah dilemanya. Tapi, sejak kapan kita bisa hidup tanpa dilema! Maka itu, jagalah kearifan lokal dan jangan arogan menertawakan alam. Di balik cerita-cerita rakyat biasanya ada kearifan yang harus kita simak dengan bijak.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0513 seconds (0.1#10.140)