Putusan BANI Harus Dipatuhi
A
A
A
JAKARTA - Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) terkait sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) harus dipatuhi dan dijalankan semua pihak.
Pakar hukum arbitrase Humphrey Djemat mengatakan, putusan pengadilan tidak mempunyai pengaruh apa pun pada putusan BANI dalam kasus sengketa TPI. Karena itu, semua pihak wajib mengikuti putusan BANI. “Yang benar adalah putusan arbitrase. Itu yang di Mahkamah Agung (MA) adalah putusan tidak benar, jadi yang harus diikuti itu putusan arbitrase saja,” tandas Humphrey di Jakarta kemarin.
Menurut dia, intervensi pengadilan atas sengketa saham TPI antara PT Berkah Karya Bersama (BKB) dan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dapat merusak iklim investasi di Indonesia. Apalagi, akan diterapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau pasar bebas pada 2015. “Kalau putusan MA yang berjalan, maka investor asing akan takut. Dan itu juga akan mencoreng iklim investasi di Indonesia karena pihak asing akan berpikir ulang untuk menanamkan modalnya,” bebernya.
Karena itu, dia meminta Ketua MA Hatta Ali untuk mengoreksi putusan tersebut. Putusan MA, lanjutnya, akan bertentangan dan dengan sendirinya dan batal di mata hukum. “Karena hukum sudah mengaturnya seperti itu. Jadi tetap BANI yang berlaku,” tandasnya.
Senada diungkapkan pakar hukum bisnis Frans Hendra Winarta. Menurut Frans, putusan BANI dapat menganulir putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dikeluarkan MA. Alasannya, dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan, jika kedua belah pihak sepakat menyelesaikan sengketa melalui BANI maka pengadilan tidak berhak untuk mengadili kasus tersebut.
“Putusan PK MA tidak berlaku karena menyalahi undang-undang, putusan pengadilan tidak boleh menyalahi undang-undang,” tandasnya. Kemudian, lanjut Frans, jika seandainya setelah putusan BANI keluar, lalu salah satu pihak tidak terima, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bisa mengeksekusi putusan BANI tersebut. Kalau bunyi putusan sifatnya deklarasi, ujarnya, maka tidak perlu eksekusi.
“Tapi kalau putusannya terkait penyerahan aset dan sebagainya, maka perlu adanya eksekusi,” paparnya. Pengamat hukum Universitas Jember Arofah L Kartini juga berpendapat sama. Menurut dia, putusan BANI merupakan putusan yang adil dan terbaik bagi semua pihak. “Apa pun keputusannya, yakin saja BANI sudah memprosesnya dengan baik dan sesuai prosedur arbitrase,” ungkapnya.
Menurut dia, jalur arbitrase adalah solusi yang sudah disepakati bersama oleh dua pihak. Karena itu, apa pun yang diputuskan adalah yang terbaik bagi semua. Arofah juga mengingatkan bahwa sengketa sering terjadi di dunia bisnis. “Entah karena saham, karena modal, atau hal lainnya. Arbitrase banyak dipilih para pengusaha karena praktis,” paparnya.
Penyelesaian melalui arbitrase, lanjutnya, biasanya bersifat confidensial (rahasia) dan win-win solution (samasama menguntungkan). Menurut Arofah, para pebisnis dari Singapura, Hong Kong, dan beberapa negara Eropa lainnya terbiasa menyelesaikan perselisihan dengan jalur arbitrer. Para arbitrer yang memproses sengketa bisnis pun biasanya berpengalaman di bidang yang disengketakan.
“Jadi, dua pihak tidak usah khawatir dengan putusan arbitrer karena kemampuan arbitrer dalam menyelesaikan sengketa yang pelik. Putusannya pasti terbaik bagi dua pihak yang bersengketa,” ujarnya. Pengamat hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis mengatakan jika putusan BANI bisa dijadikan alat bukti baru untuk pengajuan PK ulang di MA.
Dengan PK baru, ujarnya, maka bisa dijadikan evaluasi untuk mengoreksi putusan PK sebelumnya yang sempat ditolak oleh majelis hakim. “Putusan BANI itu bisa digunakan sebagai bukti baru untuk mem- PK-kan lagi,” tandasnya. Menurut Margarito, ketika BANI mengeluarkan putusan bisa saja berbeda dengan putusan yang dikeluarkan MA.
Ketika itu terjadi, yang patut dilihat adalah isi perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak saat memulai kerja sama bisnisnya. Sementara itu, pihak Tutut membenarkan ada kesepakatan bisnis (investment agreement) dengan PT BKB yang menyerahkan penyelesaian sengketa di BANI.
“Di dalam invesment agreement memang disebutkan jika ada sengketa maka akan diselesaikan di BANI. Tapi dalam perjalanannya, kami merasa kubu BKB melakukan perbuatan melawan hukum dengan melaksanakan RUPs 18 Maret 2005,” ungkap Direktur TPI versi Tutut, Habiburokhman.
Dian ramdhani/Danti daniel/Okezone
Pakar hukum arbitrase Humphrey Djemat mengatakan, putusan pengadilan tidak mempunyai pengaruh apa pun pada putusan BANI dalam kasus sengketa TPI. Karena itu, semua pihak wajib mengikuti putusan BANI. “Yang benar adalah putusan arbitrase. Itu yang di Mahkamah Agung (MA) adalah putusan tidak benar, jadi yang harus diikuti itu putusan arbitrase saja,” tandas Humphrey di Jakarta kemarin.
Menurut dia, intervensi pengadilan atas sengketa saham TPI antara PT Berkah Karya Bersama (BKB) dan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dapat merusak iklim investasi di Indonesia. Apalagi, akan diterapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau pasar bebas pada 2015. “Kalau putusan MA yang berjalan, maka investor asing akan takut. Dan itu juga akan mencoreng iklim investasi di Indonesia karena pihak asing akan berpikir ulang untuk menanamkan modalnya,” bebernya.
Karena itu, dia meminta Ketua MA Hatta Ali untuk mengoreksi putusan tersebut. Putusan MA, lanjutnya, akan bertentangan dan dengan sendirinya dan batal di mata hukum. “Karena hukum sudah mengaturnya seperti itu. Jadi tetap BANI yang berlaku,” tandasnya.
Senada diungkapkan pakar hukum bisnis Frans Hendra Winarta. Menurut Frans, putusan BANI dapat menganulir putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dikeluarkan MA. Alasannya, dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan, jika kedua belah pihak sepakat menyelesaikan sengketa melalui BANI maka pengadilan tidak berhak untuk mengadili kasus tersebut.
“Putusan PK MA tidak berlaku karena menyalahi undang-undang, putusan pengadilan tidak boleh menyalahi undang-undang,” tandasnya. Kemudian, lanjut Frans, jika seandainya setelah putusan BANI keluar, lalu salah satu pihak tidak terima, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bisa mengeksekusi putusan BANI tersebut. Kalau bunyi putusan sifatnya deklarasi, ujarnya, maka tidak perlu eksekusi.
“Tapi kalau putusannya terkait penyerahan aset dan sebagainya, maka perlu adanya eksekusi,” paparnya. Pengamat hukum Universitas Jember Arofah L Kartini juga berpendapat sama. Menurut dia, putusan BANI merupakan putusan yang adil dan terbaik bagi semua pihak. “Apa pun keputusannya, yakin saja BANI sudah memprosesnya dengan baik dan sesuai prosedur arbitrase,” ungkapnya.
Menurut dia, jalur arbitrase adalah solusi yang sudah disepakati bersama oleh dua pihak. Karena itu, apa pun yang diputuskan adalah yang terbaik bagi semua. Arofah juga mengingatkan bahwa sengketa sering terjadi di dunia bisnis. “Entah karena saham, karena modal, atau hal lainnya. Arbitrase banyak dipilih para pengusaha karena praktis,” paparnya.
Penyelesaian melalui arbitrase, lanjutnya, biasanya bersifat confidensial (rahasia) dan win-win solution (samasama menguntungkan). Menurut Arofah, para pebisnis dari Singapura, Hong Kong, dan beberapa negara Eropa lainnya terbiasa menyelesaikan perselisihan dengan jalur arbitrer. Para arbitrer yang memproses sengketa bisnis pun biasanya berpengalaman di bidang yang disengketakan.
“Jadi, dua pihak tidak usah khawatir dengan putusan arbitrer karena kemampuan arbitrer dalam menyelesaikan sengketa yang pelik. Putusannya pasti terbaik bagi dua pihak yang bersengketa,” ujarnya. Pengamat hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis mengatakan jika putusan BANI bisa dijadikan alat bukti baru untuk pengajuan PK ulang di MA.
Dengan PK baru, ujarnya, maka bisa dijadikan evaluasi untuk mengoreksi putusan PK sebelumnya yang sempat ditolak oleh majelis hakim. “Putusan BANI itu bisa digunakan sebagai bukti baru untuk mem- PK-kan lagi,” tandasnya. Menurut Margarito, ketika BANI mengeluarkan putusan bisa saja berbeda dengan putusan yang dikeluarkan MA.
Ketika itu terjadi, yang patut dilihat adalah isi perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak saat memulai kerja sama bisnisnya. Sementara itu, pihak Tutut membenarkan ada kesepakatan bisnis (investment agreement) dengan PT BKB yang menyerahkan penyelesaian sengketa di BANI.
“Di dalam invesment agreement memang disebutkan jika ada sengketa maka akan diselesaikan di BANI. Tapi dalam perjalanannya, kami merasa kubu BKB melakukan perbuatan melawan hukum dengan melaksanakan RUPs 18 Maret 2005,” ungkap Direktur TPI versi Tutut, Habiburokhman.
Dian ramdhani/Danti daniel/Okezone
(bbg)