Putusan BANI Gugurkan Putusan MA

Senin, 15 Desember 2014 - 10:26 WIB
Putusan BANI Gugurkan...
Putusan BANI Gugurkan Putusan MA
A A A
JAKARTA - Adanya putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atas sengketa kepemilikan TPI antara PT Berkah Karya Bersama (BKB) dengan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) otomatis menggugurkan putusan Mahkamah Agung (MA).

Hal ini sesuai dengan perjanjian awal investasi, yaitu jika kedua pihak bersengketa akan diselesaikan di BANI sehingga pengadilan tidak berhak mengadilinya. Pakar hukum acara Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ibnu Sina mengatakan adanya dua putusan mengenai sengketa kepemilikan TPI tidak perlu dibingungkan. Menurut dia, berdasarkan perjanjian investasi awal sudah seharusnya putusan BANI-lah yang digunakan.

”Putusan BANI yang digunakan karena memang klausul perjanjian awal investasi diselesaikan di BANI,” ujarnya kepada KORAN SINDO kemarin. Seperti diketahui, sengketa kepemilikan saham TPI akhirnya berakhir. BANI memenangkan PT BKB dan menyatakan Tutut bersalah serta harus membayar kerugian Rp510 miliar.

Putusan yang dibacakan hakim arbitrase Priyatna itu juga mengesahkan kepemilikan saham dari PT BKB yang kemudian dialihkan kepada PT MNC Tbk. ”Jadi BANI telah mengeluarkan putusan yang menyatakan kepemilikan saham 75% oleh PT Berkah yang kemudian dimiliki MNC Tbk sah,” kata kuasa hukum PT Berkah Andi Simangunsong seusai mengikuti sidang arbitrase beberapa waktu lalu.

Dalam putusannya, BANI juga mengatakan Tutut telah beriktikad buruk dan melanggar perjanjian bisnis. Selain itu, hakim menghukum anak sulung mantan Presiden Soeharto tersebut untuk membayar kerugian kelebihan pembayaran yang pernah dibayarkan PT BKB. Putusan BANI ini berbeda dengan putusan MA yang memenangkan kubu Tutut.

Diduga ada kejanggalan dalam putusan MA yang diketuai hakim agung M Saleh dan hakim anggota Hamdi dan Abdul Manan tersebut. Sebab langkah MA yang memutus kasus TPI tersebut kontroversial dan melanggar UU NO 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa karena kasusnya telah ditangani BANI.

Apalagi kedua pihak yang bersengketa sejak awal telah bersepakat untuk menyelesaikan kasus TPI lewat jalur BANI sehingga pengadilan tak berhak mengadilinya. Lebih lanjut Ibnu Sina mengungkapkan adanya putusan BANI secara langsung akan membuat putusan MA tidak berlaku lagi. Dengan demikian tidak ada alasan bagi pihak yang bersengketa untuk tidak menjalankan putusan BANI.

”Keduanya harus menjalankan apa yang telah diputuskan BANI. Karena sudah seharusnya tidak ada pengadilan dalam sengketa ini,” ujarnya. Ibnu menegaskan bahwa putusan BANI final dan mengikat. Jika tetap dipersengketakan, putusan BANI dapat dijadikan novum.

”Jika putusan BANI tidak dilaksanakan, maka tidak saja mengaburkan isi atau substansi kasus, tapi juga mengaburkan aturan hukum bahwa ketika (sudah ada) investment agreement di BANI sudah seharusnya pengadilan menolak. Ini malah dilanggar,” kata dia. Lebih lanjut, dia mempertanyakan kualitas hakim agung yang menangani kasus sengketa TPI itu. Pasalnya, seperti diketahui, MA tetap memutus perkara yang sebenarnya telah ditangani BANI.

”Perlu pemahaman bahwa tidak semua hal diselesaikan oleh MA,” ujarnya. Bahkan dia menilai perlu pembenahan MA secara institusional. Terutama terkait dengan sumber daya manusia para hakim MA. ”Jika tidak diperbaiki, dampaknya fatal karena ini mengindikasikan ketidakpastian hukum,” tuturnya.

Ketidakpastian hukum ini akan berimplikasi pada ketidakpercayaan masyarakat tidak saja pada institusi hukum, tetapi juga pada substansi hukum itu sendiri. ”Hakim agung harusnya cakap dan tahu persis kasus ini (TPI) tidak boleh ditangani. Tapi mengapa tetap saja ditangani? Ini harus dijawab.

Ini sudah era reformasi, seharusnya tidak ada tekanan politik dan ekonomi yang dapat menekan hakim. Apalagi gaji hakim agung juga besar,” imbuhnya. Hal senada juga diungkapkan pakar hukum arbitrase Humphrey Djemat.

Dia mengatakan Undang-Undang (UU) Nomor 30/1999 mengatur jika sudah ada kesepakatan untuk menyelesaikan di BANI, pengadilan tidak berhak memutus kasus tersebut. Artinya, putusan BANI-lah yang harus dipegang sekalipun MA juga mengeluarkan putusan. ”Otomatis putusan MA tidak berlaku. Ini harus disadari kedua pihak yang bersengketa,” ujar dia.

Humphrey mengatakan jika memang masih ada pihak yang tetap bersikukuh dengan dasar putusan MA, bisa saja dilakukan peninjauan kembali (PK) lagi. Meskipun memang dalam hal perdata tidak dapat dilakukan PK lagi. ”Memang tidak bisa PK lagi. Tapi ini kan kejadian luar biasa. Ini bisa jadi novum baru,” ungkapnya.

Sebenarnya jika merujuk pada sistem hukum yang telah ada, hal ini tidak akan pernah terjadi. Menurut dia, sistem hukum yang ada sudah baik. ”Tapi tetap saja ini tergantung orang yang melaksanakannya. Selama yang melaksanakan tidak tepat maka yang terjadi inkonstitusional,” ungkap dia.

Bagi dia, hal ini akan menjadi perhatian investor terutama yang berasal dari luar negeri. Apalagi sebentar lagi kita akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di 2015. ”Investor selalu enggan beperkara di pengadilan. Mereka lebih suka untuk menyelesaikan di BANI. Jika BANI saja bisa dilangkahi oleh putusan pengadilan maka ini akan menimbulkan pertanyaan soal kepastian hukum di Indonesia. Mereka akan merasa putusan BANI tidak menjamin selesainya sengketa,” ujarnya.

Sementara itu, mantan Ketua MA Harifin A Tumpa mengatakan jika memang ada klausul di perjanjian untuk diselesaikan di BANI, sudah seharusnya putusan itulah yang berlaku. Namun karena juga ada putusan dari MA, perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terkait hal ini.

”Saya belum mendalami kedua putusan. Hanya saja, kalau memang pengadilan tetap menangani walaupun ada klausul penyelesaian di BANI, tentu kita harus melihat pertimbangan hakim. Kita cari dulu mengapa pengadilan negeri sampai MA tetap memutus sengketa itu,” ujar dia.

Sebelumnya, praktisi hukum bisnis Frans Hendra Winarta mengatakan, putusan BANI bersifat pertama dan terakhir. ”Putusan BANI tidak bisa dibatalkan karena dua pihak sudah menandatangani perjanjian bahwa sengketa akan diselesaikan melalui BANI dan tidak pernah dibatalkan oleh kedua pihak,” kata Frans di Jakarta kemarin.

Putusan BANI, menurutnya, bersifat mengikat dan berlaku sebagai solusi final atas sengketa itu dan pengadilan tidak bisa mengubahnya. Menurut dia, putusan BANI itu diakui oleh lembaga hukum negara. ”Mereka paham bahwa putusan BANI itu sifatnya final dan mengikat,” kata Frans.

Frans menegaskan dalam Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 telah mengatur bahwa jika para pihak telah memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa (party autonomy ), maka pengadilan tidak mempunyai kewenangan atau yurisdiksi mengadili suatu sengketa bisnis.

Jadi menurut Frans, majelis arbitrase yang memeriksa perkara tersebut memeriksa sengketa bisnis dengan mengabaikan pemeriksaan di pengadilan, karena berdasarkan prinsip kompeten-kompeten, yang dapat menentukan kewenangan dari majelis arbitrase hanyalah majelis arbitrase itu sendiri.

Majelis arbitrase dapat menentukan validitas dari klausul arbitrase dan menyatakan mempunyai kewenangan (yurisdiksi) untuk memeriksa dan memutus suatu perkara arbitrase.

Dita angga
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8213 seconds (0.1#10.140)