Munas Rekonsiliasi Partai Golkar: Mungkinkah?
A
A
A
Selasa, 16 Desember 2014, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengembalikan kedua berkas permohonan pengesahan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar kepada dua DPP Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional IX (Munas) Bali dan Munas Jakarta 2014.
Menkumham berkesimpulan bahwa kasus ini adalah masalah internal Partai Golkar yang harus diselesaikan secara internal pula. Saya rasa itulah hasil maksimal yang bisa dilakukan oleh pemerintah c.q. Kemenkumham terhadap kemelut internal Partai Golkar yang mengalami dua munas dan menghasilkan dua kepengurusan DPP Partai Golkar yang masingmasing mengklaim sebagai paling absah secara legal-formal.
Sejak awal sebelum telanjur digelar Munas IX di Bali (30 November-4 Desember 2014) dan Munas IX Jakarta (5-7 Desember 2014), saya sudah wanti-wanti (warning) kepada semua pihak yang berseteru untuk melakukan kompromi politik. Kalau munas digelar pada 30 November 2014, kemudian Januari 2015 ada munas lagi, nanti pasti akan ada melahirkan dualisme kepemimpinan.
Setelah itu bisa saja kemudian membentuk DPD I dan DPD II: maka terjadi masifikasi perpecahan. Saya konsisten berpendapat bahwa rekonsiliasi adalah jalan yang terbaik dan lebih bermartabat daripada berkonflik yang pasti akan panjang, melelahkan dan memalukan diri sendiri. Pada waktu itu perpecahan antara dua kubu dalam Partai Golkar masih sangat elitis, karena baru melibatkan elite nasional di Jakarta secara sangat terbatas.
Di Ambang Masifikasi
Tetapi sekarang setelah Munas Bali dan Munas Jakarta nekat dilaksanakan, konflik atau perpecahan tersebut secara tak terelakkan mulai mengalami masifikasi. Pasalnya, sebagaimana biasanya sebuah munas, pastilah akan memilih ketua umum dan menghasilkan struktur serta personalia DPP.
Maka lahirlah dualisme kepemimpinan, DPP kembar. Dan itu sudah terjadi dan menjadi fakta politik yang sama-sama kita saksikan. Seperti yang saya duga, tentu perpecahan ini akan berlanjut dan merembet ke lembaga lain, yaitu pertama-tama ke Fraksi Partai Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dan yang terakhir ini sudah terjadi pula.
Jika hal ini tidak dikelola secara cermat dan arif, rentetan dan rembesan perpecahan berikutnya bisa diduga akan berlanjut ke DPD I dan DPD II Partai Golkar. Sungguh bisa dibayangkan bagaimana jika Fraksi Partai Golkar yang merupakan perpanjangan tangan partai sudah mulai terbelah juga!
Bagaimana nanti kalau menyikapi pelaksanaan fungsi-fungsi dewan dan wacana penggunaan hakhak dewan yang sangat banyak dan beragam jika sampai terjadi dualisme kepemimpinan fraksi benar-benar terjadi? Belum lagi di tahun 2015 Partai Golkar menghadapi pilkada di hampir setengah daerah otonomi tingkat provinsi dan kabupaten/ kota:
Partai Golkar bisa terancam tidak bisa ikut serta di dalam pilkada tersebut. Sungguh ini perkembangan yang harus dicermati dan diwaspadai. Sayangnya yang terjadi di kalangan elite pimpinan di kedua DPP Partai Golkar tersebut di atas justru terjadi kecenderungan untuk melakukan apa yang disebut dengan “politik burung unta”, yaitu sikap yang menganggap enteng konflik yang sudah mengarah ke perpecahan yang masif itu.
Mereka dulu mencibir analisis saya dengan mengatakan “tidak ada perpecahan dalam Partai Golkar“. Mereka tanpa sadar telah melakukan “politik burung unta” dengan menyembunyikan fakta telah terjadinya konflik yang menjurus ke perpecahan masif. Ada beberapa oknum di kedua belah pihak yang justru lebih suka mengklaim kebenaran secara sepihak hanya berdasarkan pandangan legalformalistik belaka, daripada bersikap rendah hati untuk menjalin komunikasi untuk mewujudkan islah atau rekonsiliasi.
Mereka lupa bahwa dalam setiap konflik partai politik selalu saja semua pihak merasa paling absah, paling benar, paling sesuai Anggaran Dasar/AnggaranRumahTangga, dan last but not least paling kuat dan perkasa. Kini perpecahan Partai Golkar masih berada di ambang masifikasi setelah (perpecahan itu) mulai merembet ke fraksi PG di DPR.
Kini akhirnya yang berlangsung adalah kuatkuatan politik saja! Masingmasing ingin menunjukkan eksistensinya secara de facto! Mereka mulai berprinsip yang penting secara de facto kubu mereka hadir (omnipresence) di medan politik. Ini ciri dari telah terjadinya masifikasi perpecahan. Semakin masif suatu perpecahan semakin kompleks dan rumit untuk direkonsiliasikan.
Mereka lupa bahwa dalam kenyataannya setiap konflik organisasi politik soal keabsahan legal formal itu sering kali menjadi nomor dua. Dalam konflik politik yang justru sering menentukan adalah kemampuan untuk hadir secara de facto dalam lapangan politik. Kehadiran (omnipresence) dan kekuatan politik (omnipotence) justru yang lebih menentukan hasil akhir status konflik organisasi.
Maka jauh lebih baik adalah kompromi dan rekonsiliasi. Rekonsiliasi jauh lebih baik daripada berkonflik di lapangan politik yang senantiasa cenderung untuk kuat-kuatan saja: siapa yang napasnya panjang dan memiliki kemampuan logistik besar akan survive dalam perpecahan tersebut. Alhasil, jalan rekonsiliasi adalah jalan yang mestinya dipilih.
Semua pihak harus menekan egonya masing-masing, mau saling mengalah dan memberikan konsesi, berkehendak untuk mencari penyelesaian yang saling menguntungkan (win-win solution), menjauhkan pendekatan zero sum game , dan saling menghindarkan ada yang kehilangan muka (loosing face). Bukannya justru ego yang ditonjolkan, merasa benar sendiri, dan selalu mengutamakan pendekatan kekuasaan.
Munas Rekonsiliasi: Mungkinkah?
Kini sudah jelas bahwa menyerahkan penyelesaian konflik dan perpecahan ke pihak eksternal adalah jalan yang salah dan keliru. Apalagi menggantungkan marwah partai pada pemerintah. Adalah tidak masuk akal sehat marwah sebuah partai tua dan besar dipertaruhkan pada keputusan pemerintah.
Sebuah partai tua, berpengalaman panjang, dan besar haruslah mempunyai prosedur dan mekanisme menyelesaikan konflik atau perpecahan secara internal organisasional yang mencerminkan kedewasaan politik. Konflik itu biasa dalam politik. Tetapi setiap konflik harus diikuti dengan konsensus. Alhasil, konflik yang sekarang terjadi yang sudah mengarah pada perpecahan ini harus diakhiri dengan konsensus.
Dan satu-satunya jalan adalah dengan mekanisme organisasi yang formal, yaitu munas untuk rekonsiliasi. Ini lebih terhormat dan bermartabat. Tentu untuk terjadinya sebuah rekonsiliasi, apalagi melalui munas rekonsiliasi, diperlukan sebuah tim mediasi yang independen dan netral.
Saya berpendapat tokoh-tokoh sepuh atau senior Partai Golkar perlu mengambil peran dan berprakarsa untuk menyelesaikan perpecahan ini. Bola sekarang berada di tanganpara sesepuhdanpinisepuh Partai Golkar (misalnya saja, untuk sekadar menyebut beberapa nama, Pak BJ Habibie, Pak Awaludin Djamin, Pak Sumarlin, Pak Abdul Latif, Ibu Sulasikin, dan lain-lainnya).
Mereka sudah waktunya turun gunung dan melangkah mewujudkan islah melalui sebuah munas rekonsiliasi. Kini sudah sampai waktunya kedua kubu tersebut dipaksa atau di-fait accompli untuk kompromi dengan melakukan rekonsiliasi. Peluang islah atau rekonsiliasi masih mungkin terjadi. Saya minta sesepuh Partai Golkar yang benar-benar netral mau turun gunung untuk memediasi kedua kubu tersebut. Itu jalan keluar yang bisa dilakukan.
Syaratnya adalah yang penting kepanitiaan munas rekonsiliasi tersebut harus benar-benar imparsial, bahkan kalau perlu kepanitiaan munas rekonsiliasi itu tokohtokoh yang tidak berkeinginan lagi menjadi pengurus DPP Partai Golkar agar tidak ada konflik kepentingan (conflict of interest) dan benar-benar fair. Mestinya hal itu bisa, dan harus bisa diwujudkan. Semoga!
Menkumham berkesimpulan bahwa kasus ini adalah masalah internal Partai Golkar yang harus diselesaikan secara internal pula. Saya rasa itulah hasil maksimal yang bisa dilakukan oleh pemerintah c.q. Kemenkumham terhadap kemelut internal Partai Golkar yang mengalami dua munas dan menghasilkan dua kepengurusan DPP Partai Golkar yang masingmasing mengklaim sebagai paling absah secara legal-formal.
Sejak awal sebelum telanjur digelar Munas IX di Bali (30 November-4 Desember 2014) dan Munas IX Jakarta (5-7 Desember 2014), saya sudah wanti-wanti (warning) kepada semua pihak yang berseteru untuk melakukan kompromi politik. Kalau munas digelar pada 30 November 2014, kemudian Januari 2015 ada munas lagi, nanti pasti akan ada melahirkan dualisme kepemimpinan.
Setelah itu bisa saja kemudian membentuk DPD I dan DPD II: maka terjadi masifikasi perpecahan. Saya konsisten berpendapat bahwa rekonsiliasi adalah jalan yang terbaik dan lebih bermartabat daripada berkonflik yang pasti akan panjang, melelahkan dan memalukan diri sendiri. Pada waktu itu perpecahan antara dua kubu dalam Partai Golkar masih sangat elitis, karena baru melibatkan elite nasional di Jakarta secara sangat terbatas.
Di Ambang Masifikasi
Tetapi sekarang setelah Munas Bali dan Munas Jakarta nekat dilaksanakan, konflik atau perpecahan tersebut secara tak terelakkan mulai mengalami masifikasi. Pasalnya, sebagaimana biasanya sebuah munas, pastilah akan memilih ketua umum dan menghasilkan struktur serta personalia DPP.
Maka lahirlah dualisme kepemimpinan, DPP kembar. Dan itu sudah terjadi dan menjadi fakta politik yang sama-sama kita saksikan. Seperti yang saya duga, tentu perpecahan ini akan berlanjut dan merembet ke lembaga lain, yaitu pertama-tama ke Fraksi Partai Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dan yang terakhir ini sudah terjadi pula.
Jika hal ini tidak dikelola secara cermat dan arif, rentetan dan rembesan perpecahan berikutnya bisa diduga akan berlanjut ke DPD I dan DPD II Partai Golkar. Sungguh bisa dibayangkan bagaimana jika Fraksi Partai Golkar yang merupakan perpanjangan tangan partai sudah mulai terbelah juga!
Bagaimana nanti kalau menyikapi pelaksanaan fungsi-fungsi dewan dan wacana penggunaan hakhak dewan yang sangat banyak dan beragam jika sampai terjadi dualisme kepemimpinan fraksi benar-benar terjadi? Belum lagi di tahun 2015 Partai Golkar menghadapi pilkada di hampir setengah daerah otonomi tingkat provinsi dan kabupaten/ kota:
Partai Golkar bisa terancam tidak bisa ikut serta di dalam pilkada tersebut. Sungguh ini perkembangan yang harus dicermati dan diwaspadai. Sayangnya yang terjadi di kalangan elite pimpinan di kedua DPP Partai Golkar tersebut di atas justru terjadi kecenderungan untuk melakukan apa yang disebut dengan “politik burung unta”, yaitu sikap yang menganggap enteng konflik yang sudah mengarah ke perpecahan yang masif itu.
Mereka dulu mencibir analisis saya dengan mengatakan “tidak ada perpecahan dalam Partai Golkar“. Mereka tanpa sadar telah melakukan “politik burung unta” dengan menyembunyikan fakta telah terjadinya konflik yang menjurus ke perpecahan masif. Ada beberapa oknum di kedua belah pihak yang justru lebih suka mengklaim kebenaran secara sepihak hanya berdasarkan pandangan legalformalistik belaka, daripada bersikap rendah hati untuk menjalin komunikasi untuk mewujudkan islah atau rekonsiliasi.
Mereka lupa bahwa dalam setiap konflik partai politik selalu saja semua pihak merasa paling absah, paling benar, paling sesuai Anggaran Dasar/AnggaranRumahTangga, dan last but not least paling kuat dan perkasa. Kini perpecahan Partai Golkar masih berada di ambang masifikasi setelah (perpecahan itu) mulai merembet ke fraksi PG di DPR.
Kini akhirnya yang berlangsung adalah kuatkuatan politik saja! Masingmasing ingin menunjukkan eksistensinya secara de facto! Mereka mulai berprinsip yang penting secara de facto kubu mereka hadir (omnipresence) di medan politik. Ini ciri dari telah terjadinya masifikasi perpecahan. Semakin masif suatu perpecahan semakin kompleks dan rumit untuk direkonsiliasikan.
Mereka lupa bahwa dalam kenyataannya setiap konflik organisasi politik soal keabsahan legal formal itu sering kali menjadi nomor dua. Dalam konflik politik yang justru sering menentukan adalah kemampuan untuk hadir secara de facto dalam lapangan politik. Kehadiran (omnipresence) dan kekuatan politik (omnipotence) justru yang lebih menentukan hasil akhir status konflik organisasi.
Maka jauh lebih baik adalah kompromi dan rekonsiliasi. Rekonsiliasi jauh lebih baik daripada berkonflik di lapangan politik yang senantiasa cenderung untuk kuat-kuatan saja: siapa yang napasnya panjang dan memiliki kemampuan logistik besar akan survive dalam perpecahan tersebut. Alhasil, jalan rekonsiliasi adalah jalan yang mestinya dipilih.
Semua pihak harus menekan egonya masing-masing, mau saling mengalah dan memberikan konsesi, berkehendak untuk mencari penyelesaian yang saling menguntungkan (win-win solution), menjauhkan pendekatan zero sum game , dan saling menghindarkan ada yang kehilangan muka (loosing face). Bukannya justru ego yang ditonjolkan, merasa benar sendiri, dan selalu mengutamakan pendekatan kekuasaan.
Munas Rekonsiliasi: Mungkinkah?
Kini sudah jelas bahwa menyerahkan penyelesaian konflik dan perpecahan ke pihak eksternal adalah jalan yang salah dan keliru. Apalagi menggantungkan marwah partai pada pemerintah. Adalah tidak masuk akal sehat marwah sebuah partai tua dan besar dipertaruhkan pada keputusan pemerintah.
Sebuah partai tua, berpengalaman panjang, dan besar haruslah mempunyai prosedur dan mekanisme menyelesaikan konflik atau perpecahan secara internal organisasional yang mencerminkan kedewasaan politik. Konflik itu biasa dalam politik. Tetapi setiap konflik harus diikuti dengan konsensus. Alhasil, konflik yang sekarang terjadi yang sudah mengarah pada perpecahan ini harus diakhiri dengan konsensus.
Dan satu-satunya jalan adalah dengan mekanisme organisasi yang formal, yaitu munas untuk rekonsiliasi. Ini lebih terhormat dan bermartabat. Tentu untuk terjadinya sebuah rekonsiliasi, apalagi melalui munas rekonsiliasi, diperlukan sebuah tim mediasi yang independen dan netral.
Saya berpendapat tokoh-tokoh sepuh atau senior Partai Golkar perlu mengambil peran dan berprakarsa untuk menyelesaikan perpecahan ini. Bola sekarang berada di tanganpara sesepuhdanpinisepuh Partai Golkar (misalnya saja, untuk sekadar menyebut beberapa nama, Pak BJ Habibie, Pak Awaludin Djamin, Pak Sumarlin, Pak Abdul Latif, Ibu Sulasikin, dan lain-lainnya).
Mereka sudah waktunya turun gunung dan melangkah mewujudkan islah melalui sebuah munas rekonsiliasi. Kini sudah sampai waktunya kedua kubu tersebut dipaksa atau di-fait accompli untuk kompromi dengan melakukan rekonsiliasi. Peluang islah atau rekonsiliasi masih mungkin terjadi. Saya minta sesepuh Partai Golkar yang benar-benar netral mau turun gunung untuk memediasi kedua kubu tersebut. Itu jalan keluar yang bisa dilakukan.
Syaratnya adalah yang penting kepanitiaan munas rekonsiliasi tersebut harus benar-benar imparsial, bahkan kalau perlu kepanitiaan munas rekonsiliasi itu tokohtokoh yang tidak berkeinginan lagi menjadi pengurus DPP Partai Golkar agar tidak ada konflik kepentingan (conflict of interest) dan benar-benar fair. Mestinya hal itu bisa, dan harus bisa diwujudkan. Semoga!
(bbg)