Pilar Research University

Sabtu, 13 Desember 2014 - 13:00 WIB
Pilar Research University
Pilar Research University
A A A
Keinginan berbagai perguruan tinggi untuk menjadi research university harus didukung oleh penguatan pendidikan pascasarjana. Riset mahasiswa pascasarjana (apalagi program S-3) harus dapat menunjukkan ada temuan baru dengan rancangan metode dan analisis data yang baik sehingga riset tersebut layak dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah yang bermutu.

Pada dasarnya ada dua jenis riset yang bisa dilakukan oleh perguruan tinggi. Pertama, riset yang memiliki kontribusi pada pengembangan sains dan teknologi. Hasil-hasil penelitian jenis ini harus dipublikasikan dalam jurnal ilmiah bergengsi sehingga terjadi pertukaran wawasan IPTEK antarilmuwan pembaca jurnal ilmiah.

Kedua, riset yang bersifat terapan yang hasilnya perlu dipatenkan sehingga pihak industri yang memanfaatkan hasil paten tersebut diharuskan membayar. Riset-riset terapan bisa dilakukan atas kerja sama antara perguruan tinggi (PT) dan industri. Dalam hal ini, PT menyediakan sumber daya manusia dan fasilitas riset, sementara industri adalah penyedia dana utama.

Harus ada keberanian bagi pengelola program pascasarjana untuk mewajibkan mahasiswanya memublikasikan hasil risetnya di jurnal internasional atau jurnal nasional terakreditasi sebagai syarat kelulusan. Ini tantangan besar bagi mahasiswa pascasarjana untuk menghasilkan karya penelitian yang bermutu dan layak untuk dipublikasikan. Kultur akademik semacam ini harus selalu dipupuk untuk menciptakan research university . Gelar doktor harus menjadi titik awal untuk melakukan penelitianpenelitian yang berbobot.

Dalam kaitannya dengan pendidikan pascasarjana, munculnya Permendikbud No 49/ 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi membuat kita terkaget-kaget. Terutama terkait jumlah kredit mata kuliah yang harus dipenuhi oleh mahasiswa pascasarjana. Total satuan kredit semester (SKS) untuk jenjang S- 2 adalah 72 SKS dan demikian juga untuk S-3.

Padahal, sebelumnya jenjang S-2 dan S-3 umumnya hanya memerlukan sekitar 40-45 SKS. Ada apa ini ? Sementara SKS untuk jenjang S-1 tidak ada perubahan yaitu 144 SKS. Selama ini penyelesaian studi S-1 adalah empat tahun, S-2 dua tahun, dan S-3 tiga tahun. Dengan segala variasinya, masa studi bisa sedikit lebih lama.

Yang menjadi kekhawatiran, dengan pertambahan beban kuliah pascasarjana, rentang masa studi dipastikan lebih lama. Menambah beban mata kuliah di S-2 atau S-3 hingga setara dengan 72 SKS bukan hal yang mudah. Di berbagai perguruan tinggi di luar negeri, SKS yang wajar bagi mahasiswa program magister atau doktor adalah 40-45 SKS sebagaimana yang sudah diterapkan oleh universitas di Tanah Air sebelum diberlakukan Permendikbud No 49/2014.

Strategi yang kini mungkin diterapkan adalah mengubah beban kredit tugas akhir/ karya ilmiah yang semula 6-12 SKS menjadi 30 SKS atau lebih. Dengan demikian, jumlah dan bobot mata kuliah tidak bertambah (rata-rata 2-3 SKS per mata kuliah), hanya penyelesaian tugas akhir berupa tesis/disertasi dan publikasi di jurnal ilmiah yang diberi bobot lebih banyak.

Bagaimana mungkin efisiensi pendidikan bisa dicapai kalau negara-negara lain bisa meluluskan mahasiswanya lebih cepat dan kita justru memperlama mahasiswa untuk studi di pascasarjana. Jumlah pendaftar ke sekolah pascasarjana pernah meningkat tajam pada 1998/1999 bersamaan dengan krisis moneter di Tanah Air.

Rupanya para lulusan S-1 pada waktu itu mulai kesulitan mencari kerja sehingga akhirnya memutuskan untuk kembali kuliah di pascasarjana. Setelah era 1998/1999 jumlah mahasiswa baru di sekolah pascasarjana kembali stabil. Setiap program studi untuk jalur akademik S-2 mungkin hanya bisa mendapatkan 15-20 mahasiswa baru, sedangkan calon mahasiswa S-3 hanya sekitar 5-10 orang.

Sementara program profesi seperti magister manajemen tumbuh terus bagaikan jamur dengan jumlah mahasiswa jauh melebihi jalur akademik. Peminat jalur akademik adalah para dosen atau peneliti yang memang harus meningkatkan kemampuannya di bidang riset dan akademik. Memperkuat riset di tingkat pascasarjana dapat dilakukan dengan membentuk kolaborasi yang solid antara dosen pembimbing dan mahasiswanya. Membangun research university memang berat.

Dosen yang dimiliki harus berkualitas dan mau untuk bersama- sama membangun perguruan tingginya. Pemerintah pun dituntut untuk mengalokasikan anggaran riset yang signifikan sehingga terbuka kesempatan bagi dosen-dosen untuk berlomba menyusun proposal penelitian yang bermutu.

Internasionalisasi program studi pascasarjana di Indonesia saat ini masih berjalan tertatihtatih. Kita masih kalah dengan universitas-universitas di ASEAN seperti Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, University of Philippine at Los Banos, ataupun Nanyang University yang sudah banyak berhasil menjaring mahasiswa asing.

Universitas-universitas di Indonesia belum mampu mendunia sehingga dalam kerja sama dengan universitas di luar negeri kita belum bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Dengan semakin besarnya anggaran di sektor pendidikan, program pendidikan pascasarjana juga hendaknya bisa lebih berkualitas.

Pilar penting untuk membangun research university bertumpu pada peningkatan mutu pendidikan pascasarjana. Ini bisa ditunjukkan dengan hasilhasil karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal, komitmen dosen-dosennya untuk betah di kampus melaksanakan Tri Dharma, dan suasana akademik yang hidup di lingkungan universitas.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0733 seconds (0.1#10.140)